Sepak Terjang Militer Putin, dari Suriah ke Ukraina
Biaya perang Rusia di Ukraina akan sangat mahal dan bisa menyebabkan pertumpahan darah yang besar, termasuk andai—seperti di Suriah—Presiden Rusia Vladimir Putin memenangi perang.
Ketika ulasan ini diturunkan, status Ukraina sebagai negara berdaulat sedang terancam. Militer Rusia telah mengobrak-abrik sebagian besar wilayah negara demokratis itu. Pertempuran jalanan pecah di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina, Minggu (27/2/2022). Ibu kota Kiev terancam jatuh.
Pasukan Rusia terus meningkatkan tekanan pada pelabuhan-pelabuhan strategis di Ukraina selatan. Itu dilakukan setelah gelombang serangan yang menghancurkan pangkalan militer, bandar udara, dan pusat-pusat logistis di seluruh Ukraina, termasuk fasilitas bahan bakar dan pipa gas di Kharkiv.
Menyusul kemajuannya di lapangan, Kremlin mengatakan bahwa Rusia juga siap berdialog dengan Ukraina di Belarus. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy meminta lokasi lain karena Belarus dinilai tidak netral. Belarus telah membentangkan karpet merah untuk Rusia menginvasi Ukraina dan itu menyakitkan Kiev.
Baca juga: Zelenskyy Mau Berdialog, tetapi Tidak di Belarus
Jika Rusia menang di Ukraina, apakah yang akan dilakukan Presiden Vladimir Putin? Bagaimana nasib Zelenskyy, apakah dia ditangkap, dibunuh, atau melarikan diri? Para pejabat Barat yakin, Putin bertekad menggulingkan pemerintahan Zelenskyy dan menggantikan dengan rezim boneka pro-Rusia.
Invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina itu terjadi pada saat intervensi militer Rusia di Suriah telah memberikan keuntungan yang nyata bagi rezim Presiden Bashar al-Assad. Moskwa menolak sebutan ”intervensi” dalam aksi militer di negara Timur Tengah itu karena tindakan mereka didasarkan atas permintaan resmi rezim Assad untuk melawan kelompok-kelompok oposisi pemberontak.
Aksi militer Rusia di Suriah dimulai pada akhir September 2015, tepat setahun setelah kehadiran militer Amerika Serikat di sana. Aksi militer Rusia tersebut dibuka dengan serangan udara dari pangkalan Khmeimim, yang kini dikuasai Rusia, untuk menarget oposisi dan militan.
Masuknya Rusia ke kancah perang saudara di Suriah itu mengejutkan AS dan sekutunya. Sebab, pasukan oposisi yang selama setahun menjadi sekutu AS dalam memerangi Assad ikut dibombardir Rusia. Bagi Moskwa dan Damaskus, semua kelompok yang berperang melawan Assad adalah musuh.
Pada 2 Oktober 2015, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, Pesiden AS Barack Obama berang kepada Moskwa dan Presiden Rusia Vladimir Putin karena tiga hari berturut-turut menyerang posisi oposisi. Obama memperingatkan, serangan udara dan pengeboman terhadap oposisi akan membuat Suriah menjadi ”rawa” bagi Rusia dan Putin.
Ubah perang Suriah
Keputusan Putin untuk melancarkan serangan ke Suriah menandai eskalasi dramatis keterlibatan asing dalam perang saudara di Suriah. Hingga 2 Oktober 2015, perang Suriah telah berlangsung lebih dari empat tahun di mana setiap negara besar yang terlibat di kawasan itu memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing.
Baca juga: Alasan Rusia Menginvasi Ukraina dan Tantangan bagi Arsitektur Keamanan Eropa
Intervensi militer AS yang dimulai pada September 2014 bertujuan menggulingkan rezim Assad dengan mendukung oposisi, termasuk Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Hingga saat itu, Assad tidak saja berperang melawan oposisi, tetapi juga kelompok-kelompok militan, termasuk kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Front al-Nusra (sayap Al Qaeda).
Pada Mei 2020, seperti dikutip dari Newsweek, Utusan Khusus AS untuk Suriah, James Jeffrey, mendorong militer AS ikut campur dalam konflik di Suriah. Kehadiran AS di Suriah dinilai penting untuk menciptakan ”rawa” bagi Rusia, menciptakan ”Vietnam baru” atau ”Afghanistan baru” bagi Moskwa.
Suriah ternyata tidak menjadi rawa bagi Rusia. Putin mengubah arah perang, menyelamatkan rezim Assad dari kepungan berbagai kelompok perlawanan, dan kemudian menerjemahkan kekuatan militer menjadi pengaruh diplomatik. Memang itu menguras biaya; korban pun tetap berkelanjutan.
Rusia sekarang tidak bisa diabaikan di Suriah meski belum ada penyelesaian diplomatik. Sebaliknya, Moskwa telah menghimpun pengaruh regional yang besar, dari Israel hingga Libya, dan menjaga kemitraan dengan Assad. AS gagal mengantisipasi kemungkinan intervensi Rusia itu berhasil.
Pada musim dingin Februari 2022, AS dan sekutu Barat-nya kembali geram dengan intervensi Rusia. Namun, kali ini berada di daratan Eropa itu sendiri. Putin menyebutkan, ”operasi militer khusus” di Ukraina atas permintaan penguasa Lugansk dan Donetsk—yang oleh Kiev disebut separatis.
Pada 10 Februari 2022, seperti dikutip CBS News, Menteri Negara Inggris untuk Eropa, James Cleverly, mengatakan bahwa jika pecah perang di Ukraina, Ukraina ”akan menjadi rawa” bagi Rusia. Menurut dia, biaya perang di Ukraina akan sangat mahal bagi Kremlin dan akan menyebabkan pertumpahan darah yang sangat besar.
