Para Pemimpin Dunia Kecam Putin, Sanksi Barat Mulai Hantam Rusia
Para pemimpin dunia mengecam Rusia yang mengakui kedaulatan wilayah Donetsk dan Luhansk, yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina timur, dan akan mengirim pasukan ke wilayah itu. Rusia mulai menuai sanksi.
KIEV, RABU – Pemimpin dunia, Selasa (22/2/2022), mengecam langkah sepihak Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Ukraina. Negara-negara Barat pun mulai menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia. Babak baru dalam krisis Ukraina ini terjadi setelah Putin, Senin (21/2/2022), mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina timur, dan memerintahkan tentaranya masuk ke dua wilayah itu.
Dunia internasional memberikan reaksi beragam, baik berupa langkah diplomatik maupun sanksi ekonomi. Para pemimpin dunia menyebut tindakan Rusia tersebut telah melanggar hukum internasional. Beberapa negara, termasuk Inggris dan Austria, memanggil duta besar Rusia di negara mereka untuk meminta klarifikasinya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, keputusan Putin melanggar kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina dan tak sesuai prinsip dalam Piagam PBB. "Ketika pasukan sebuah negara memasuki teritorial negara lain tanpa persetujuannya, mereka bukanlah pasukan perdamaian imparsial. Mereka bukan pasukan perdamaian sama sekali," kata Guterres kepada wartawan di Markas Besar PBB, New York, AS, Selasa.
Pasukan perdamaian, yang dia maksud, merujuk pada sebutan Putin pada pasukan Rusia yang akan dikirim ke Donetsk dan Luhansk. Guterres juga menolak klaim Putin bahwa telah terjadi genosida terhadap warga etnis Rusia di dua wilayah tersebut. Ia menambahkan, Rusia telah melanggar integritas dan kedaulatan Ukraina dengan mengakui dua kelompok separatis di Ukraina timur.
Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada telah menjatuhkan sanksi-sanksi baru terhadap Rusia. Walau demikian mereka tetap memberi ruang kepada Rusia dengan memberikan kesempatan kepada Moskwa untuk membatalkan rencana pengiriman pasukan ke Donetsk dan Luhansk, lalu kembali ke meja perundingan, dan bekerja untuk menciptakan perdamaian bersama.
Kremlin mengatakan, pihaknya tetap terbuka untuk semua kontak diplomatik mengenai Ukraina dan bahwa pemutusan hubungan dengan Moskow akan memperburuk situasi yang sudah tegang.
"Pihak Rusia tetap terbuka di semua tingkatan untuk kontak diplomatik... Semuanya tergantung pada lawan kami," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada wartawan. Dia menambahkan bahwa langkah Kiev untuk memutuskan hubungan resminya dengan Moskwa akan menjadi "skenario yang sangat tidak diinginkan, akan membuat segalanya lebih sulit."
Inggris memulai
Inggris menjatuhkan sanksi kepada lima bank dan tiga pengusaha kaya (miliarder) Rusia. Lima bank yang terkena sanksi adalah Rossiya, IS Bank, General Bank, Promsvyazbank, dan Black Sea Bank. Adapun tiga pengusaha yang terkena sanksi adalah Gennady Timchenko, Boris Rotenberg, dan Igor Rotenberg. Aset mereka di Inggris dibekukan.
Baca juga : Latihan Perang Berakhir, Putin Pilih Invasi Ukraina atau Tidak
Perdana Menteri Boris Johnson menyebutkan sanksi itu sebagai "serangan pertama" untuk menanggapi langkah Rusia di Ukraina. Berbicara di Parlemen Inggris, dia menyebutkan, langkah Rusia ke Ukraina merupakan invasi awal, dalih untuk melakukan serangan skala penuh lebih lanjut.
AS mengatakan, langkah Rusia ke Ukraina timur sama dengan awal invasi. AS memperingatkan bahwa sanksi berat akan segera diumumkan. "Kami pikir ini awal dari invasi, invasi terbaru Rusia ke Ukraina," kata Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS, Jonathan Finer, kepada CNN.
