Isu Kerja Paksa Dera Malaysia, Pengamat Peringatkan Ancaman Investor Hengkang
Malaysia harus berbenah serius menangani kondisi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan yang diduga mempraktikkan kerja paksa. Tanpa itu, mereka bisa ditinggalkan para investor.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Dalam dua tahun terakhir, sudah tujuh kali Amerika Serikat menerbitkan larangan masuk bagi sejumlah komoditas impor asal Malaysia. Penyebabnya, produsen komoditas di negeri jiran itu diduga mempraktikkan kerja paksa.
Larangan terbaru diumumkan Badan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS pada 28 Januari 2022. Produsen sarung tangan karet yang dibawahkan YTY Group dan perusahaan minyak sawit Sime Darby Plantation (SDP) dikenai larangan itu. Bahkan, CBP mengumumkan, barang SDP yang masuk ke AS akan disita.
Dengan pengumuman tersebut, sudah dua kali CBP membidik SDP dalam dua tahun terakhir. Pada Desember 2020, CBP hanya melarang produk-produk SDP masuk AS. Kini, CBP menambahnya dengan ancaman sanksi.
CBP memakai indikator Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk menilai dugaan kerja paksa. Hasilnya, ditemukan pelanggaran pada tujuh indikator. Di antara indikator itu, yakni para pekerja YTY dalam kondisi hidup yang buruk, lingkungan kerja penuh kekerasan, jam kerja berlebihan, dan dijebak dengan utang yang harus dicicil lewat potongan gaji.
Bahkan, sejumlah pekerja YTY diketahui disita paspornya. Akibatnya, mereka tidak bisa meninggalkan asrama kecuali untuk bekerja. Jika nekat keluar asrama, mereka bisa ditangkap dengan tudingan pendatang ilegal saat ada razia identitas. Padahal, mereka masuk ke Malaysia dengan dokumen lengkap.
Temuan hampir serupa juga didapat CBP dari penyelidikan terhadap SDP. CBP menyimpulkan, ada informasi kuat untuk mendukung keputusan melarang dan menyita produk-produk SDP yang diproduksi dengan menggunakan kerja paksa.
Selain pada SDP dan YTY, AS pernah menjatuhkan sanksi, antara lain, kepada FGV Holdings dan Top Glove. Sanksi berupa larangan masuk AS terhadap produk mereka. Pasar Amerika Utara menyerap 22 persen ekspor Top Glove. Larangan yang diberlakukan, Juli 2020 itu dicabut setelah CBP memastikan Top Glove memperbaiki kondisi lingkungan kerjanya.
“Saya fokus ke Malaysia karena kehidupan pekerja migrannya paling buruk dibandingkan negara mana pun,” kata Andy Hall, pembela hak pekerja migran.
Ia tidak menampik, pihaknya rutin melaporkan kondisi kehidupan pekerja migran di Malaysia kepada sejumlah negara. Sejak 2018, ia mendata dugaan kerja paksa di Malaysia. Hasil pendataannya terutama dikirimkan ke AS dan Kanada.
Hall, antara lain, menemukan tingginya biaya perekrutan di Malaysia. Di Thailand, pekerja asing paling banyak membayar 600 dollar AS. Sementara di Malaysia, pekerja asing bisa membayar hingga 1.500 dollar AS.
Dalam riset Hall, ditemukan banyak jaringan agen yang curang di Malaysia. Pekerja yang membayar tinggi tetap dimasukkan melalui jalur ilegal. Akibatnya, mereka dalam kondisi rentan dan tidak berdaya begitu tiba di Malaysia.
Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Saravanan Murugan tidak menampik ada perusahaan yang tidak memperlakukan pekerja secara baik. Dalam pemeriksaan pada 2020, ia menemukan indikasi perbudakan modern. Kehidupan pekerja di sana lebih buruk dibandingkan pekerja perkebunan kala Inggris masih berkuasa di Malaysia.
Kontrak diputus
Dampak larangan CBP bisa meluas. Sejumlah perusahaan dilaporkan memutuskan kontrak dengan perusahaan-perusahaan Malaysia yang dituding menerapkan kerja paksa. Salah satu perusahaan suku cadang elektronik Malaysia kehilangan kontrak dari Dyson, perusahaan elektronik Inggris, gara-gara tudingan kerja paksa dari AS.
”Jika Malaysia tidak berubah, perusahaan akan pindah ke negara lain,” kata Kepala Riset AmBank Anthony Dass. Ia menekankan perekonomian Malaysia bisa terpukul apabila semakin banyak perusahaan memutuskan kontrak dengan perusahaan Malaysia.
Rosey Hurst dari lembaga konsultan bisnis di London, Impactt, malah menyebut Malaysia sudah dikenal para investor sebagai salah satu pusat kerja paksa. “Dampak ekonominya mulai terasa. Harus ada perubahan serius,” katanya.
Menurut Hurst, semakin banyak investor mempertanyakan kondisi kerja di Malaysia. Pertanyaan diajukan manajer investasi ataupun pengelola dana perwalian.
Guru Besar Ekonomi pada Sunway University, Yeah Kim Leng, mengatakan bahwa Malaysia harus serius menangani isu kerja paksa. Sanksi dari AS bisa berdampak luas. ”Kerusakan reputasi dan potensi perusahaan memindahkan pabrik atau pesanannya dari Malaysia tidak bisa dikesampingkan jika Malaysia tidak mengurus serius masalah ini, ” katanya.
Yeah terutama menyoroti tren investasi yang menekankan pada aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Semakin banyak pemilik dana menjadikan ESG sebagai salah satu panduan dalam memutuskan investasi. Kerja paksa tidak sesuai dengan prinsip ESG.
Komitmen perbaikan
Selepas pengumuman CBP, Vikram Hora dari YTY menyebut bahwa perusahaannya telah berusaha berbenah sejak 2019. Karena itu, ia mengaku kecewa dengan keputusan CBP. Meski demikian, ia berjanji YTY akan semakin meningkatkan upaya perbaikan dan memastikan tidak ada lagi indikasi kerja paksa di YTY.
Direktur Pengelola SDP Mohamad Helmy Othman Basha juga mengaku SDP sudah berusaha memperbaiki diri sejak sanksi pada Desember 2020. SDP menunjuk konsultan independen untuk memeriksa kondisi pekerja dan merekomendasikan perbaikan. Helmy membenarkan bahwa pemeriksaan itu belum selesai.
Asosiasi pengusaha Malaysia, MEF, meminta pemerintah bertindak lebih banyak dan cepat menangani isu itu. MEF khawatir pada dampak meluas dari sanksi CBP.
Saravanan mengatakan, seluruh perusahaan Malaysia yang masuk daftar CBP akan segera dipanggil. Pemerintah dan perwakilan perusahaan itu akan membahas cara menanggapi sanksi CBP. Perusahaan yang sudah bisa mengatasi sanksi juga akan dimintai pendapatnya.
Saravanan juga mengaku telah kembali memerintahkan penyelidikan mendalam selepas pengumuman CBP soal YTY dan SDP. Perusahaan yang ditemukan masih melanggar akan dikenai sanksi keras.
Sementara Menteri Dalam Negeri Malaysia Hamzah Zainuddin mengatakan, negaranya berkomitmen memerangi perbudakan modern dan melindungi para korban. Selain mengelola arus pekerja asing, Kuala Lumpur juga berusaha mengatasi masalah perdagangan manusia dan kerja paksa. (AFP/REUTERS)