Ada begitu banyak alasan dan pertimbangan hingga perang akhirnya terjadi. Namun, begitu perang dimulai, ternyata tidak selalu mudah untuk mengakhirinya. Perang Ukraina membuka tabir pertarungan antarnegara adikuasa.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
Akankah perang di Ukraina segera berakhir? Apabila melihat postur militer, pengalaman dalam peperangan, serta dukungan logistik, Rusia di atas kertas, dengan mudah mampu mengalahkan Ukraina. Namun, mengapa pertarungan terjadi berlarut-larut hingga memasuki minggu keenam?
Dalam opininya di LA Times berjudul ”How does the war in Ukraine end” (Rabu, 30 Maret 2022), Letnan Kolonel ML Cavanaugh, ahli strategi Angkatan Darat AS dan sejawat di Institut Perang Modern, mengatakan, Rusia tak memiliki kapasitas untuk memenangi peperangan konvensional. ”Para ahli sejak awal mencatat, Rusia kekurangan pasukan di darat, yang dibutuhkan untuk merebut kota dan mempertahankannya,” tulis Cavanaugh.
Mengutip Pentagon, ia menyebut, dalam 20 hari pertama pertempuran, Rusia kehilangan 7.000-40.000 tentara. Selain tewas, ada yang hilang, terluka, atau ditawan. Sebaliknya, meski kecil, pasukan Ukraina memiliki ketahanan luar biasa.
Dalam tulisannya berjudul ”Why Vladimir Putin has already lost this war”, The Guardian (Senin, 28 Februari 2022), sejarawan Yuval Noah Harari menyoroti militansi tentara dan warga Ukraina itu. Setiap prajurit atau warga Ukraina yang tewas, menurut Harari, memicu keberanian Ukraina untuk melawan. Energi itu, termasuk kebencian terhadap penjajah, menjadi kekuatan perlawanan. ”Rakyat Ukraina melawan dengan sepenuh hati.”
Akan tetapi, ”pantulan” energi itu membenarkan apa yang dikutip Cavanaugh dari pensiunan Jenderal Angkatan Darat AS, David H Petraeus, yang menyebut bahwa Rusia dan Ukraina terjebak dalam ”kebuntuan berdarah”.
Boleh jadi dua faktor itu yang sekarang turut memengaruhi situasi di lapangan. Langkah maju yang salah satunya ditandai dengan dialog Rusia-Ukraina yang dimediasi oleh Turki di Istanbul kembali bergerak lambat dan diwarnai sikap saling curiga.
Terakhir pertempuran meluas hingga ke Belgorod, lokasi kilang minyak milik raksasa energi Rusia, Rosneft, yang terbakar dihantam rudal. Kremlin mengingatkan, serangan terhadap depo itu dapat menghambat negosiasi.
”Ini bukan sesuatu yang bisa dianggap menciptakan kondisi yang nyaman untuk kelanjutan negosiasi,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, kepada wartawan. Sebaliknya, Ukraina menyangkal berada di belakang serangan itu. Kepada Fox News, Presiden Zelenskyy mengatakan, ”Maaf, saya tidak membahas perintah saya sebagai panglima tertinggi.”
Pemerhati isu pertahanan dan strategi militer Kusnanto Anggoro berpendapat, ada faktor taktis dan strategis yang turut berpengaruh. Uji doktrin militer baru Rusia menemui kendala di lapangan, ditandai belum sempurnanya integrasi operasi antarmatra. Hingga saat ini, kekuatan Angkatan Udara Rusia belum cukup digunakan.
”Logistik juga tak terintegrasi sehingga pasokan untuk tentara yang memasuki Ukraina tersendat. Sebagian persoalan ini terjadi akibat masalah domestik Rusia, khususnya hubungan antara militer dan intelijen, sebagian lain, komando tak berjalan baik antara tentara Rusia dan milisi,” kata Kusnanto.
Selain itu, ada faktor bergeser misi operasi khusus Rusia, yaitu pada isu bagaimana ”mendegradasi” NATO. Rusia ingin mengendurkan ”ikatan” Amerika Serikat dan Inggris di satu sisi dengan Jerman dan Perancis di sisi lain. Perang di Ukraina, menurut dia, hanya sasaran antara. ”Tak ada target menduduki Ukraina,” katanya.
