Alasan Rusia Menginvasi Ukraina dan Tantangan bagi Arsitektur Keamanan Eropa
Invasi militer Rusia ke Ukraina membawa ancaman bagi kawasan pasca-Soviet yang bergejolak dan konsekuensi serius bagi arsitektur keamanan Eropa yang terjaga sejak 1990-an.
Presiden Rusia Vladimir Putin sama sekali tidak menanggapi panggilan telepon Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang sedang berusaha menenangkan warganya dari ancaman invasi Rusia. ”Hari ini saya berinisiatif menelepon Presiden Federasi Rusia (Vladimir Putin). Diam saja,” kata Zelenskyy, seperti dikutip kantor berita Agence-France Presse (AFP), Rabu (23/2/2022).
Keesokan harinya, Rusia justru menginvasi Ukraina secara besar-besaran yang dibuka dengan serangan udara dan rudal. Pasukan darat mengikuti dari utara, timur, dan selatan. Moskwa, Jumat (25/2/2022), mengklaim telah menghancurkan 83 fasilitas militer Ukraina.
Kiev mengaku, 173 tentara dan warga sipilnya tewas dalam serangan hari pertama dan pada Jumat malam, Kementerian Pertahanan Ukraina, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, mengatakan bahwa sejauh ini lebih dari 1.000 prajurit Rusia telah tewas dalam konflik Ukraina. Rusia tidak merilis data korban.
Hingga kini, belum dimungkinkan verifikasi terhadap data korban. Pejabat PBB, seperti dilansir kantor berita Associated Press (AP), melaporkan 25 warga sipil tewas. Mereka kebanyakan tewas akibat tembakan artileri dan serangan udara. Pejabat PBB juga menambahkan, 100.000 orang diyakini telah meninggalkan rumah masing-masing. Angka itu bisa bertambah hingga 4 juta jika eskalasi pertempuran berlanjut.
Seminggu sebelum invasi, Barat memang telah mengkhawatirkan bahwa latihan militer Rusia-Belarus dan latihan solo Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam, yang berakhir pada 20 Februari 2022, adalah persiapan akhir untuk invasi. Dua hari menjelang latihan itu berakhir, Presiden AS Joe Biden menegaskan bahwa Putin telah memutuskan menginvasi Ukraina, seperti dikutip dari Foreign Policy. Kekhawatiran Barat dan pernyataan Biden itu benar-benar terjadi.
Baca juga : Putin Perintahkan Pasukan ke Donetsk dan Lugansk
Bagi Biden, Putin telah ”membanting pintu diplomasi dengan keras”. Tidak ada peluang berdialog. Sedianya Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menlu Rusia Sergey Lavrov bertemu pada 24 Februari 2022, tetapi invasi membatalkannya. Upaya diplomasi yang dilakukan para pemimpin Perancis, Jerman, dan Inggris ke Moskwa berakhir dengan sinisme: Rusia tak ingin mendengar ceramah Barat.
Dalam ulasan terdahulu, kita sudah melihat apa yang terjadi jika Putin memilih invasi atau tidak ke Ukraina. Walaupun ada begitu banyak risiko yang bakal dihadapi Rusia dan dirinya, termasuk risiko militer dan ekonomi terhadap negaranya, serta risiko politik bagi Putin sendiri, pada akhirnya Putin lebih memilih invasi skala penuh ke Ukraina ketimbang berdialog dengan Barat lewat jalur diplomasi.
Pertanyaan ini selalu mengusik: mengapa Putin pada akhirnya memutuskan untuk memilih invasi militer—atau menurut istilah Putin sendiri ”operasi militer khusus”—ke Ukraina dan mengabaikan diplomasi? Kira-kira apa yang dipertaruhkan Putin di balik konflik yang telah berubah menjadi konfrontasi militer skala besar itu?
Perlu diketahui bahwa beberapa saat sebelum invasi dimulai, Putin dalam pernyataannya di TV menyatakan Rusia tidak dapat merasa ”aman, berkembang, dan eksis” karena ada ancaman konstan dari Ukraina modern. Putin sering tidak stabil dan tidak konsisten dalam membuat pernyataan. Salah satunya, setelah berhari-hari menuntut Ukraina menegakkan Kesepakatan Minsk 2014 dan 2015, Putin kemudian justru melanggar dengan aksi militernya.
Selain itu, setelah mengakui kedaulatan Luhansk dan Donetsk, dua wilayah yang dikuasai separatis Ukraina di Ukraina timur, Putin mengirim pasukan ke sana sebagai ”penjaga perdamaian”. Tindakan itu dikecam oleh Sekjen PBB Antonio Guterres dan banyak pemimpin dunia. Setelah tindakan itu dikecam sebagai melanggar hukum internasional, Putin lalu mengeluarkan pernyataan bahwa dia mengirim pasukan untuk ”operasi militer khusus”.
