Dari Kanada hingga Selandia Baru, Sekelompok Warga Ngotot Tolak Protokol Kesehatan
Di negara-negara maju, segelintir orang menolak protokol kesehatan atas nama kebebasan pribadi. Fenomena yang muncul sejak 2021 itu terus berlanjut hingga kini.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
WELLINGTON, KAMIS — Polisi menangkap 50 pengunjuk rasa yang berkemah selama tiga hari di halaman gedung parlemen Selandia Baru. Mereka berunjuk rasa menolak berbagai protokol kesehatan selama pandemi Covid-19, mulai dari memakai masker hingga wajib vaksinasi bagi pekerja di sektor tertentu.
”Kami menghormati hak setiap warga untuk mengutarakan pendapat. Akan tetapi, perbuatan para pengunjuk rasa ini sudah melanggar aturan mengenai batas wilayah. Mereka menerobos tempat yang semestinya tidak boleh dimasuki tanpa izin khusus,” kata Kepala Kepolisian Distrik Wellington Corrie Parnell, Kamis (10/2/2022).
Sebanyak 1.000 warga Selandia Baru mendatangi gedung parlemen sejak Senin (7/2/2022). Mereka mengendarai mobil dan juga truk. Sejumlah pengunjuk rasa mengaku mereka menyetir sepanjang ratusan kilometer demi menghadiri demonstrasi tersebut.
”Beri kami kebebasan! Jangan atur-atur kami! Pekerjaan dan kehidupan kami terancam gara-gara protokol kesehatan!” demikian beberapa protes yang mereka serukan.
Selandia Baru berpenduduk 5 juta jiwa. Sepanjang pandemi Covid-19, mereka menerapkan penguncian perbatasan negara secara total. Berkat kebijakan itu, jumlah kasus Covid-19 di negara tersebut terbilang sedikit. Sejak tahun 2020, akumulasi jumlah Covid-19 mencapai 18.000 kasus dengan 53 kasus meninggal.
Munculnya varian Omicron membuat pemerintah mengetatkan kembali protokol kesehatan. Data Kementerian Kesehatan Selandia Baru menyebutkan, rata-rata kasus harian mencapai 200 orang. Pemerintah pun mewajibkan pemakaian masker di tempat umum, seperti pertokoan dan sekolah. Ada pula kewajiban vaksinasi bagi guru, tenaga kesehatan, polisi, dan tentara.
Sebanyak 77 persen penduduk Selandia Baru sudah divaksin lengkap. Ini membuat Perdana Menteri Jacinda Ardern mengeluarkan pernyataan bahwa para pengunjuk rasa tersebut tidak mewakili keinginan rakyat Selandia Baru. Mereka adalah orang-orang keras kepala yang masih bertahan untuk mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan keselamatan publik.
Persepsi serupa juga dimiliki oleh para anggota parlemen. Di Selandia Baru, biasanya, setiap kali ada unjuk rasa, minimal satu orang politisi akan turun menemui para peserta untuk berdialog ataupun memberi dukungan. Namun tidak kali ini. Bahkan, para politisi dari partai oposisi pun tidak memberikan pernyataan.
”Warga Wellington sudah melontarkan keluhan ke kepolisian. Mereka sangat terganggu dengan unjuk rasa ini. Lalu lintas terhambat, ada penumpukan orang di satu tempat, dan kegiatan sosial terganggu,” kata Wakil PM Selandia Baru Grant Robertson.
Unjuk rasa di Selandia Baru ini muncul setelah kejadian serupa di perbatasan Kanada dengan Amerika Serikat (AS). Kedua negara memiliki hubungan ekonomi yang erat karena banyak perusahaan otomotif AS yang membuka pabrik di Kanada. Setiap hari, truk-truk pengangkut barang lalu lalang melintasi perbatasan kedua negara.
Pemerintah Kanada mewajibkan semua sopir truk yang memasuki negara itu sudah divaksin lengkap. Kanada telah memvaksinasi 90 persen penduduknya. Mereka ingin memastikan kegiatan ekonomi berjalan secara aman.
Peraturan ini mengakibatkan 100 pengemudi truk marah dan melakukan unjuk rasa. Mereka memarkir truk mereka sehingga menghalangi transportasi di Jembatan Ambassador yang menghubungkan Kota Windsor di Provinsi Ontariao, Kanada, dengan Kota Detroit di Negara Bagian Michigan, AS. Sebanyak 25 persen kegiatan pengangkutan barang kedua negara melalui jembatan ini.
Para sopir truk menolak kebijakan wajib vaksinasi tersebut. Bahkan, ketika diwawancara dengan sejumlah media lokal, mereka mengaku rela mati demi membela prinsip ini. Di AS, Partai Republik yang konservatif memanfaatkan fenomena ini untuk mencela aturan protokol kesehatan. Bahkan, mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan pernyataan yang menyebut Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sebagai orang gila sayap kiri.
Unjuk rasa berdampak kepada industri otomotif kedua negara. Perusahaan General Motors, Ford, dan Toyota mengeluarkan keterangan resmi bahwa produksi mereka terhambat. ”Sepekan ini, tiga pabrik kami di Kanada tidak bisa beroperasi. Ini akan mengganggu rantai produksi untuk beberapa bulan ke depan,” kata Juru Bicara Toyota AS Scott Vazin.
Sebanyak 90 persen sopir truk di Kanada sudah divaksin lengkap. Di AS, mayoritas sopir truk juga sudah divaksin. Organisasi-organisasi sopir truk ataupun perusahaan logistik di kedua negara mengatakan tidak mendukung unjuk rasa itu karena justru mematikan mata pencarian mereka. (AP)