Israel Menolak Tudingan Apartheid
Laporan yang disusun beberapa lembaga advokasi HAM internasional menyebut Pemerintah Israel telah melakukan kebijakan apartheid terhadap warga Palestina. Pemerintahan PM Naftali Bennet membantah.
TEL AVIV, SELASA – Pemerintah Israel meminta Amnesty Internasional untuk tidak menerbitkan laporan tentang kebijakan pemerintahan negara tersebut. Pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennet mengatakan, laporan yang berisi tudingan pemberlakuan kebijakan apartheid oleh Israel terhadap rakyat Palestina adalah salah, bias dan antisemit.
Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid, dalam pernyataannya, Senin (31/1), mengatakan, Israel mengharapkan upaya intensif berbagai lembaga hak asasi manusia untuk mencapnya sebagai negara apartheid secara global, termasuk ke lembaga internasional, bisa dicegah.
Lapid mengatakan, Amnesty Internasional adalah sebuah organisasi radikal yang menggemakan propaganda tanpa memeriksa fakta secara serius. Substansi penelitian yang coba digemakan oleh Amnesty Internasional atau lembaga lain yang sepemahaman dengan lembaga itu, menurut Lapid, sama seperti hal yang coba digaungkan oleh organisasi teroris internasional.
“Israel tidak sempurna. Tetapi kami adalah negara demokrasi yang berkomitmen pada hukum internasional, terbuka untuk kritik, dengan pers yang bebas dan sistem peradilan yang kuat dan independen,” kata Lapid.
Baca juga : Aneksasi Tepi Barat, Kesalahan Sejarah
Kementerian Luar Negeri mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa laporan Amnesty menyangkal hak negara Israel untuk hidup sebagai negara bangsa warga Yahudi. “Bahasa ekstremis dan distorsi konteks sejarah dirancang untuk menjelekkan Israel dan menuangkan bahan bakar ke api antisemitisme,” tambahnya.
Laporan
Amnesty Internasional tidak menjadi satu-satunya pihak yang terlibat dalam penulisan laporan tersebut. Selain AI, ada lembaga advokasi HAM lain, seperti Human Rights Watch dan dua organisasi yang berbasis di Israel, yaitu B’Tselem dan Yesh Din. Laporan yang secara resmi akan dirilis Selasa (1/2) waktu setempat, secara resmi akan menggunakan istilah apartheid untuk menggambarkan situasi di wilayah pendudukan Israel di Palestina.
Dalam laporan yang sudah bocor ke publik, mengutip artikel Jacob Kornbluh di laman Forward.com, Israel disebut telah memacu kebijakan untuk membangun dan mempertahankan hegemoni demografis warga Yahudi sejak mengumumkan pendiriannya tahun 1948. Dalam artikelnya, Kornbluh - mengutip isi laporan itu - bahwa untuk mempertahankan hegemoninya di tanah Palestina, pemerintah Israel memaksimalkan kendalinya atas lahan-lahan milik warga Palestina serta membatasi dan meminimalisir jumlah warga Palestina di lokasi-lokasi tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah Israel juga menghalangi upaya warga Palestina memiliki kemampuan untuk melawan perampasan hak-hak mereka.
Dalam laporan itu, HRW maupun B’Tselem tidak membandingkan Israel dengan Afrika Selatan di masa lampau, saat masih menerapkan kebijakan apartheid berdasarkan supremasi kulit putih dan segregasi rasial pada 1948-1990-an. Sebaliknya kedua lembaga itu mengevaluasi kebijakan pemerintah Israel berdasarkan konvensi internasional, seperti Statuta Roma yang mendefinisikan apartheid sebagai rezim yang terlembagakan yang ditandai dengan penindasan dan dominasi sistematis oleh satu kelompok ras atas kelompok ras lainnya.
Laporan tersebut menyatakan berbagai kebijakan Israel di wilayah yang berada di bawah kendalinya bertujuan untuk melanggengkan keberadaan mayoritas (warga Yahudi) di sebanyak mungkin lokasi (atau tanah yang dimiliki warga Palestina) dan secara sistematis juga menyangkal hak dasar warga Palestina. Israel memandang hal itu sebagai sebuah hak dasar, hak hidup warga Yahudi, yang bertujuan untuk memastikan kelangsungan hidup dan keamanan satu-satunya negara Yahudi di dunia.
Penyebutan adanya kebijakan yang diskriminatif dan penindasan sistematis berdasarkan identitas nasional, etnis, ras atau agama bukan pertama kalinya ditujukan pada Pemerintah Israel. Dewan Hak Asasi Manusia PBB, setelah konflik Gaza tahun lalu, membentuk komisi penyelidikan permanen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel di Tepi Barat dan Gaza.
Baca juga : Tanah Palestina Terus Menciut
Jauh sebelumnya, para pakar HAM PBB yang duduk di dalam Komisi Tinggi HAM PBB, pertengahan Juni 2020, pernah mengeluarkan pernyataan yang senada dengan laporan tiga lembaga ini. Pakar HAM PBB menilai rencana aneksasi wilayah Tepi Barat untuk diubah menjadi pemukiman warga Yahudi menjadikan rakyat Palestina dan wilayah itu sebagai Bantustan di Timur Tengah.
