Presidensi Joe Biden di Amerika Serikat yang dimulai padatahun 2021 untuk kedua kalinya menjual persenjataan kepada Taiwan dan memancing kemarahan China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TAIPEI, SELASA – Taiwan resmi membeli persenjataan dari Amerika Serikat dengan nilai total 100 juta dollar AS. Rencananya, persenjataan ini turut disertai dengan sistem pelayanan dan perbaikan dari AS. Melalui program ini, Taiwan di bawah kepemimpinan Presiden Tsai Ing-wen semakin menunjukkan bahwa mereka berusaha semaksimal mungkin membangun kapasitas membela diri apabila ada serangan dari luar.
“Terima kasih banyak untuk AS yang selalu menajdi sahabat bagi Taiwan. Persenjataan baru ini akan membantu kemandirian Taiwan untuk menjaga diri,” kata Juru Bicara Kantor Presiden Taiwan Xavier Chang pada hari Senin (8/2/2022).
Ini adalah kali kedua Taiwan membeli persenjataan dari AS semenjak Joe Biden dilantik menjadi presiden negara adidaya tersebut. Tahun lalu, Taiwan membeli Howitzer dan persenjataan darat serta pertahanan pantai dari AS. Kali ini, persenjataan untuk mempertahankan diri dari serangan udara.
Berdasarkan keterangan yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan AS, kerja sama militer itu mencakup peningkatan sistem pertahanan udara rudal-antirudal Patriot, radar, serta layanan perawatan dan perbaikan persenjataan. Rencananya, pengadaan barang dimulai pada bulan Maret.
Taiwan mengeluhkan semakin seringnya intrusi yang dilakukan oleh pesawat militer China ke wilayah pertahanan udara mereka. Pada tahun 2021, kantor berita AFP mencatat ada 969 intrusi. Sebelumnya, di tahun 2020 ada 380 intrusi. Pada bulan Januari 2022 saja, Kementerian Pertahanan Taiwan mengabarkan ada 52 pesawat temput China yang memasuki wilayah pertahanan udara mereka.
Menanggapi, transaksi jual-beli senjata tersebut, China mengeluarkan pernyataan keras melalui Kementerian Luar Negeri. “Pastinya China akan mengambil tindakan yang tegas dan signifikan atas perbuatan yang melanggar kestabilan lintas Selat Taiwan,” kata Juru Bicara Kemlu China Zhao Lijian.
Tidak pasti
Dilansir dari kantor berita Taiwan, Central News Agency, China diduga melakukan berbagai upaya penyatuan. Selain tindakan koersif dan politis, mereka juga melakukan pendekatan yang lebih halus, seperti di sektor pariwisata dan sejarah.
Kabinet Taiwan menuduh China mengembangkan program wisata menelusuri jejak leluhur yang bekerja sama secara pribadi dengan orang-orang Taiwan maupun perusahaan swasta. Tujuannya ialah melakukan tur napak tilas leluhur orang Taiwan di China dengan tujuan membangun persepsi pro-Beijing.
Pakar kajian lintas Selat Taiwan dari Universitas Tamkang, Chao Chun-shan menjelaskan bahwa situasi politik antara China dan Taiwan di tahun 2022sama-sama memasuki masa yang tidak jelas. Taiwan akan menghadapi pemilihan umum kepala daerah yang akan mengubah dinamika politik dalam negeri. Terutama jika orang-orang yang memiliki pandangan berseberangan dengan Partai Politik Demokrat (DPP) ataupun dengan Presiden Tsai memenangi pilkada.
Di saat yang sama, China akan melangsungkan Kongres Nasional Ke-20 Partai Komunis China. Tahun lalu, memang tampak dukungan terhadap Sekretaris Jenderal PKC sekaligus Presiden China Xi Jinping untuk terus memimpin negara tersebut.
“Namun, dalam kongres nasional itu akan dipilih politisi-politisi baru. Belum ada jaminan bahwa visi mereka akan 100 persen sama dengan Xi,” tuturnya.
Selain itu, juga ada persoalan hubungan antara China dengan AS maupun China dengan Jepang. Dinamika di antara kedua negara itu akan memengaruhi sikap politik luar negeri China. Demikian pula dengan fakta bahwa dua sekutu terpenting AS di Asia, yaitu Korea Selatan dan Filipina juga akan mengadakan pemilu di tahun ini. Jika perhatian AS teralihkan dari isu China, posisi hubungan Taiwan dengan China juga diperkirakan berubah. (Reuters/AFP)