Teknologi Mata-mata untuk Menangani Pandemi, Sampai Kapan?
Aplikasi pemantau pergerakan masyarakat selama pandemi Covid-19 dibutuhkan dengan alasan keadaan darurat. Akan tetapi, dengan kian banyaknya negara yang menyatakan telah menangani pandemi, masih perlukah teknologi ini?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memacu perkembangan teknologi digital. Salah satunya adalah pemakaian teknologi untuk memantau mobilitas masyarakat. Namun, seiring tren positif pengendalian pandemi, muncul pertanyaan di masyarakat: apakah aplikasi yang memata-matai pergerakan warga itu akan terus dilanjutkan?
Tak bisa dimungkiri, pandemi Covid-19 memiliki sisi positif dalam perkembangan teknologi digital. Belanja daring dan pemakaian layanan antar untuk membeli makanan tumbuh pesat dalam dua tahun ini. Akan tetapi, juga ada sisi negatif atau setidaknya sisi abu-abu yang belum banyak ditelisik lebih mendalam, yaitu pemakaian teknologi untuk memantau pergerakan masyarakat.
Jamak dipakai di berbagai penjuru bumi kamera pengawas di ruang publik dengan kemampuan mengenali wajah orang yang lalu lalang. Di samping itu, juga ada aplikasi yang memantau pergerakan seseorang dengan alasan untuk memastikan orang yang positif Covid-19 tidak berkeliaran selama waktu ia harus isolasi mandiri.
Di Indonesia, aplikasi ini adalah Peduli Lindungi yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, dan ada pula aplikasi-aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah daerah.
Perkembangan penanganan pandemi di beberapa negara membuat sejumlah protokol kesehatan melonggar. Di Inggris dan negara-negara Eropa Barat, terlepas dari jumlah kasus positif dan kematian, pemerintah sudah menghentikan kewajiban mengenakan masker. Tempat-tempat umum, seperti restoran, kafe, dan bar, juga sudah boleh menerima pengunjung hampir 100 persen dari kapasitasnya.
Para pegawai juga mulai masuk kantor untuk bekerja seperti biasa. Di Inggris, Kongres Serikat Buruh (TUC) melakukan survei terhadap 2.209 pekerja. Terungkap bahwa 60 persen pekerja mengatakan bahwa pemantauan digital oleh kantor melalui aplikasi meningkat sejak pandemi Covid-19 dimulai.
Laporan tersebut menjelaskan, pekerja harus mengakses aplikasi dari kantor masing-masing untuk mengisi absen setiap hari. Selain itu, juga ada sejumlah perusahaan yang menerapkan langkah lebih ekstrem, seperti mengawasi keberadaan pegawai mereka guna memastikan memang bekerja dari rumah, bukan kelayapan ke tempat lain. Bahkan, ada pula aplikasi yang memantau surat elektronik yang keluar dan masuk dari akun karyawan.
“Fenomena pemantauan, baik melalui internet, aplikasi, maupun kamera pengawas sangat rentan disalahgunakan untuk melanggar privasi masyarakat,” kata Estelle Masse, peneliti lembaga perlindungan data pribadi dari Inggris, Access Now.
Ia menjelaskan, setidaknya di Uni Eropa dan Inggris, aturan mengenai perlindungan data pribadi sudah jelas. Berbagai aplikasi, termasuk aplikasi pemantau pergerakan masyarakat selama pandemi Covid-19 menyimpan data di perangkat masing-masing. Bukan di sistem mahadata terpusat ataupun jaringan awan.
Perlu dikurangi
Masse menyoroti peraturan di Inggris yang telah membebaskan masyarakat dari protokol kesehatan dengan alasan bahwa pandemi Covid-19 telah berhasil dikendalikan. Oleh sebab itu, pemakaian berbagai teknologi pemantauan hendaknya juga secara bertahap dikurangi.
Namun, argumen yang serupa tidak bisa diterapkan di negara-negara lain. Di Korea Selatan misalnya, sistem kamera pemantau dengan teknologi pemindaian suhu tubuh dan pengenalan wajah akan terus diterapkan meskipun pandemi Covid-19 suatu saat akan selesai. Direktur Eksekutif Institut Hak Digital Korea Selatan Chang Yeo-kyung memastikan bahwa hal tersebut merupakan normal baru bagi masyarakat pascapandemi.
Demikian pula di Singapura, pengawasan Covid-19 disilangkan dengan penegakan hukum pidana melalui peluncuran robot-robot kepolisian. Robot ini berpatroli di tempat-tempat umum. Selain menjaga keamanan dari tindakan kriminal, mereka juga memastikan orang-orang menegakkan protokol kesehatan.
“Di Asia maupun negara-negara berkembang, aturan mengenai perlindungan data pribadi belum ada ataupun sangat lemah. Sering kali, pemerintah bisa seenaknya mengubah kegunaan satu teknologi pengawasan kepada kegunaan lainnya,” kata peneliti perlindungan data pribadi dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar di Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Ia mencontohkan, di Brasil ketika penyelenggaraan Olimpiade 2016, pemerintah menempatkan ribuan unit kamera pengawas dengan alasan memantau masyarakat dalam jumlah besar. Ajang seperti Olimpiade mendatangkan puluhan ribu wisatawan asing yang tidak akan bisa terpantau dengan sistem pangawasan konvensional.
Ketika Olimpiade berakhir, Pemerintah Brasil tidak menghentikan kamera-kamera pengawas tersebut. Sebaliknya, mereka meneruskan pemakaiannya dan secara normatif diterima sebagai sistem pangawasan oleh aparat penegak hukum.
Kasus di Indonesia
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia ketika menyelenggarakan Asian Games 2018. Kamera-kamera pengawas dilengkapi teknologi pengenalan wajah. Ketika ajang ini selesai, kamera terus dipakai oleh kepolisian dengan alasan mengawasi keamanan lalu lintas dan ketertiban masyarakat.
“Ini sangat bermasalah karena dalam pemakaian teknologi digital, terutama yang berurusan dengan data pribadi, setiap teknologi harus jelas peruntukannya. Jika memang dibuat untuk Olimpiade atau Asian Games, pemakaiannya hanya boleh dalam periode itu. Jika polisi ingin membangun sistem pengawasan keamanan, harus berlandaskan aturan formal yang baru dengan spesifikasi pemakaian kamera untuk tujuan tersebut,” papar Wahyudi.
Logika yang sama juga berlaku untuk aplikasi pemantauan pergerakan masyarakat, seperti Peduli Lindungi. Wahyudi menjelaskan, setiap negara mengembangkan aplikasi ini murni untuk melacak kontak erat pasien Covid-19 serta memastikan bahwa hanya orang-orang yang bebas Covid-19 dan telah divaksin lengkap yang bisa mengakses tempat-tempat umum.
Menurut dia, apabila suatu negara telah menyatakan pandemi tertangani dan berubah status menjadi endemi, aplikasi ini idealnya harus dihentikan pemakaiannya. Aplikasi itu tidak bisa dipakai sebagai “paspor Covid-19” maupun jaminan bepergian ke luar negeri karena bukan itu tujuan pembuatannya.
“Ini memang wilayah baru bagi semua negara. Di masa transisi penanganan pandemi, semestinya dikeluarkan aturan setingkat undang-undang mengenai sistem pengawasan masyarakat dan penyimpanan data pribadi oleh pemerintah maupun pihak ketiga," kata Wahyudi.
"Jika tidak, data pribadi maupun teknologi pemantauan itu rentan disalahgunakan oleh pemerintah sekali pun,” tuturnya. (Reuters)