Media The New York Times menyebutkan, pada Kamis (24/2/2022) pagi sebelum pukul 06.00 waktu setempat di Moskwa, Putin berbicara di televisi kepada rakyatnya tentang dimulainya ”operasi militer khusus” di Ukraina. Menurut Putin, tujuan operasi itu adalah untuk ”demiliterisasi dan de-Nazifikasi”, tetapi tidak untuk menduduki.
Baca juga : Para Pemimpin Dunia Kecam Putin, Sanksi Barat Mulai Hantam Rusia
Beberapa media melaporkan, operasi militer khusus itu dilakukan atas permintaan dari otoritas penguasa di Donetsk dan Luhansk—wilayah yang melepaskan diri dari Ukraina dan didukung Rusia. Alasannya karena ada serangan dari militer Ukraina, seperti dilaporkan TASS, Kamis (24/2/2022). Tiga hari sebelumnya, Putin mengumumkan pengakuan atas kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina timur dan dikuasai kelompok separatis pro-Rusia.
Operasi itu disertai penjelasan lain, yakni melindungi warga Donetsk dan Luhansk yang selama delapan tahun terakhir—menurut Putin—menjadi target ”intimidasi dan genosida”. Menurut laporan BBC, tidak ada genosida di Ukraina. Lalu pada Jumat (25/2/2022) malam WIB, Putin menyebut otoritas Ukraina sebagai ”geng pencandu narkoba dan neo-Nazi” dan mengaku memerangi ”teroris”.
Demokrasi justru hidup di Ukraina dan dipimpin oleh presiden yang beragama Yahudi. ”Bagaimana saya bisa menjadi seorang Nazi?” kata Zelenskyy, yang menyamakan serangan gencar Rusia dengan invasi Nazi Jerman dalam Perang Dunia II, seperti dilaporkan BBC.
Hanya beberapa menit setelah Putin berbicara di televisi di Moskwa, ledakan besar terdengar di Kiev, Kharkiv, dan kota-kota lainnya di Ukraina. Putin akhirnya melakukan invasi besar-besaran ke Ukraina. Serangan itu juga menjadi ancaman yang dapat mengacaukan kawasan pasca-Soviet yang sudah bergejolak dan membawa konsekuensi serius bagi struktur keamanan Eropa yang telah terjaga sejak 1990-an.
Misi Putin
Putin memang telah lama menyesali hilangnya Ukraina dan republik lainnya ketika Uni Soviet pecah. Dia meremehkan NATO yang ikut mengendalikan Soviet. Mungkinkah itu misinya yang sebenarnya?
Dua bulan sebelum invasi, The New York Times pada edisi 17 Desember 2021 melaporkan bahwa Rusia hari itu mengajukan proposal kesepakatan keamanan baru dengan NATO. Rusia menuntut kekuatan Barat, terutama NATO, untuk menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Asia Tengah.
NATO diminta membuat jaminan tertulis untuk tidak memperluas keanggotaannya ke timur, dekat Rusia. Moskwa menuntut NATO mundur dari Eropa Timur dan semua negara bekas Soviet. Usulan tersebut ditolak Barat, tetapi Moskwa telah menumpukkan pasukannya di dekat Ukraina.
Baca juga : Rusia Klaim Hancurkan 83 Fasilitas Militer Ukraina
Tuntutan Moskwa itu juga memperkuat gagasan bahwa Putin memang sangat siap untuk mengambil risiko yang bakal dihadapinya sekalipun mungkin risiko itu besar baginya. Hal itu untuk memaksa Barat memperhitungkan keamanan Rusia dengan serius dan untuk mengatasi keluhan Rusia yang sebagian besar diabaikan selama beberapa dekade.
Setelah Uni Soviet runtuh, misalnya, NATO terus memperluas ke timur. Sejumlah besar negara Eropa yang pernah berada di lingkungan komunis bergabung dengan aliansi militer Barat itu. Lituania, Latvia, dan Estonia, misalnya, bergabung dengan NATO. Begitu pula Polandia, Romania, dan lainnya.
Akibatnya, NATO bergerak semakin dekat dengan Moskwa karena sebagian negara yang berbatasan dengan Rusia telah menjadi anggota. Pada 2008, NATO menyatakan berencana—suatu hari nanti—untuk mendaftarkan Ukraina meskipun itu masih dipandang masih membutuhkan waktu lama.
Putin telah menggambarkan disintegrasi Soviet sebagai bencana yang merampas tempat yang semestinya bagi Rusia di antara kekuatan besar dunia. Dia telah, misalnya, menghabiskan 22 tahun berkuasa untuk membangun lagi militer Rusia dan menegaskan kembali pengaruh geopolitik Rusia.
Pemimpin Rusia itu menyebut ekspansi NATO sebagai ancaman. Prospek bergabungnya Ukraina ke aliansi militer Barat itu juga sebagai ancaman paling besar bagi negaranya. Ketika Rusia tumbuh lebih tegas dan lebih kuat secara militer, sikap permusuhannya terhadap NATO semakin kencang dan keluhannya semakin nyaring.