Selasa waktu setempat atau Rabu dini hari WIB, Washington mulai menjatuhkan sanksi yang lebih keras dan tegas. Presiden AS Joe Biden mengumumkan apa yang disebutnya sebagai sanksi-sanksi "tahap awal", termasuk langkah-langkah menarget lembaga-lembaga keuangan Rusia dan para elitenya. Selain itu, Biden juga telah menandatangani perintah eksekutif untuk menghentikan aktivitas bisnis AS di wilayah Donetsk dan Luhansk.
"Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan kedaulatan Ukraina serta integritas teritorial," kata Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield usai pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB, Senin malam.
"Kami dapat, akan, dan harus bersatu dalam seruan agar Rusia menarik pasukannya, kembali ke meja perundingan dan bekerja menuju perdamaian."
Dari Ottawa, PM Kanada Justin Trudeau juga mengumumkan tahap pertama sanksi negaranya pada Rusia. Pemerintah Kanada akan melarang warganya berurusan dengan urusan keuangan dengan apa yang disebut sebagai "negara merdeka" Luhansk and Donetsk. Warga Kanada juga dilarang membeli surat utang Rusia.
Trudeau menambahkan, pihaknya juga akan menjatuhkan sanksi terhadap para anggota parlemen yang mendukung keputusan pengakuan atas kedaulatan Donetsk dan Luhansk. Selain itu, Ottawa memberikan sanksi terhadap dua bank pemerintah dan melarang kerja sama keuangan dengan mereka. Trudeau juga menyebut, Kanada akan menambah pasukan di kawasan Eropa Timur.
Adapun UE ingin menargetkan bank-bank yang membiayai operasi Rusia di wilayah separatis Ukraina dan memutuskan akses Moskwa ke pasar keuangan Eropa. Dalam pernyataan bersama Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengatakan, sanksi yang diusulkan itu diajukan secara resmi pada Selasa malam atau Rabu pagi dini hari WIB.
Baca juga : Putin Perintahkan Pasukan ke Donetsk dan Lugansk
Dikatakan, di dalam sanksi itu sejumlah nama pejabat Rusia dan separatis Ukraina dimasukkan ke dalam daftar hitam dan memutuskan perdagangan ke wilayah Donetsk dan Luhansk. Bank-bank yang membiayai operasi militer Rusia dan operasi lain di wilayah itu juga dikenai sanksi. Paket sanksi itu juga menarget kemampuan Rusia untuk mengakses pasar dan layanan modal dan keuangan UE.
"Uni Eropa telah mempersiapkannya dan siap untuk mengadopsi langkah-langkah tambahan pada tahap selanjutnya jika diperlukan sambil melihat perkembangan lebih lanjut," kata pernyataan itu.
Stop sertifikasi Nord Stream 2
Sementara Jerman menghentikan sertifikasi pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia dan mengatakan bahwa UE akan menerapkan sanksi ekonomi yang "kuat dan besar-besaran" kepada Rusia. "Kedengarannya teknis, tetapi ini adalah langkah administratif yang diperlukan agar tidak ada sertifikasi pipa gas dan tanpa sertifikasi ini, Nord Stream 2 tidak dapat mulai beroperasi," kata Kanselir Jerman, Olaf Scholz.
Beberapa negara Eropa dan AS mendukung langkah Jerman itu. Menurut Scholz, Jerman juga siap untuk memberikan sanksi lebih lanjut jika Rusia sampai melakukan invasi skala penuh ke Ukraina. Menteri Pertahanan Jerman Christine Lambrecht mengatakan, Berlin siap untuk mengerahkan lebih banyak pasukannya ke Lithuania karena meningkatnya kekhawatiran akan invasi Rusia ke Ukraina.
Jepang mengatakan mendukung sanksi internasional atas Rusia. Negara-negara Baltik, yakni Estonia, Latvia, dan Lithuania, juga mengecam langkah Rusia ke Ukraina.
Sementara Kiev memanggil kembali dubes mereka di Moskwa. Presiden Volodymyr Zelenskyy menyebutkan, pengakuan Putin atas wilayah Donbas menandai "agresi militer lebih lanjut" terhadap Ukraina.
