Polarisasi di G-20 sebagai buntut krisis Ukraina tak terhindarkan. Sebagai Presiden G-20 tahun ini, Indonesia bertanggung-jawab menyukseskan agenda. Prasyaratnya, Indonesia harus mampu mengelola polarisasi G-20.
Oleh
KRIS MADA, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Spanduk Presidensi G-20 Indonesia yang mengusung tema ÕRecover Together, Recover StrongerÕ terpasang di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa (7/12/2021). Sebagai forum kerja sama ekonomi multilateral, G-20 dituntut menghasilkan langkah nyata untuk percepatan pemulihan bersama. G-20 harus mampu menangani berbagai permasalahan struktural yang menghambat efisiensi dan produktivitas, serta mendorong perluasan ekonomi inklusif. KOMPAS/RADITYA HELABUMI 07-12-2021
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah Indonesia berupaya keras agar presidensi G-20 Indonesia 2022 membuahkan hasil positif yang efektif menjawab tantangan dunia mutakhir dan masa depan. Untuk itu, polarisasi anggota G-20 sebagai buntut krisis Ukraina akan dikelola agar tidak sampai kontraproduktif terhadap agenda-agenda global yang telah ditetapkan.
Presidensi G-20 Indonesia 2022 menghadapi polarisasi anggota sebagai dampak krisis Ukraina. Pada satu kubu, terdapat Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutu tradisionalnya. Pada kubu lain, terdapat Rusia. Beberapa negara lain tidak secara langsung melekat ke salah satu kubu, tetapi memiliki gradasi kedekatannya masing-masing pada kubu AS ataupun kubu Rusia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di Jakarta, Jumat (18/3/2022), menyatakan, Pemerintah Indonesia menyiapkan berbagai alternatif respons terhadap dinamika krisis Ukraina yang merembet ke presidensi G-20 Indonesia 2022. Ini termasuk jika krisis terus bereskalasi.
”Seluruh komponen dalam presidensi G-20 terus melakukan komunikasi secara intensif dengan mitra negara G-20 untuk menghindari dampak kontraproduktif. Presidensi G-20 Indonesia menekankan bahwa respons yang diambil terhadap konflik tidak menyebabkan kondisi pemulihan perekonomian global memburuk,” kata Airlangga.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo menerima keketuaan atau Presidensi G-20 pada sesi penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di La Nuvola, Roma, Italia, Minggu (31/10/2021).
Untuk itu, Airlangga melanjutkan, Pemerintah Indonesia mengingatkan anggota G-20 bahwa lahirnya G-20 bertujuan untuk mengatasi krisis, bukan untuk menciptakan krisis. Pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa keanggotaan G-20 berdasarkan soliditas dengan mengusung nilai inklusif.
Pembahasan dampak ekonomi dari krisis Ukraina, menurut Airlangga, kemungkinan tidak terhindarkan dalam pertemuan G-20. Meski demikian, presidensi Indonesia tetap akan mengedepankan berbagai penyelesaian terhadap tantangan ekonomi global, yakni ketersediaan vaksin, digitalisasi, akses ke energi baru dan terbarukan, serta ketahanan pangan.
Sejauh ini, Airlangga menambahkan, pertemuan di tingkat Working Group dan Engagement Group Sherpa Track berjalan baik, lancar, dan terkendali. Terdapat dinamika yang merefleksikan pandangan beberapa negara terhadap situasi di Ukraina. Namun secara umum para delegasi tetap fokus membahas agenda utama G20 yakni arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digitalisasi, dan transisi energi serta isu lintas sektor lainnya.
”Pemerintah RI terus berkoordinasi dan berkomunikasi secara internal, baik dalam Sherpa Track maupun Finance Track, dan melakukan pembahasan untuk menyikapi situasi yang berkembang akibat krisis di Ukraina dan posisi presidensi G-20 Indonesia,” ujarnya.
Secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, tantangan konkret presidensi G-20 Indonesia adalah memastikan negara-negara anggota G-20 tetap fokus pada agenda utama G-20, khususnya upaya pemulihan ekonomi global. ”Dan menghindari, walaupun tidak mudah, proliferasi atau ekses dari konflik tersebut (Ukraina) ke forum G-20,” ucapnya.
Saat ditanya tentang konstelasi anggota-anggota G-20 terkait Rusia, Faizasyah mengatakan, Kemenlu masih terus memetakan seiring dengan bergulirnya proses G-20 dan konflik itu sendiri. Namun, setidaknya dapat diperkirakan, polarisasi dalam kerangka global akibat konflik tersebut akan terefleksi di berbagai forum internasional, termasuk G-20.
Untuk kementerian dan lembaga domestik pengampu kegiatan G-20, Faizasyah menambahkan, Kemenlu memberikan pendampingan. Esensinya adalah agar mereka bisa memahami skala permasalahan dan dinamika global yang terjadi serta agar dapat fokus pada agenda utama G-20. ”Saat ini, segala sesuatunya masih sangat dinamis dan berproses. Ibu Menlu dan tim di Kemenlu terus mengeksplorasi beragam pilihan opsi,” katanya.
Kehadiran AS dan sekutunya yang tergabung dalam G-7 dan Rusia sama pentingnya.
Pengajar Hukum Internasional pada Universitas Indonesia, Aristyo Darmawan, menyebutkan, kehadiran AS dan sekutunya yang tergabung dalam G-7 dan Rusia sama pentingnya. Tanpa G-7 sebagai pemain besar global, G-20 akan kehilangan signifikansinya. G-7 adalah kelompok tujuh negara terkaya di dunia, meliputi Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Italia, dan Jepang.
Di sisi lain, Indonesia akan kehilangan netralitasnya jika tidak mengundang Rusia dalam rangkaian pertemuan G-20 tahun ini. ”Akan menjadi bumerang, mengonfirmasi keberpihakan Indonesia pada AS,” katanya.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chatib Basri, menyatakan, G-20 adalah salah satu forum untuk mengaktualisasikan kebijakan luar negeri Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri tersebut harus menjadi jangkar keputusan-keputusan pemerintah pada presidensi G-20 Indonesia 2022. ”Kita tentukan dulu politik luar negeri kita. Kalau memang posisi kita mau menjaga keseimbangan, yang harus dilakukan adalah lobi,” ujarnya. (RAZ/LAS)