Volatilitas Pasar Keuangan Berlanjut karena Sentimen Serangan Rusia dan Bank Sentral AS
Pasar saham global bergejolak sejak Rusia menyerang Ukraina tengah pekan lalu. Indeks-indeks saham telah berayun liar di tengah ketidakpastian tentang seberapa besar invasi Rusia akan mendorong inflasi.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Volatilitas di pasar keuangan global diperkirakan masih berlanjut sepanjang pekan ini. Sentimen di pasar keuangan mengacu pada perkembangan terkini di Ukraina akibat serangan Rusia dan rentetan akibat sanksi ekonomi negara-negara Barat terhadap Mokswa. Situasi itu berkelindan dengan arah langkah kebijakan suku bunga The Federal Reserved di Amerika Serikat.
Harga minyak mentah semakin melonjak, sementara nilai tukar mata uang Rusia, rubel, anjlok hampir 30 persen ke rekor terendah baru pada Senin (28/2/2022). Hal ini terjadi setelah negara-negara Barat memberlakukan sanksi baru terhadap Rusia, termasuk memblokir beberapa bank dari sistem pembayaran internasional SWIFT, terkait invasinya ke Ukraina.
Situasi semakin diliputi ketidakpastian di tengah laporan yang menyebutkan Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan unit pasukan nuklir Rusia dalam siaga tinggi pada Minggu (27/2/2022). Langkah itu merupakan respons Kremlin atas sanksi ekonomi negara-negara Barat dan keputusan Barat membantu persenjataan pada Ukraina.
Serangan Rusia ke Ukraina meningkatkan kekhawatiran bahwa pasokan minyak dari Rusia sebagai produsen terbesar kedua di dunia itu dapat terganggu. Dinamika tersebut menyebabkan harga minyak mentah Brent berjangka naik 4,21 dollar AS per barel (4,3 persen) menjadi 102,14 dollar AS per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 4,58 dollar AS per barel (5,0 persen) ke level harga 96,17 dollar AS per barel.
Sementara itu, imbal hasil Treasury AS 10 tahun turun 6 basis poin menjadi 1,92 persen. Adapun imbal hasil surat utang Australia bertenor sama juga turun 6 basis poin ke level 2,18 persen.
Pasar saham global bergejolak sejak Rusia menyerang Ukraina tengah pekan lalu. Saham yang telah berayun liar di tengah ketidakpastian tentang seberapa besar invasi Rusia akan mendorong inflasi, mengakibatkan kenaikan harga minyak dan gas alam, serta menekan arah pertumbuhan ekonomi global.
Mengawali pekan ini, indeks-indeks saham utama di Asia beranjak variatif dalam rentang tipis. Indeks Nikkei 225 di Tokyo naik 0,1 persen, indeks S&P/ASX 200 Australia menanjak 0,5 persen, dan indeks saham Kospi di Seoul juga menguat tipis 0,2 persen. Namun, indeks Hang Seng Hong Kong tergelincir 0,9 persen seiring dengan Indeks Shanghai Composite yang turun 0,5 persen.
Meskipun kawasan Asia tidak mengalami kerusakan langsung akibat perang di Ukraina, efek dari kenaikan harga energi dapat berimbas pada negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang. Jepang telah bergabung dengan negara-negara Barat dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Salah satu langkah yang diambil Tokyo adalah bergabung dengan masyarakat internasional memblokir beberapa bank Rusia dari sistem pembayaran SWIFT global. Perdana Menteri Fumio Kishida juga mengatakan, Jepang berencana untuk membekukan aset Putin.
Kyle Rodda, analis pasar di lembaga IG Australia, pasar dipenuhi sentimen negatif. Hal itu mengakibatkan pasar keuangan berada dalam kondisi penuh volatilitas. ”Kita banjir informasi yang sangat negatif selama akhir pekan,” kata Rodda. ”Perasaan saya adalah tidak akan ada banyak kekuatan bertahan di balik langkah khusus ini (di pasar saham Asia-Pasifik), mengingat kita sedang berbicara tentang risiko stabilitas keuangan, dan ancaman perang nuklir.”
Ketidakpastian tentang suku bunga The Fed dan inflasi menambah kekhawatiran pada ekonomi. Apalagi, perekonomian global belum pulih setelah dilanda selama dua tahun oleh pandemi Covid-19 dan pembatasan perjalanan, perdagangan, dan aktivitas ekonomi.
The Fed mengindikasikan kenaikan suku bunga jangka pendek bulan depan dengan kenaikan dua kali lipat dari biasanya. Jika jadi dilakukan, langkah itu akan menjadi kenaikan suku bunga pertama sejak 2018. Suku bunga AS yang lebih tinggi cenderung memberikan tekanan ke bawah pada semua jenis investasi dan dapat berdampak secara global, khususnya dari arah arus modal.
Dampak berbeda
Di Jakarta, Chief Economist & Investment Strategist Manulife Asset Management Indonesia Katarina Setiawan mangatakan, berdasarkan pengalaman sebelumnya, dampak perang terhadap perekonomian akan berbeda-beda. Beberapa faktor memengaruhi besar kecilnya dampak perang terhadap kondisi pasar, yakni negara yang terlibat dalam peperangan, skala dan periode perang, serta kondisi perekonomian negara-negara yang terlibat dan kawasan konflik.
Sebagai contoh, Perang Dunia II (PD II) memiliki dampak yang jauh lebih besar dibandingkan Perang Suriah pada 2017. Sebab, PD II melibatkan banyak negara dan berlangsung dalam periode yang panjang. ”Merujuk pada sejarah, bank sentral biasanya menahan diri dari menaikkan suku bunga secara berlebihan selama periode perang, dan lebih memilih untuk mengendalikan inflasi dengan gabungan cara-cara lain,” ujar Katarina.
“The Fed akan tetap data-dependent (merujuk pada data terbaru) dalam mengambil keputusan,“ lanjutnya.
Katarina menilai, jika dibandingkan dengan PD II, ketegangan antara Rusia dan Ukraina lebih terbatas dari segi wilayah sehingga dampaknya diprediksi akan relatif terbatas. Biasanya, dampak terhadap pasar finansial akan lebih singkat dibandingkan dampak terhadap perekonomian.
“Ketika Korea Utara melakukan invasi ke Korea Selatan selama tiga tahun, sejak 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, dalam 23 hari pasar finansial global turun sampai ke titik terendah, tetapi kemudian kembali pulih dalam 82 hari,” jelas Katarina.
Kawasan Asia memiliki tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan inflasi AS. Maka dari itu, inflasi diperkirakan masih akan tetap berada dalam kisaran yang terkendali di tengah dampak kenaikan harga energi dan berbagai komoditas.
Perekonomian dan pasar finansial Indonesia juga akan relatif lebih tertahan dari dampak konflik Rusia dan Ukraina. Di tengah kondisi pasar yang fluktuatif, investor disarankan untuk melakukan diversifikasi portofolio pada produk-produk reksa dana yang dikelola secara aktif.
”Situasi masih sangat cair dan risiko geopolitik dapat mendominasi sentimen pasar dalam jangka pendek. Portofolio yang terdiversifikasi dan dikelola secara aktif dapat menjadi pilihan untuk melindungi investasi dari inflasi serta volatilitas yang tinggi yang dipicu ketegangan geopolitik dalam jangka pendek,” ujar Katarina. (AP/REUTERS)