"Kami mengecam sangat keras semua tindakan militer terhadap Ukraina," kata Presiden Estonia Alar Karis setelah terbang ke Kiev. "Ini adalah momen yang menentukan dalam sejarah Eropa. Putin akan bertanggung jawab kepada generasi mendatang atas kekerasannya," katanya.
Baca juga : Krisis Ukraina-Rusia Lambungkan Harga Minyak dan Emas
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan selama kunjungan ke Washington, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, dia bekerja dengan teman-teman Barat untuk menjatuhkan sanksi keras terhadap Rusia. "Rusia mencoba memprovokasi Ukraina. Sebaliknya, Ukraina menunjukkan kebijaksanaan dan ketahanan untuk mencegah konfrontasi bersenjata," katanya.
Jepang gabung Barat
Di Asia, China mengatakan prihatin dengan situasi yang memburuk dan menyerukan semua pihak untuk "berlatih" menahan diri. Jepang mengatakan siap untuk bergabung dengan negara-negara lain untuk menjatuh terhadap Moskow jika terjadi invasi skala penuh.
Di sisi lain, situasi di Donetsk dan Luhansk, wilayah yang secara koletif disebut Donbas, semakin panas dan tak menentu. Dua wilayah yang dikuasai separatis dukungan Rusia itu telah memisahkan diri dari Ukraina pada 2014 dan memproklamirkan diri sebagai "republik rakyat" yang independen.
Setelah dua tentaranya tewas akibat tembakan artileri kelompok separatis, militer Ukraina melaporkan di laman Facebook-nya bahwa mereka mencatat 84 kasus penembakan oleh separatis. Sekitar 40 pemukiman di sepanjang garis depan jadi sasaran tembakan artileri berat. Namun dilaporkan tidak ada warga yang mengungsi.
Kantor berita Interfax, mengutip seorang pejabat separatis, melaporkan bahwa militer Ukraina telah meledakkan sebuah ranjau di sebuah jalan yang menewaskan tiga warga sipil. Situasi itu memancing ketegangan baru yang dapat memicu perang terbuka yang lebih luas antara Ukraina dan Rusia, sebagai pendukung utama kelompok separatis Ukraina.
Di tengah situasi yang kian tidak menentu dan memanas di Ukraina timur, Rusia menyerukan negara di dunia untuk ikut mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk (RRD) dan Republik Rakyat Luhansk (RRL). Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, pengakuan Moskwa terhadap pemberontak itu "tidak mudah, tetapi itu satu-satunya langkah yang mungkin."
Baca juga : Tiga Senjata Putin Menyerbu Ukraina
Sementara itu, Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Selasa, mendukung penuh langkah Putin. Mereka mendorong perlunya perjanjian persahabatan dengan RRD dan RRL. Perjanjian itu akan berlaku setelah Putin menandatanganinya dan membuka jalan bagi Moskwa untuk membangun pangkalan militer di sana, mengadopsi postur pertahanan bersama, dan memperketat integrasi ekonomi.
Perkembangan tersebut terjadi setelah Putin menekan sebuah dekrit yang menginstruksikan Kementerian Pertahanan Rusia untuk "menjalankan fungsi penjaga perdamaian" RRD dan RRL. Dalam dekritnya, Putin mengeluarkan dua perintah, yakni mengakui kedaulatan RRD dan RRL dan memerintahkan tentara Rusia masuk ke dua wilayah itu sebagai penjaga perdamaian.
Situasi di Eropa Timur, terutama negara-negara pecahan Uni Soviet, semakin tegang karena merasa terancam. Memahami situasi itu, Putin mengatakan, Rusia menghormati kedaulatan semua republik bekas Soviet lainnya. Namun, Moskow membuat pengecualian dengan Ukraina karena negara itu berada di bawah kendali asing, seperti dilaporkan kantor berita TASS.
Putin juga menegaskan, dia tidak berencana untuk memulihkan kembali kekaisaran Rusia. Hal itu dikatakannya dalam pertemuan dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev di Kremlin. Dia mengatakan, Moskow "mengakui realitas geopolitik baru" setelah jatuhnya Uni Soviet dan bekerja dengan "semua negara merdeka di ruang pasca-Soviet." (AFP/AP/REUTERS/CAL)