Putin juga menegaskan bahwa Ukraina, seperti halnya Belarus, pada dasarnya adalah bagian dari Rusia, secara budaya dan sejarah. Ukraina disebutnya sebagai ”Rusia kecil”. Untuk memahami pandangan Putin tentang Ukraina, dapat dibaca pada artikelnya, On the Historical Unity of Russians and Ukrainians, di situs resmi Kremlin, 12 Juli 2021. Dia juga memegang kendali besar atas Belarus dan pembicaraan tentang beberapa bentuk reunifikasi dengan Rusia telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Baca juga : NATO Tak Mau Terlibat, Ukraina Merasa Ditinggal Sendiri
Tampaknya Putin memang telah lama mengkhawatirkan Ukraina, yang semakin masuk ke dalam orbit Barat. Hal itu berarti dapat mengancam keamanan Rusia. Menurut Putin, Moskwa seharusnya menjadi pusat reunifikasi, melanjutkan tradisi kenegaraan Rusia kuno. Sementara Barat melihat peningkatan ancaman Rusia ke Ukraina menjadi tantangan terberat bagi semua upaya diplomatik.
Menurut Liana Fix, peneliti di lembaga kajian German Marshall Fund di Washington DC, AS, dan Michael Kimmage, peneliti tamu di German Marshall Fund, Putin kini telah mengambil lebih banyak risiko, termasuk dalam persoalan politiknya sehari-hari. Putin sedang dalam misi bersejarah untuk memperkuat pengaruh Rusia di Ukraina, seperti yang sudah pernah dia lakukan baru-baru ini di Belarus dan Kazakhstan.
Fix dan Kimmage, dalam artikel mereka di Foreign Affairs, mengatakan, sejak lama Putin melihat kemenangannya di Ukraina bisa dicapai dengan mudah. Kini dia telah mencapainya sekarang: menaklukkan Ukraina. Apa yang terjadi jika Rusia menguasai Ukraina atau berhasil mengacaukannya dalam skala besar dan luas? ”Kemungkinan era baru bagi AS dan Eropa akan dimulai,” tulis Fix dan Kimmage.
Tantangan AS dan Eropa
Para pemimpin AS dan Eropa saat ini sedang menghadapi tantangan ganda untuk memikirkan kembali keamanan Eropa serta bagaimana supaya Eropa tidak terseret ke dalam perang yang lebih besar dengan Rusia. Semua pihak seharusnya dengan cermat mempertimbangkan potensi musuh bersenjata nuklir itu jika konfrontasi langsung.
Dua tanggung jawab ini, yakni teguh membela perdamaian Eropa, tetapi berhati-hati menghindari eskalasi militer dengan Rusia, belum tentu bisa bergerak sejalan. Kekuatan Barat bisa mendapati diri sangat tidak siap menciptakan tatanan keamanan Eropa baru sebagai akibat tindakan militer Rusia di Ukraina.
Menurut Fix dan Kimmage, Putin tampaknya sedang berniat memutar kembali waktu lebih dari 30 tahun, yakni membangun zona keamanan luas yang didominasi Rusia yang menyerupai kekuatan yang dimiliki Moskwa di masa Soviet.
Sekalipun berulang kali disangkal Putin, kemungkinan tersebut mengkhawatirkan banyak negara pecahan Soviet. Beberapa negara bekas Soviet, termasuk Lituania, seperti dilaporkan Reuters, telah menerapkan negara dalam keadaan darurat setelah Rusia menginvasi Ukraina pada Kamis (24/2/2022).
Lihat foto : Gelombang Unjuk Rasa Tolak Serangan Rusia ke Ukraina di Berbagai Negara
Sekarang di usia 69 tahun dan mungkin mendekati senja karier politiknya, Putin kemungkinan ingin menarik Ukraina, negara berpenduduk 44 juta orang itu, kembali ke orbit Rusia. Dia ingin merebut Kiev dan tampaknya memulihkan pemerintahan yang baru yang pro-Rusia.
Namun, dalam perkembangan terbaru, seperti dilaporkan Associated Press, Jumat (25/2/2022) malam, Zelenskyy mengatakan dia bersedia membahas status nonblok Ukraina. Moskwa menuntut Ukraina membatalkan tawarannya bergabung dengan NATO dan mengadopsi status netral.
Bagaimanapun, sikap agresif Moskwa telah mengobarkan nasionalisme Ukraina. Militansi rakyat Ukraina melawan Rusia telah muncul di berbagai wilayah Ukraina.
Sementara itu, ribuan orang di Rusia berunjuk rasa menentang langkah invasi Putin ke Ukraina. Meski lebih dari 1.000 orang yang terlibat telah ditangkap, aksi itu merupakan potret ketidaksukaan publik atas Putin. Sanksi-sanksi internasional yang luas untuk Rusia bakal berdampak bagi ekonomi rakyat Rusia.