Baca juga: Rusia Klaim Keunggulan, Dunia Dukung Ukraina
Menurut perkiraan Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 50.000 warga sipil Ukraina mengungsi. Seiring dengan melemahnya dukungan dari para elite Rusia terhadap Putin, perang dapat membahayakan ekonomi Rusia dan merugikan rakyat Rusia.
Pada saat yang sama, invasi militer Rusia ke Ukraina bisa membawa pasukan NATO semakin dekat ke perbatasan Rusia. Rusia mungkin akan mendapat perlawanan Ukraina selama bertahun-tahun ke depan. Para analis mengatakan, Rusia akan terjebak dalam bencana yang dibuatnya sendiri.
Andai Putin menang
Namun, tampaknya serangan ke Ukraina akan mendukung rencana besar Putin menggambar ulang peta Eropa meski menghadapi risiko besar. Putin sedang dalam misi bersejarah memperkuat pengaruh Rusia di Ukraina, seperti yang dilakukannya di Belarus dan Kazakhstan.
Moskwa tampaknya melihat, Rusia bisa menang di Ukraina melalui intervensi militer atau perang. Jika perhitungan Kremlin benar, seperti yang terjadi di Suriah, AS dan Eropa juga harus bersiap dengan kemungkinan lain, yakni bagaimana jika Rusia menang di Ukraina?
Jika Rusia menguasai Ukraina atau berhasil mengacaukannya dalam skala besar, era baru bagi AS dan Eropa akan dimulai. Para pemimpin Barat akan menghadapi tantangan ganda untuk memikirkan kembali keamanan Eropa dan tidak terseret ke dalam perang yang lebih besar dengan Rusia.
Mereka harus mempertimbangkan potensi ancaman Rusia jika terpaksa harus berkonfrontasi langsung. Tanggung jawab mempertahankan perdamaian Eropa dan dengan hati-hati menghindari eskalasi militer dengan Rusia belum tentu sejalan. AS dan sekutunya bisa mendapati keadaan sangat tidak siap menghadapi dampak tindakan militer Rusia di Ukraina.
Menurut Liana Fix dan Michael Kimmage, peneliti pada lembaga kajian German Marshall Fund di Washington DC, AS, bagi Rusia, kemenangan di Ukraina bisa dicapai dalam berbagai bentuk. Seperti di Suriah, kemenangan tidak harus membawa penyelesaian berkelanjutan.
Baca juga: Para Pemimpin Dunia Kecam Putin, Sanksi Barat Mulai Hantam Rusia
Misalnya, Rusia dapat menggunakan serangan siber yang menghancurkan dan alat disinformasi untuk melumpuhkan negara Ukraina. Selain itu, Rusia dapat mendorong perubahan rezim dengan membentuk rezim boneka yang patuh kepada Moskwa di Kiev.
”Jika salah satu dari kemungkinan ini berhasil, Ukraina akan secara efektif terlepas dari Barat,” tulis Fix dan Kimmage dalam artikel mereka di Foreign Affairs, 18 Februari 2022.
Menurut keduanya, jika Rusia mencapai tujuan politiknya di Ukraina dengan kekuatan militer, Eropa tidak akan seperti sebelum perang di Ukraina lagi. Hegemoni atau dominasi AS di Eropa dan anggapan bahwa Uni Eropa atau NATO dapat menjamin perdamaian di Eropa, akan menjadi semacam ”artefak dari zaman yang hilang”.
AS dan sekutu Barat-nya juga akan berada dalam suatu situasi perang ekonomi berkepanjangan atau permanen dengan Rusia karena paket sanksi yang terus diberikan kepada Moskwa. Pihak Barat akan berusaha untuk menegakkan sanksi besar-besaran, yang kemungkinan besar akan ditangkis Rusia dengan serangan siber dan pemutusan suplai energi. China mungkin akan berdiri di pihak Rusia dalam persaingan ekonomi ini.
Kedaulatan Rusia atas Ukraina akan membuka zona destabilisasi dan ketidakamanan yang luas dari Estonia hingga Polandia, dari Romania ke Turki. Selama itu berlangsung, kehadiran Rusia di Ukraina akan dianggap oleh tetangga Ukraina sebagai kehadiran yang provokatif, tidak dapat diterima, dan sebagai ancaman bagi keamanan mereka sendiri.
Di Ukraina, negara-negara Uni Eropa dan NATO dipastikan tidak akan pernah mengakui rezim baru yang didukung Rusia di Kiev. Beberapa anggota NATO akan mendukung perjuangan Ukraina, yang akan ditanggapi oleh Rusia dengan mengancam anggota NATO.
Baca juga: Putin Perintahkan Pasukan ke Donetsk dan Lugansk
Kesulitan yang dihadapi Ukraina akan sangat hebat, baik secara ekonomi maupun bisnis, militer, dan kemanusiaan. Pengungsi yang melarikan diri sangat mungkin bisa mencapai jutaan orang. Unit-unit militer mungkin akan terus berperang melawan Rusia dan itu bisa mengganggu Eropa.
Bagi AS, kemenangan Rusia akan berdampak besar pada strategi besarnya di Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Keberhasilan Rusia di Ukraina bisa mengharuskan Washington untuk berporos ke Eropa. Hanya komitmen kuat AS terhadap keamanan Eropa yang akan mencegah Rusia.
Konsekuensi pahit dari perang Ukraina adalah bahwa Rusia dan AS akan saling berhadapan sebagai musuh di Eropa. Di saat yang sama, konfrontasi AS-Rusia berpotesi meluas ke perang proksi di Timur Tengah atau Afrika jika AS berusaha membangun kembali kekuatan dan kehadirannya di kawasan setelah di Afghanistan. (AFP/AP/REUTERS)