Di Tangan Wijdan Al-Majed Wajah Baghdad yang Sendu Jadi Berwarna
Ingin membawa keindahan ke kota, Wijdan memindahkan seni ke jalan untuk menyingkirkan warna abu-abu dan berdebu yang 'membelenggu' Baghdad. Sebuah kota yang selama ini lebih banyak larut dalam kesedihan dan kemuraman.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
Sembilan bulan lalu, hanya satu cita-cita Wijdan al-Majed kala bergabung dalam inisiatif untuk membangun kembali Baghdad. Dengan keahliannya melukis, ia ingin membawa harapan bagi Baghdad dengan aneka mural. Sesuai perintah Wali Kota Baghdad, Alaa Maan, ia ingin memindahkan keelokan seni itu ke jalan-jalan kota Baghdad yang selama ini dominan dengan gedung dan tembok-tembok beton berwarna abu-abu, berdebu, dan muram.
Dengan mural, harapan Wijdan sejatinya sederhana saja, membawa keindahan untuk Baghdad yang selama larut dalam banyak kisah sedih dan duka karena aneka perang.
Siang itu, Wijdan Al-Majed (49), tampak sibuk di sebuah persimpangan jalan di tengah Baghdad. Seniman Baghdad College of Fine Arts itu terlihat tengah menambahkan sentuhan akhir pada mural yang didedikasikan untuk penyair Irak terkenal Muzzafar al-Nawab. Saat itu ia tengah melengkapi mural Muzzafar al-Nawab dengan lukisan sosok-sosok perempuan petani dalam pakaian tradisional Irak.
Wijdan selama ini terbiasa memamerkan karyanya dalam galeri tertutup yang nyaman dan tenang. Ketika terlibat dalam proyek mural untuk menghias dinding-dinding kota Baghdad, awalnya ia memiliki pembantu. Namun akhirnya ia memilih untuk berkarya sendiri. Ia mengaku tidak gentar dengan "tantangan besar" yang dia hadapi sebagai seorang perempuan dalam masyarakat yang sebagian besar konservatif dan didominasi pria. "Terkadang saya bekerja hingga larut malam," kata Wijdan, yang siang itu mengenakan celana jins dan sepatu yang berlumuran cat. "Jalanan menakutkan di malam hari dan tidak mudah bagi seorang perempuan untuk berada di luar rumah selarut itu."
Pengendara dan orang yang lewat sering memperlambat laju dan langkah mereka demi untuk melihat aksi Wijdan. Mereka kagum dengan kepiawaiannya menggunakan kuas dan memainkan warga. Meskipun demikian, tak jarang ada pula yang melempar cibiran, atau meremehkan apa yang dilakukannya.
"Saya belajar untuk hidup dengan itu dan mengabaikan mereka," kata Majed. "Orang-orang kemudian terbiasa melihat perempuan melukis. Masyarakat Irak telah menerima saya."
Hasilnya, karya-karya Majed diapresiasi banyak orang. Warga Irak sangat terkejut dengan transformasi ibu kota mereka. "Ini Muzaffar yang paling keren," teriak seorang pengendara motor saat melewati Wijdan. Di Irak, Muzaffar al-Nawab dijuluki "penyair revolusioner". Ia menghabiskan banyak waktunya - selama bertahun-tahun di penjara - karena menulis tentang rejim Irak yang represif. Meski demikian, ia memiliki tempat khusus di hati banyak warga Irak.
Mural bergambar wajah Muzaffar adalah salah satu dari setidaknya 16 mural yang telah dilukis di Baghdad. Salah satunya didedikasikan untuk Jawad Salim, yang dianggap sebagai bapak seni modern Irak dan pematung terkenal. Ada satu lagi karya yang dipersembahkan bagi mendiang arsitek Irak-Inggris yang terkenal yaitu, Zaha Hadid. Tak hanya tokoh Irak, wajah sosiolog Jerman Max Weber dan biarawati Katolik ternama Santa Bunda Teresa ada diantara wajah sosok-sosok ternama dan berpengaruh yang dihadirkan dalam karya mural di Baghdad.
Maan, wali kota yang berlatar belakang arsitek, memilih subjek yang dilukis Wijdan yang dominan dengan warna-warna cerah. Warna itu kontras dan mencolok dibandingkan dengan bagian lain di Baghdad. Kota itu selama ini tenggelam dalam warna muram dimana banyak infrastruktur kota hancur setelah Irak diembargo di masa rejim Saddam Hussein.
Kota itu makin porak-poranda menyusul invasi Amerika Serikat pada tahun 2003 yang bertujuan menggulingkan Saddam. Selepas perang, Irak pun tertatih-tatih karena konflik sektarian dan luluh lantak akibat perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah.
Maan mengakui bahwa banyak yang harus dilakukan untuk merehabilitasi Baghdad. Paling tidak jejak kota yang pernah berdiri sebagai mercusuar budaya Arab itu jangan sampai hilang. Apalagi saat ini, seperti kebanyakan wilayah lain di Irak, Baghdad juga tengah bertarung melawan korupsi dan salah urus.
"Kota adalah korban pertama: masalah di tempat lain di negara ini tercermin di sini," kata Maan. "Ketika pengangguran melonjak, Anda akan melihat pedagang kaki lima dan ketika krisis perumahan terjadi, daerah kumuh muncul."
Dengan proyek mural itu, perubahan diharapkan perlahan-lahan hadir. Wijdan ingin lukisannya membawa "hawa baru" bagi Irak. Ia ingin membawa kegembiraan bagi kotanya. Di lingkungan Al-Sadriya yang ramai, yang terkenal dengan pasarnya yang populer, sebuah lukisan dinding yang menggambarkan dua pria yang menjual semangka telah memenangkan hati.
"Ini adalah sepotong warisan Baghdad," kata pedagang tekstil Fadel Abu Ali. Mural tersebut merupakan reproduksi dari karya mendiang seniman Hafidh al-Droubi, yang sering menggambarkan kehidupan sehari-hari Baghdad. Suasana baru itulah yang mungkin diharapkan oleh Baghdad dan penduduknya karena selama ini selama ini, grafiti berisi pesan dan kritik bernuansa politik memenuhi dinding di banyak sudut kota.(AFP)