Sanksi AS pada Rusia menyusul invasi militer Rusia ke Ukraina patut diwaspadai. Pihak ketiga perlu mencermati jenis sanksi itu, apakah termasuk sanksi sekunder, agar terhindar dari efek sanksi tersebut.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·6 menit baca
Berlanjutnya invasi Rusia ke Ukraina berarti berlanjut pula kemungkinan penjatuhan aneka sanksi ekonomi kepada Moskwa oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Washington disebut-sebut siap sewaktu-waktu menerapkan aneka sanksi sekunder setelah menerapkan sanksi ekonomi baru pada tengah pekan lalu. Jika sanksi sekunder itu diberlakukan, pihak-pihak yang berhubungan dengan Rusia bisa terkena efek dari sanksi itu secara langsung.
Presiden AS Joe Biden pada tengah pekan lalu mengumumkan sanksi ekonomi baru kepada Rusia. Targetnya ialah menyusutkan produk domestik bruto (PDB) Rusia dua digit pada tahun ini, sekaligus menghapus keuntungan ekonomi Rusia selama 15 tahun terakhir. Sanksi ekonomi baru ini berat dan segera diterapkan Washington. Cakupannya, antara lain, melarang investasi AS di Rusia, memblokir sepenuhnya lembaga keuangan terbesar negara itu, dan menargetkan aset yang dipegang oleh anak-anak Presiden Vladimir Putin.
Washington berharap, sanksi-sanksi tersebut bakal menyapu dan memukul keras Moskwa. Menurut VOA, dengan sanksi terbaru itu, Barat seperti kehabisan rem untuk menghentikan agresi Rusia ke Ukraina, kecuali jika mereka mau menekan secara langsung sektor minyak dan gas Rusia.
”Kami telah memotong Rusia dari peluang mengimpor teknologi, seperti semikonduktor dan keamanan enkripsi, serta komponen penting teknologi kuantum yang mereka butuhkan untuk bersaing pada abad ke-21. Jadi, kami akan menghambat kemampuan ekonomi Rusia untuk tumbuh selama bertahun-tahun yang akan datang,” kata Biden.
Sanksi terbaru AS itu juga mencakup pemblokiran terhadap Sberbank, lembaga keuangan terbesar Rusia, dan Alfa Bank, bank swasta terbesar di negara itu. Ini dinilai menjadi langkah maksimal penerapan sanksi AS terhadap sektor keuangan Rusia.
Sebelumnya, pemerintahan Biden menahan diri untuk tidak menerapkan pembatasan yang sama pada Sberbank seperti pada bank-bank Rusia lainnya. Sberbank adalah salah satu lembaga utama yang menangani pembayaran energi. Selain itu, AS juga memblokir Rusia dari sistem pembayaran utang dengan mata uang yang tunduk pada yurisdiksi AS.
”Tekanan” untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi terhadap Rusia semakin tinggi di tengah perang Rusia-Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy akhir pekan lalu mengatakan, agresi Rusia tidak hanya terbatas menarget Ukraina dan seluruh Eropa. Pernyataan itu disampaikannya saat ia mendesak Barat untuk menerapkan embargo penuh pada produk energi Rusia dan sekaligus menyediakan lebih banyak senjata bagi Ukraina.
Zelenskyy juga menyatakan siap bertempur sengit melawan pasukan Rusia yang dikerahkan di timur Ukraina. Kiev menyebut Rusia berusaha membangun jalur koridor darat dari Crimea, yang dikuasai Rusia pada tahun 2014, dan wilayah Donbas yang dikuasai oleh separatis dukungan Moskwa.
Zelenskyy menyatakan keyakinannya bahwa Rusia tengah menimpakan bencana pada pihak yang lebih luas di luar Ukraina. ”Agresi Rusia tidak terbatas pada Ukraina, tetapi seluruh proyek Eropa adalah target Rusia,” katanya seperti dikutip kantor berita Reuters.
Tujuan sanksi AS
AS melalui Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) Departemen Keuangan menerapkan sanksi-sanksi ekonomi untuk berbagai tujuan. Ada tujuan diplomatik, penegakan pidana, ekonomi, kemanusiaan, dan keamanan nasional. Awalnya sanksi ekonomi diadopsi sesuai dengan Trading with the Enemy Act (TWEA) tahun 1917. Sanksi yang lebih modern diterapkan sejak 1977, yakni sebagian besar berada di bawah otoritas hukum International Emergency Economic Powers Act (IEEPA).
IEEPA memberikan wewenang kepada presiden AS untuk menerapkan sanksi ekonomi guna menghadapi hal-hal yang dinilai sebagai ancaman bagi AS. Ancaman itu bersumber dari seluruh atau sebagian besar di luar AS, mengancam keamanan nasional, kebijakan luar negeri, atau ekonomi AS.
