Invasi Rusia ”Bangunkan” Tentara Jerman
Serangan Rusia ke Ukraina menjadi titik balik sejarah perubahan kebijakan pertahanan tentara Jerman (Bundeswehr) dalam 30 tahun terakhir. Bundeswehr kini harus lebih fokus melindungi Jerman dari serangan negara lain.
Perang Rusia-Ukraina memicu banyak perubahan di Eropa. Terkait masalah pengungsi, banyak negara Eropa mendadak membuka tangan lebar-lebar untuk gelombang pengungsi gara-gara perang itu. Jerman juga menunjukkan perubahan paling drastis karena memacu belanja pertahanan. Bahkan, paradigma militer Jerman berubah.
Sejak menyerah dalam Perang Dunia II pada 7 Mei 1945, Jerman terus memangkas jumlah tentaranya. Dari 500.000 kala Tembok Berlin runtuh, tentara Jerman atau Bundeswehr kini hanya beranggota 200.000 orang. Kepala Staf Angkatan Angkatan Darat Bundeswehr Letnan Jenderal Alfons Mais juga bolak-balik mengeluhkan kekurangan anggaran.
Mekanisme pengadaan senjata Jerman juga bermasalah. Pada 2015, Bundeswehr berencana memesan 120.000 pucuk senapan. Sampai sekarang, sebagaimana dilaporkan media Jerman, Bild Am Sontag, belum satu senapan pun itu diterima karena keruwetan birokrasi.
Baca juga: Tolak Beri Senjata, Jerman Pilih Dorong Perundingan Soal Ukraina
Dalam laporan anggota Komite Pertahanan Bundestag atau parlemen Jerman, juga ditemukan kekurangan peluru, sepatu, hingga pakaian dalam bagi tentara Jerman. Anggota komite itu, Eva Högl, menyebutnya sebagai gurauan yang tidak lucu bagi negara terkaya di Uni Eropa.
Sementara pakar kebijakan luar negeri pada Partai Uni Demokratik Kristen (CDU) Roderich Kiesewetter menyebut, Bundeswehr tidak mampu lagi melatih dan melengkapi anggotanya. Sejak Perang Dingin berakhir, Bundeswehr fokus pada misi luar negeri.
Selain itu, selama puluhan tahun, Jerman menolak mengekspor persenjataan atau produk pertahanan yang bisa mematikan. Berlin sampai diejek karena menawarkan 5.000 helm antipeluru kepada Kiev menjelang Rusia menyerang Ukraina.
Keadaan berubah pada Sabtu (26/2/2022). Kanselir Jerman Olaf Scholz mengumumkan Jerman akan memberikan rudal kepada Ukraina. Sampai sekarang, soal rudal itu memang masih menjadi pertanyaan sekaligus ejekan.
Awalnya Berlin mengumumkan akan memberikan 1.000 Javelin dan 500 stinger. Javelin adalah rudal panggul untuk antitank dan stinger antipesawat. Belakangan, Berlin mengumumkan akan memberikan 2.700 strela, rudal buatan Uni Soviet yang ditempatkan di Jerman Timur sebelum Tembok Berlin runtuh.
Hingga Rabu (23/3/2022), baru 1.500 pucuk strela diterima Kiev. Berlin juga mengirimkan 100 pucuk senapan mesin MG3. Senjata itu dikirimkan bersamaan dengan paket bantuan kemanusiaan.
Media Jerman lainnya, Der Spiegel, melaporkan bahwa paling banyak 2.000 pucuk strela bisa digunakan. Sisanya sudah kedaluwarsa. Bahkan, lokasi penyimpanan rudal panggul itu tidak aman dan hanya boleh dimasuki prajurit dengan pakaian perlindungan antiledakan.
Titik balik sejarah
Meski ada kontroversi, keputusan itu menandakan pembalikan kebijakan pertahanan Jerman. Pembalikan berlanjut pada Minggu (27/2/2022) kala Scholz mengumumkan anggaran pertahanan Jerman akan dinaikkan. Total 100 miliar euro akan diberikan kepada Bundeswehr dan sektor pertahanan Jerman untuk 2022 saja. Padahal, tahun lalu Jerman hanya mengalokasikan 53 miliar euro untuk seluruh sektor pertahanan.
Baca juga : Perancis-Jerman Meredam Bara Rusia
Scholz menyebut keputusan itu sebagai Zeitenwende atau titik balik sejarah bagi Bundeswehr. Dengan titik balik sejarah itu, tentara Jerman seolah ”dibangunkan” dari tidurnya. Dana besar-besaran tersebut akan dipakai Bundeswehr, antara lain, untuk membeli jet tempur F-35. Jerman juga akan meningkatkan dana pengembangan sistem pertempuran udara masa depan yang digarap bersama Perancis.
”Kami butuh pesawat yang bisa terbang, kapal yang bisa berlayar, dan tentara yang dilengkapi secara layak,” kata Scholz, sebagaimana dikutip Deutsche Welle.