Bantustan, dalam konsepnya, dikutip dari Christopher R Hill (Bantustan: The Fragmentation of South Africa 1964), adalah wilayah atau kawasan khusus yang dihuni berbagai suku (warga kulit hitam Afrika Selatan), yang membedakan antara warga kulit hitam dan putih di negara itu. Tawaran yang dibuat oleh mantan presiden AS Donald Trump dan mantan PM Israel Benjamin Netanyahu pada proposal damai yang disebut Abraham Accord itu, disebut Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, mirip dengan Bantustan yang pernah ada di negaranya ketika politik apartheid masih ada. (Kompas.id, 18 Juni 2020)
Baca juga : Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Analis politik stasiun televisi Al Jazeera, Marwan Bishwara, mengatakan, yang dialami warga Palestina saat ini tidak berbeda dengan kondisi rakyat Afrika Selatan ketika apartheid masih merajalela. Zionisme yang dikobarkan oleh Netanyahu, menurut dia, tidak berbeda dengan politik apartheid di Afsel yang membuat konflik secara terus-menerus, pembersihan etnis, perampasan, dan pengusiran jutaan warga dari tempat kelahirannya.
Para pakar HAM sepakat dengan Bishwara. Apalagi Israel akan mempertahankan kontrol keamanan permanen antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. ”Ini adalah visi apartheid abad ke-21,” kata para pakar itu dalam pernyataannya, Selasa (15/6/2020). (Kompas.id, 18 Juni 2020)
Laporan komprehensif setebal 182 halaman, Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Kejam, mendokumentasikan bagaimana penyitaan tanah dan properti Palestina secara besar-besaran, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan gerakan secara drastis, dan penolakan kewarganegaraan terhadap orang Palestina, menunjukkan adanya sistem apartheid menurut hukum internasional. Sistem ini dipertahankan melalui pelanggaran-pelanggaran yang Amnesty International nilai dan kaji sebagai apartheid, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma dan Konvensi Apartheid.
Amnesty International menyerukan kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk mempertimbangkan kejahatan apartheid dalam penyelidikannya saat ini di wilayah pendudukan. Selain itu, Amnesty Internasional juga menyerukan agar semua negara menjalankan yurisdiksi universal untuk membawa pelaku kejahatan apartheid ke pengadilan.
“Laporan kami mengungkapkan cakupan sesungguhnya dari rezim apartheid Israel. Di manapun mereka tinggal, apa itu di Gaza, Yerusalem Timur, Hebron, atau Israel sendiri, orang Palestina diperlakukan sebagai kelompok ras yang lebih rendah dan hak-hak mereka dirampas secara sistematis. Kami menemukan bahwa kebijakan segregasi, perampasan, dan pengucilan yang secara kejam dilakukan Israel di semua wilayah kendalinya jelas merupakan apartheid. Komunitas internasional memiliki kewajiban untuk bertindak,” kata Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International. Ia mantan pelapor khusus PBB.
Baca juga : Jerusalem, Kota Suci Mikrokosmos Konflik Palestina-Israel
Callamard mengatakan, tidak ada pembenaran untuk sebuah sistem yang dibangun berdasarkan penindasan yang rasialis terhadap jutaan orang warga Palestina, yang terus dilembagakan dan berkepanjangan.
“Apartheid tidak memiliki tempat di dunia kita, dan negara-negara yang memilih untuk memberikan kelonggaran untuk Israel akan berada di sisi sejarah yang salah. Pemerintah yang terus memasok senjata ke Israel dan melindunginya dari pertanggungjawaban di PBB sedang mendukung sistem apartheid, merusak tatanan hukum internasional, dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina,” kata Callamard.
Membela diri
Israel menuduh Pengadilan HAM Internasional dan badan hak asasi manusia PBB bias terhadapnya.
Sejumlah organisasi Yahudi mengritik isi laporan tersebut. Dikutip dari laman media Israel, Haaretz, sejumlah lembaga seperti Konferensi Presiden Organisasi Besar Yahudi Amerika, Liga Anti-Pencemaran Nama Baik, Komite Urusan Publik Israel-Amerika, Komite Yahudi Amerika hingga Federasi Yahudi Amerika Utara dan B’nai B’rith Internasional menuding laporan itu bias, tidak seimbang, tidak akurat dan tidak lengkap. Mereka menyatakan, laporan itu hanya memfokuskan pada satu hal, yaitu menjelek-jelekkan dan mendelegitimasi Negara Israel yang Yahudi dan demokratis.
Mereka juga menilai laporan itu akan menimbulkan ketidakadilan ganda dan memicu gerakan antisemit di seluruh dunia. Organisasi itu menilai, sistem apartheid di Afrika Selatan yang dicirikan oleh tirani, segregasi dan dehumanisasi berbeda dengan apa yang terjadi di Israel, di mana warga negara memiliki hak dan perwakilan di parlemen.
Baca juga : Isu Demografi dan Masa Depan Negara Israel
“Laporan ini mengabaikan fakta bahwa demokrasi Israel memberikan warga Arab hak dan kesetaraan penuh, termasuk partai nasionalis Muslim Arab dalam koalisi pemerintahan Israel, serta sejarah pejabat senior pemerintah Arab Israel, termasuk hakim Mahkamah Agung, menteri pemerintah, pejabat tinggi diplomat tingkat, perwira militer dan anggota Knesset,” kata mereka.
Dalam pandangan organisasi-organisasi tersebut, Amnesty International dan lembaga penyusun laporan, tersesat dalam memandang situasi terdahulu dan masa yang akan datang, terutama pascapenandatanganan Abraham Accord. (AP)