Dilihat dari jenis-jenis sanksi ekonomi AS, terdapat sejumlah program sanksi ekonomi yang menargetkan negara, orang, entitas, dan organisasi. Jenis sanksi ekonomi tradisional adalah sanksi berbasis negara, dengan isi melarang hampir semua aktivitas dan transaksi yang melibatkan negara tertentu. Pemerintah AS mulai menggunakan jenis sanksi lain yang dikenal sebagai sanksi terdaftar (list-based sanctions), atau biasa dikenal dengan sebutan ”sanksi cerdas (smart sanctions)”. Sanksi ini menargetkan orang, entitas, dan organisasi tertentu, bukan seluruh negara atau rezim.
Sanksi sekunder adalah jenis sanksi ekonomi lain yang diterapkan AS. Sanksi jenis itu dikenalkan dalam setidaknya lima tahun terakhir. Sanksi itu menargetkan pelaku negara ketiga yang melakukan bisnis dengan rezim, orang, dan organisasi yang ditargetkan Washington.
Ada lima program sanksi utama berbasis negara yang saat ini berlaku. Secara luas sanksi itu mengatur semua transaksi dengan Iran, Republik Afrika Tengah, Suriah, Kuba, dan Korea Utara. Myanmar dulu masuk dalam daftar ini, tetapi sejak 2011 Pemerintah AS mencabut sebagian besar sanksi berbasis negara pada Myanmar karena reformasi demokrasi yang dinilai signifikan di negara itu.
Setiap program sanksi memiliki skema pengaturannya sendiri, tetapi umumnya melarang perdagangan barang, jasa, teknologi, dan transaksi keuangan. Kadang-kadang, sanksi itu termasuk melarang pemberian hak milik.
Pemberlakuan ”sanksi cerdas” telah memungkinkan Pemerintah AS secara lebih tepat menargetkan orang dan kelompok yang dinilai menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional, kebijakan luar negeri, dan ekonomi AS. Pemerintah AS telah menunjukkan preferensi untuk sanksi berbasis daftar karena dua alasan. Pertama, ”sanksi cerdas” dapat menargetkan pihak tanpa jaminan substansial yang dikenakan dalam sanksi berbasis negara pada populasi negara yang ditargetkan. Kedua, sanksi jenis itu dapat ditegakkan secara efektif melalui penyaringan otomatis dan tertentu.
Sanksi sekunder
Sanksi sekunder melengkapi program sanksi-sanksi AS lainnya. Targetnya adalah orang atau pihak asing, terutama lembaga keuangan asing yang melakukan bisnis dengan individu, negara, rezim, dan organisasi di pihak yang dikenai sanksi. Dalam kasus Iran, misalnya, jika volume transaksi antara lembaga keuangan asing dan Iran cukup signifikan, lembaga keuangan asing tersebut berisiko terkena sanksi itu.
Pemberlakuan sanksi sekunder tersebut bakal diumumkan salah satu otoritas hukum di AS. Setelah ditetapkan, sanksi sekunder dapat melarang warga atau pihak AS melakukan bisnis dengan lembaga keuangan asing tersebut. Bank AS juga membatasi transaksi atau rekening koresponden lembaga keuangan asing tersebut di AS.
Bloomberg menilai wacana penerapan sanksi sekunder AS sebagai hal yang menarik dicermati. Sanksi ini diterapkan guna menutup celah yang dapat digunakan Rusia untuk terus melakukan bisnis dengan dunia. Namun, penerapan sanksi sekunder itu juga kontroversial. Sebab, sanksi itu dapat berefek terhadap sekutu-sekutu AS yang mengandalkan energi Rusia dan sumber daya lainnya.
Sanksi sekunder juga menargetkan aktivitas komersial yang melibatkan pihak di bawah sanksi utama, tetapi terjadi di luar yurisdiksi hukum AS. Sanksi sekunder akan memaksa perusahaan, bank dan bahkan individu berada di posisi sulit untuk terus berbisnis dengan pihak yang terkena sanksi entitas—dalam hal ini Rusia—atau dengan AS.
Sejumlah pihak juga menilai penerapan sanksi sekunder sebagai penerapan ekstrateritorial hukum AS. Penerapan sanksi jenis itu bahkan dapat memecah posisi aliansi AS, khususnya NATO di Eropa, yang relatif tergantung pada sektor energi Rusia. Jerman yang terus membeli minyak dan gas dari Rusia, misalnya, bisa dinilai salah dari sisi AS.
Sanksi sekunder juga dapat memicu kebingungan mengenai hal-hal yang apa saja yang dilarang atau tidak. Penerapan secara berlebihan juga dapat menyebabkan perlambatan dalam bisnis global dan hilangnya dukungan atas sanksi-sanksi lain yang telah dan akan dijatuhkan AS pada Rusia.