Guterres dan Ramos-Horta Sama-sama Optimistis Menangi Pilpres Timor Leste
Presiden Petahana Francisco Guterres dan saingannya, mantan Presiden Jose Ramos-Horta, sama-sama percaya diri bisa memenangi pilpres.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
DILI, SABTU – Warga Timor Leste mendatangi tempat- tempat pemungutan suara guna memilih presiden baru untuk periode 2022-2027, Sabtu (19/3/2022). Terlihat antrean pemilih di beberapa tempat pemungutan suara. Ini pemilu presiden Timor Leste yang kelima setelah pemisahan diri dari Indonesia.
Pemungutan suara ditutup pukul 15.00 waktu setempat dan dilanjutkan dengan penghitungan suara. Belum diketahui siapa dari 16 kandidat presiden yang meraup suara terbanyak. Dua kandidat, yakni mantan Presiden Jose Ramos-Horta dan presiden petahana Francisco ”Lu Olo” Guterres, dinilai berpeluang jadi peraih suara terbanyak.
Hasil resmi pilpres diperkirakan baru diketahui Kamis mendatang. ”Saya yakin, saya akan memenangi pemilu lagi,” kata Guterres setelah melakukan pemungutan suara di Dili. ”Saya menyerukan kepada warga untuk menerima apa pun hasilnya, dan saya siap bekerja dengan siapa pun yang memenangi pemilu ini,” ucapnya.
Ini merupakan pilpres dengan kandidat terbanyak, yakni 16 orang, termasuk empat perempuan. Apabila satu calon presiden tidak mendapat suara di atas 50 persen, dua capres terkuat akan mengadu nasib di pilpres putaran kedua pada 19 April. Pemenang akan dilantik pada 20 Mei.
Secara total, dari 1,3 juta penduduk Timor Leste, tercatat 860.000 orang dinyatakan berhak mencoblos dan 835.000 orang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Dari jumlah itu, sebanyak 200.000 pemilih merupakan generasi muda yang lahir di atas tahun 1999 atau setelah Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia.
Umumnya, para pemilih muda yang baru kali ini mencoblos tidak memedulikan isu politik. Jajak pendapat mengungkapkan, mereka mengharapkan perbaikan drastis di sektor pendidikan dan kesehatan. Sensus terakhir di negara itu menunjukkan, baru delapan perempuan berbanding 10 laki-laki yang mengenyam pendidikan tinggi.
Selain itu, angka melek huruf penduduk ialah 69 persen di kalangan laki-laki dan 60 persen di kalangan perempuan. Berdasarkan data pula, 59 persen perempuan di atas usia 15 tahun pernah mengalami penganiayaan ataupun kekerasan seksual dari pasangan atau anggota keluarga.
Sementara penghitungan suara berjalan, para capres dan pendukungnya berharap-harap cemas. ”Saya optimistis bisa memenangi pilpres ini untuk termin kedua. Semua orang mengetahui dan mendukung misi saya untuk memastikan kestabilan Timor Leste,” kata Guterres ketika diwawancara di Tetun oleh media SBS News.
Adapun Ramos-Horta juga mengaku optimistis bisa memenangi pilpres. Menurut dia, masyarakat bisa menilai kinerjanya dari masa kepresidenannya dan fakta bahwa dirinya memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian 1996. Ia menekankan, pencalonannya sebagai presiden bukan karena dorongan Kongres Nasional Rekonstruksi Timor (CNRT), melainkan karena permintaan masyarakat selama dua tahun belakangan.
Persaingan politik
Guterres dan Ramos-Horta sama-sama veteran perjuangan memisahkan diri dari Indonesia. Ramos-Horta didukung oleh CNRT, partai politik yang didirikan oleh presiden pertama Xanana Gusmao pada 2007. Adapun Guterres dari Front Revolusi Kemerdekaan Timor (Fretilin).
Kedua partai politik ini gontok-gontokan di dalam pemerintahan, padahal mereka menduduki kursi terbanyak. Sebagai gambaran, setelah dilantik sebagai presiden pada tahun 2018, Guterres menolak melantik sembilan menteri yang dicalonkan oleh CNRT.
Keputusannya itu mengakibatkan posisi menteri akhirnya diberikan kepada politisi dari partai-partai kecil dan ada beberapa kursi menteri kosong. Puncak dari karut-marut politik ini adalah pengunduran diri Perdana Menteri Taur Matan Ruak pada Februari 2020 setelah pemerintah berkali-kali gagal menetapkan anggaran nasional.
Ruak tetap menjadi pelaksana tugas perdana menteri sampai pemerintahan baru dibentuk. Ia juga mengelola dana penanganan pandemi Covid-19 sebesar 250 miliar dollar AS. Sejak Februari 2020 itu pula kabinet yang dipimpin Ruak tidak memperoleh dana dari negara. Setiap bulan, mereka mengandalkan sumbangan dari luar negeri.
Damien Kingsbury, Wakil Direktur Balibo House Trust, lembaga swadaya masyarakat di Timor Leste, menjelaskan, mayoritas pemilih merupakan generasi yang mengalami masa perjuangan meraih kemerdekaan. ”Ini yang menjadi alasan para veteran pejuang masih memiliki pamor besar di masyarakat dan selalu diharapkan untuk memimpin negara,” ujarnya.
Namun, Kingsbury melihat mulai ada perubahan di kalangan generasi muda, terutama para pemilih baru. Mereka cenderung lebih kritis dan ekspresif di dalam melihat politik. Bagi pemilih pemula ini, program kerja nyata yang ditawarkan oleh para capres lebih penting dibandingkan reputasi mereka di masa lalu. (REUTERS/AP)