Awas, Serangan Rusia ke Ukraina Berdampak pada Ekonomi Global
Serangan Rusia dan sanksi balasan oleh Barat diperkirakan tidak akan mengakibatkan resesi global baru. Namun, konflik itu dapat menimbulkan kerusakan ekonomi yang parah di beberapa negara.
Oleh
KRIS MADA, ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Berbagai kalangan mulai dari pemerintah, pengusaha, investor institusi, hingga ritel mengalkulasi sekaligus mengantisipasi dampak serangan Rusia ke Ukraina bagi perekonomian global. Serangan Rusia dan sanksi balasan oleh Barat diperkirakan tidak akan mengakibatkan resesi global. Namun, konflik tersebut dapat menimbulkan kerusakan ekonomi yang parah di beberapa negara dan industri yang berisiko menyulitkan kehidupan jutaan warga.
Kemungkinan terjadinya resesi global baru akibat serangan Rusia ke Ukraina diperkirakan kecil. Gabungan ekonomi kedua negara itu menyumbang kurang dari 2 persen dari produk domestik bruto dunia. Pemulihan ekonomi di sejumlah kawasan, termasuk di Eropa secara umum, dari pandemi Covid-19 berjalan solid. Ekonomi negara-negara di ”Benua Biru” mencoba pulih dengan cepat dari resesi akibat pandemi.
Namun, bukan berarti konflik Rusia-Ukraina tidak berdampak, terlebih jika berlangsung berkepanjangan. Rusia adalah produsen minyak bumi terbesar ketiga di dunia dan pengekspor utama gas alam. Peternakan Ukraina menghidupi jutaan orang di seluruh dunia. Secara global pasar keuangan juga berada di waktu yang genting karena bank-bank sentral bersiap membalikkan kebijakan uang mudah mereka selama bertahun-tahun. Mereka siap menaikkan suku bunga untuk melawan kenaikan inflasi. Suku bunga yang lebih tinggi itu kemungkinan akan memperlambat belanja dan meningkatkan risiko tekanan bagi ekonomi secara umum.
Serangan Rusia dapat memperlambat pemulihan ekonomi Eropa melalui peningkatan harga energi yang sebelumnya sudah naik menjadi lebih tinggi. Eropa selaku importir energi menerima hampir 40 persen gas alam dari Rusia. Pemutusan sumber energi itu dapat melemahkan ekonomi Eropa. Harga gas alam yang tinggi telah menyebabkan tagihan listrik lebih tinggi atas warga untuk panas gas alam ataupun listrik yang dihasilkan dari gas. Itu artinya belanja konsumen pun rawan tertekan. ”Harga gas di Eropa telah menghancurkan rumah tangga dan konsumen, terutama rumah tangga berpenghasilan rendah,” kata Adam Tooze, Direktur Institut Eropa pada Universitas Columbia.
Majalah The Economist melaporkan, sanksi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya bisa berdampak pada Rusia dalam skala terbatas. Sebaliknya, dunia akan terdampak luas oleh isolasi Rusia. Ini terjadi karena ekonomi Rusia besar pengaruhnya dalam rantai pasok global. Gas alam, besi, nikel, gandum, hingga pupuk dipasok Rusia ke pasar global. Pasar mencakup Eropa serta sebagian Afrika dan Asia.
Isolasi Rusia hanya membuat pasokan aneka komoditas semakin terbatas. Akibatnya, ada kenaikan harga dan hal itu bisa memukul konsumen di mana-mana. AS, yang tengah mengalami inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir, tidak lepas dari pukulan itu. Setelah komoditas, transmisi dampak berikutnya akan menjalar lewat teknologi dan sistem keuangan. Ujung-ujungnya adalah inflasi di sejumlah negara yang terdampak. Hal ini akan membuat bank sentral kesulitan menyesuaikan kebijakan guna memulihkan ekonomi dari pandemi Covid-19. Tanpa itu saja, bank sentral di sejumlah negara dipusingkan dengan stagflasi, fenomena ketika harga barang-barang naik alias inflasi, padahal kegiatan usaha mengalami stagnasi. Ini menjadi persoalan pelik di masa pandemi.
Menyusul serangan Rusia ke Ukraina pada Kamis (24/2/2022), AS dan sekutunya ramai-ramai menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia. Sanksi itu akan diamplifikasi oleh 27 negara anggota Uni Eropa serta Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Dalam pembicaraan dengan para pemimpin G-7, Biden mengatakan, negara-negara kaya sepenuhnya setuju dengan sanksi terhadap Rusia.
Namun, Biden dan para pemimpin UE sama sekali tidak menyinggung soal SWIFT atau sistem pengolah transaksi keuangan internasional. ”Hal-hal yang kami usulkan itu setara atau bahkan mungkin lebih berdampak dari SWIFT. Hal itu (memutus Rusia dari SWIFT), selalu menjadi pilihan. Namun, sekarang hal itu bukan tindakan yang ingin diambil Eropa,” katanya.
Padahal, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mendesak AS dan sekutunya memutus Rusia dari SWIFT. Ia dan sejumlah pejabat Ukraina juga mendesak anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memberlakukan zona larangan terbang di Ukraina dan menutup Selat Bosphorus untuk kapal-kapal Rusia. Sejak Rusia menyerang Crimea pada 2014, AS memang pernah mengusulkan pemutusan Rusia dari SWIFT. Sampai sekarang, usulan itu tidak kunjung terwujud, antara lain, karena keberatan dari sebagian anggota UE.
Di Jakarta, analis CGSCIMB, Erwan Teguh, dalam analisis tertulis menilai, konflik Rusia-Ukraina berdampak minimum terhadap perekonomian Indonesia. Ekspor-impor dan investasi yang melibatkan Rusia dan Ukraina secara langsung dengan Indonesia masih minim. Namun, Erwan mengingatkan dampak atas sisi perdagangan. Indonesia masih bisa mengalami gangguan suplai, terutama untuk minyak dan gas, karena adanya embargo global kepada Rusia. Di sisi lain, pasar batubara Indonesia memiliki peluang sehubungan posisi Rusia sebagai salah satu eksportir batubara terbesar di dunia.
Konflik bersenjata yang pernah terjadi pada abad ke-21 juga diproyeksikan memiliki dampak minimal pada pasar saham Indonesia. Tim ekonomi Sucor Sekuritas menyatakan, dampak koreksi terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan mereda dalam waktu beberapa pekan. Hal itu merujuk pada catatan data IHSG dalam delapan konflik geopolitik sepanjang 20 tahun terakhir. Adapun menurut ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, investor global berekspektasi The Federal Reserve (bank sentral AS) akan memperlunak posisi kebijakan moneternya sehubungan dengan konflik Rusia-Ukraina. Kenaikan suku bunga oleh The Fed pada Maret diperkirakan sebesar 25 basis poin (bps), bukan 50 bps seperti perkiraan sebelumnya. (AP/AFP)