Militer China Hadir di Pasifik, Postur Keamanan AS-Australia Berubah
China dapat mengirim polisi, personel militer, dan angkatan bersenjata lainnya ke Kepulauan Solomon lewat perjanjian kedua negara. Postur militer Australia, Selandia Baru, dan AS bisa berubah merespons perjanjian itu.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
HONIARA, KAMIS — Pemerintah Kepulauan Solomon menyatakan telah menandatangani perjanjian keamanan dengan Pemerintah China, Kamis (31/3/2022). Dengan perjanjian itu, China dapat mengirim polisi, personel militer, dan angkatan bersenjata lainnya ke Kepulauan Solomon untuk membantu menjaga ketertiban sosial dan berbagai alasan lain. Perjanjian itu bisa memaksa Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat mengubah postur militer mereka di wilayah tersebut.
”Pejabat Kepulauan Solomon dan Republik Rakyat China telah menandatangani elemen Kerangka Kerja Sama Keamanan bilateral kedua negara hari ini,” demikian pernyataan resmi Kantor Perdana Menteri Kepulauan Solomon di Honiara, ibu kota negara kepulauan itu. Disebutkan, perjanjian tersebut bertujuan menanggapi ancaman domestik yang lunak dan keras di Kepulauan Solomon. Perjanjian itu selanjutnya akan ditandatangani menteri luar negeri kedua negara.
Perjanjian menyebutkan, Kepulauan Solomon akan terus bekerja dengan semua mitra dalam memastikan kondisi negara yang aman dan terjamin di mana semua orang dapat hidup berdampingan secara damai. Pemerintah Kepulauan Solomon berterima kasih kepada Australia, Papua Niugini, Selandia Baru, dan Fiji karena telah mengirimkan personel mereka untuk ikut menjaga keamanan di pulau-pulau Kepulauan Solomon. ”Kepulauan Solomon akan terus mengimplementasikan strategi keamanan nasional dan menjunjung tinggi kebijakan luar negeri, yakni ’Berteman dengan siapa saja dan tidak memiliki musuh’,” lanjut pernyataan Pemerintah Kepulauan Solomon.
Rancangan perjanjian itu bocor pada pekan lalu, membuat geger negara-negara tetangga Kepulauan Solomon, khususnya Australia dan Selandia Baru. Bersama AS, pemerintah kedua negara itu telah menyatakan kekhawatiran sekiranya perjanjian tersebut ditandatangani. Dalam draf disebutkan antara lain polisi dan militer China dapat dikerahkan ke Kepulauan Solomon atas permintaan pemerintah negara kepulauan itu. Angkatan Laut China juga dapat hadir ke Kepulauan Solomon. Pasukan China juga akan diizinkan untuk melindungi keselamatan personel China dan proyek besar di Kepulauan Solomon.
AS dan Australia telah lama khawatir tentang potensi China membangun pangkalan angkatan laut di Pasifik Selatan. Jika terwujud, hal itu memungkinkan Angkatan Laut China memproyeksikan kekuatannya jauh melampaui perbatasan wilayahnya.
Kehadiran militer China melalui perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon itu kemungkinan besar akan memaksa Canberra dan Washington mengubah postur militer di wilayah tersebut.
Kepala Operasi Gabungan Australia Letnan Jenderal Greg Bilton mengatakan, perjanjian keamanan China-Kepulauan Solomon akan ”mengubah kalkulus” operasi negaranya di Pasifik. Pernyataan itu dikeluarkan setelah Perdana Menteri Australia Scott Morrison berbicara dengan PM Selandia Baru Jacinda Ardern dan sejawatnya di Papua Niugini dan Fiji tentang perjanjian Kepulauan Solomon-China. ”Laporan yang kami lihat tidak mengejutkan, tetapi merupakan pengingat akan tekanan dan ancaman terus-menerus yang hadir di wilayah kami terhadap keamanan nasional kami,” kata Morrison. ”Ini masalah yang menjadi perhatian kawasan tetapi tidak mengejutkan. Kami telah lama menyadari tekanan ini.”
PM Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare membantah laporan media yang menyebutkan Kepulauan Solomon mendapat tekanan untuk mengizinkan Beijing membangun pangkalan Angkatan Laut China di wilayahnya. Ia tidak mau membeberkan detail isi kesepakatan dengan China. ”Dari mana datangnya omong kosong ini? Perjanjian keamanan ini dibuat atas permintaan Pemerintah Kepulauan Solomon,” kata Sogavare. ”Kami tidak mendapat tekanan sama sekali oleh mitra-mitra kami.”
Permohonan Mikronesia
Pernyataan penandatanganan perjanjian keamanan Kepulauan Solomon-China itu dikeluarkan hanya beberapa jam setelah Presiden Negara Federasi Mikronesia David Panuelo mengumumkan permohonan kepada Sogavare. Intinya Panuelo meminta Kepulauan Solomon untuk mempertimbangkan kembali penandatanganan kesepakatan. Namun, Sogavare bergeming dengan sikapnya.
Panuelo menyuarakan kekhawatiran keamanan yang serius tentang perjanjian tersebut dalam surat pada 30 Maret kepada Sogavare, mengutip meningkatnya ketegangan antara China dan AS. Dalam surat itu, Panuelo meminta pemimpin Kepulauan Solomon mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang perjanjian itu, baik bagi Pasifik maupun bagi seluruh dunia. ”Ketakutan saya adalah bahwa kita—Kepulauan Pasifik—akan berada di pusat konfrontasi di masa depan di antara kekuatan-kekuatan besar ini,” tulis Panuelo.
Sejumlah kalangan menilai, perjanjian keamanan itu justru dapat memicu perselisihan domestik di Kepulauan Solomon. Negara berpenduduk 800.000 jiwa itu telah didera kerusuhan politik dan sosial. Banyak dari rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pada November 2021, pengunjuk rasa mencoba menyerbu parlemen dan mengamuk selama tiga hari. Lebih dari 200 penjaga pasukan perdamaian dari Australia, Fiji, Papua Niugini, dan Selandia Baru dikerahkan untuk memulihkan keamanan Solomon sejak itu.
Kerusuhan dipicu penentangan terhadap pemerintahan Sogavare serta pengangguran dan persaingan antarpulau. Namun, sentimen anti-China juga berperan. Para pemimpin di pulau terpadat di Solomon, Malaita, dengan keras menentang keputusan Sogavare untuk mengakui Beijing dan memutuskan hubungan dengan Taiwan pada 2019. (AP/AFP)