Palagan baru
Di luar palagan perang, upaya itu tampak saat Presiden Putin mencoba ”menggertak” Barat dengan isu energi. Ia meminta negara-negara—termasuk Eropa—pembeli minyak dan gas dari Rusia membayar dengan rubel. Kremlin mengatakan, perubahan itu diperlukan karena sanksi Barat membekukan cadangan mata uang asingnya. Oleh sejumlah analis, perubahan itu berpotensi menyebabkan pukulan besar bagi perekonomian.
Bagi Stefan Meister, Kepala Program Ketertiban Internasional dan Demokrasi di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman, motif utama Kremlin sejatinya bukan ekonomi, melainkan politik. ”Rusia tak tertarik menghentikan gas, tetapi menginginkan semacam kemenangan politik,” kata Meister. ”Putin ingin menunjukkan ia mendikte.”
Menurut Meister, meski motif itu ditujukan Putin terutama kepada publik di Rusia, tidak dapat dimungkiri, isu energi membuat Eropa khawatir dan cemas.
Profesor ekonomi di Universitas Munich dan anggota Dewan Pakar Ekonomi Jerman, Monika Schnitzer, mengatakan, Jerman sangat bergantung pada pasokan energi Rusia. ”Penangguhan pasokan ini menimbulkan risiko, ekonomi Jerman meluncur ke dalam resesi dengan tingkat inflasi jauh lebih tinggi,” kata Schnitzer.
Ketergantungan pasokan gas asal Rusia membuat sejumlah pemimpin Eropa mengatakan tak mampu menanggung konsekuensi dari boikot langsung. Langkah moderat Eropa ialah mengurangi penggunaan gas Rusia secepat mungkin.
Praktisi hubungan internasional, pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, berpendapat, konflik Rusia-Ukraina bukan melulu urusan kedua negara. Konflik itu juga dipengaruhi dinamika hubungan Rusia dengan AS dan sekutu-sekutunya di Eropa, khususnya anggota NATO.
”Meski kita semua berharap konflik segera usai, belum kelihatan titik temu di antara negara-negara yang bertikai ini. Euforia untuk saling menguji kekuatan lawan dan berusaha mengalahkan lawan melalui sanksi-sanksi ekonomi serta diplomatik masih berlangsung,” kata Dinna.
Menurut dia, setidaknya ada tiga kunci berakhirnya konflik. Pertama, jika semakin banyak negara Uni Eropa anggota NATO memilih berbeda pandangan terkait Rusia, solusi atas krisis energi Eropa, dan sanksi atas Rusia. Menurut Dinna, konflik akan reda karena suara Uni Eropa pecah dan beralih ke jalur bilateral dalam menghadapi Rusia.
Dua kunci lain, jika dukungan domestik kepada Presiden Joe Biden dan Presiden Putin turun. Namun, hal itu sulit, khususnya untuk Putin. Popularitasnya tengah meningkat. ”Inisiatif Putin membuka tawaran pembelian energi dengan harga murah dan menggunakan rubel telah memperkuat rubel,” kata Dinna.
Terkait sanksi kepada Rusia, Dinna berpendapat, sebagian pemimpin dan politisi Eropa belum siap berbeda pendapat dengan AS. Akan tetapi, di sisi lain, mulai ada negara-negara yang berani berbeda pendapat.
Sementara itu, posisi Ukraina, menurut Dinna, juga diwarnai ketidakpastian. Mereka masih berharap akan dibela NATO dan AS, tetapi faktanya NATO serta AS tidak habis-habisan mengalokasikan sumber daya dan finansial untuk membela Ukraina.
”Kalau terpaksa diserang Rusia, mereka pasti akan merespons berbeda, tetapi dugaan saya, Rusia tahu persis itu, makanya Rusia sepertinya punya rencana memecah Uni Eropa,” kata Dinna.
Ternyata membangun perdamaian tak semudah dibayangkan. (AP/AFP/Reuters)