Ia menjadikan keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan serangan ke Ukraina sebagai pemicu perubahan itu. ”Serangan itu jelas bahwa Jerman harus menanamkan lebih banyak pada keamanan negara kita. Tujuannya adalah tentara yang maju, mutakhir, dan kuat untuk melindungi kita,” kata Scholz.
Pada Minggu (27/3/2022), Scholz membuat kejutan tambahan. Kepada Bundestag atau Parlemen Jerman, ia mengakui tengah mempertimbangkan membeli sistem pertahanan udara dari Amerika Serikat atau Israel. Scholz membahas pilihan sistem pertahanan udara itu bersama Panglima Bundeswehr Jenderal Eberhard Zorn. Berlin merasa 12 baterai patriot, sistem pertahanan udara buatan AS, di Jerman saat ini belum cukup untuk melindungi negara itu.
Anggota komite anggaran Bundestag, Andreas Schwarz, menyebut bahwa Jerman butuh perlindungan kuat dari ancaman Rusia. ”Untuk itu, butuh perlindungan rudal bagi Jerman,” ujarnya kepada media Jerman, Bild.
Bild melaporkan, akan butuh hingga 2 miliar euro untuk membeli Arrow 3 buatan Israel. Jika disetujui, sistem pertahanan udara itu bisa siap dipakai Jerman pada 2025. Bahkan, Schwarz mewacanakan sebagai Arrow 3 dipasang di negara tetangga Jerman.
Juru bicara kaukus Free Democratic Party di Bundestag, Marcus Faber, mengungkap bahwa Arrow 3 dan Iron Dome buatan Israel serta THAAD buatan AS jadi pertimbangan Jerman. ”Belum ada keputusan akan membeli yang mana,” katanya.Ketua oposisi terbesar Jerman, Friedrich Merz, mendukung rencana Scholz.
Lihat juga: Jerman Kirimkan Bantuan Seribu Senjata Anti Tank ke Ukraina
”Menyalakan lilin, doa bersama untuk kedamaian atau parade damai memang indah. Akan tetapi, etika semata tidak cukup untuk membuat dunia lebih baik. Jerman harus menetapkan apa kepentingannya dan bersiap mempertahankan itu. Hal ini termasuk kemampuan melindungi dan mempertahankan wilayah dan penduduknya dari serangan mana pun,” kata Merz dalam sidang Bundestag beberapa waktu lalu.
Ubah konstitusi
Sokongan oposisi terbesar amat penting bagi rencana Scholz. Sebab, rencana itu butuh amendemen konstitusi dan dukungan parlemen pada pengesahan anggaran. Sejak PD II berakhir, Jerman cenderung menjadi negara pasifis. Untuk lebih agresif, harus ada perubahan konstitusi.
Peneliti German Institute for International and Security Affairs, Claudia Major, ragu Bundeswehr mampu berbelanja sebanyak itu. ”Ada banyak masalah pengadaan di Bundeswehr yang belum selesai karena kekurangan dana. Mereka akan kebingungan begitu mendapat banyak uang seperti sekarang,” ujarnya.
Adapun Tyson Barker dari German Council on Foreign Relations menyebut, keputusan Scholz seperti menjebol bendungan. Selama bertahun-tahun, ada desakan untuk meningkatkan belanja pertahanan Jerman. Keputusan Putin menjadi pemicu keretakan berujung keruntuhan bendungan itu.
Seperti Major, Barker juga tidak yakin Bundeswehr bisa mengoptimalkan momentum bersejarah itu. ”Menyerap 100 miliar euro seperti minum dari selang pemadam kebakaran. Saya tidak tahu apakah militer Jerman mampu melakukan itu, memodernisasi besar-besaran sekaligus,” katanya.
Sementara peneliti Centre for European Reform Sophia Besch menyebut kebijakan Scholz sebagai revolusioner. Scholz membalikkan aneka anggapan yang dianggap sebagai keniscayaan selama puluhan tahun.
Kini, Bundeswehr harus merombak postur dan fokusnya. Seperti disampaikan Kiesewetter, Bundeswehr menghabiskan tiga dekade terakhir untuk fokus ke luar negeri. Pengumuman Scholz membuat tentara Jerman harus mengalihkan fokus ke dalam negeri.
Peneliti Kajian Eropa pada Atlantic Council Rachel Rizzo menyebut bahwa Jerman bangkit karena ada anggapan demokrasi sedang terancam. Padahal, selama puluhan tahun, orang Jerman cenderung pasifis. Serangan Rusia ke Ukraina mengubahnya.
Wakil Direktur Kajian Eropa pada Atlantic Council, Jörn Fleck, mengatakan bahwa Jerman dan Eropa harus terlebih dahulu memutuskan apa kepentingannya. Identifikasi itu akan menentukan belanja apa yang dibutuhkan. ”Jika tidak, dana sebanyak itu mubazir,” katanya. (AFP/REUTERS)