Isu Demografi dan Masa Depan Negara Israel
Butuh kerjasama ilmuwan politik dari Yahudi dan Arab untuk merumuskan solusi baru yang inovatif atas konflik Israel-Palestina itu. Tanpa solusi, masa depan negara Israel bisa dalam bahaya.
Negara Israel yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948, sudah menjelma menjadi negara kuat dan maju. Israel dengan penduduk 9.461.189 jiwa, memiliki pendapatan per kapita 44.474 dollar Amerika Serikat dan produk domestik bruto 410.501 miliar dollar AS, menempati posisi ke 31 negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Israel pun mengklaim telah berhasil melampaui tantangan negara-negara tetangga Arab yang beberapa dekade sejak berdirinya negara Israel pada 1948 menjadi ancaman atas eksistensi negara Israel. Israel berhasil memenangi semua perang dengan negara-negara Arab, sejak perang Arab-Israel pada 1948, 1967 dan 1973.
Hal itu memaksa negara-negara Arab menempuh jalan perundingan damai dengan Israel, seperti perjanjian damai Israel-Mesir pada 1979, konferensi damai Madrid pada 1991, kesepakatan Oslo Israel-Palestina pada 1993, perjanjian damai Israel-Jordania pada 1994, serta terakhir kesepakatan Abraham pada 2020 antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Baca juga : Israel Bongkar Jaringan Mata-mata Iran
Mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pada 21 Januari 2020 dengan bangga menegaskan, Israel telah berhasil mengakhiri ancaman dari gerakan nasionalis Arab. Netanyahu menyebut, ancaman utama Israel saat ini adalah kekuatan militer Iran. Maka muncul paradigma baru dalam konflik di Timur Tengah, yaitu konflik Iran-Israel, bukan lagi konflik Arab-Israel.
Namun banyak pengamat politik Arab mengingatkan Israel bahwa konflik Arab-Israel belum berakhir. Israel harus ingat bahwa konflik Arab-Israel memiliki dua dimensi, yaitu geografi dan demografi. Dalam konteks geografi, Israel boleh merasa aman dan menang berkat kekuatan militernya yang luar biasa sehingga negara itu secara geografis sudah tidak mendapat ancaman lagi dari negara tetangganya. Sebaliknya negara-negara Arab kini dalam kondisi terpuruk akibat konflik di dalam negeri masing-masing negara Arab.
Dalam konteks demografi, disinilah muncul ancaman terhadap negara Israel yang bisa disebut konflik Arab-Israel. Persisnya adalah konflik Israel-Palestina yang belum berakhir dan bahkan bisa mengalami eskalasi di masa mendatang. Banyak artikel di media Arab yang mengingatkan bahwa konflik masa depan Israel-Palestina adalah konflik demografi. Jika Israel lengah dan abai dengan isu ini, maka konflik bisa meledak setiap saat.
Di Tepi Barat Sungai Jordan yang saat ini terdapat wilayah Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza, terdapat sekitar 14 juta jiwa penduduk. Sekitar 7 juta jiwa atau 50 persen warga Yahudi dan sekitar 7 juta jiwa atau 50 persen warga Arab Palestina. Warga Arab dan Yahudi yang hidup dalam satu wilayah geografis itu berinteraksi harian secara intensif. Sebab, mereka berada dalam satu naungan sistem ekonomi, sosial, dan keamanan.
Sekitar 7 juta jiwa atau 50 persen warga Yahudi dan sekitar 7 juta jiwa atau 50 persen warga Arab Palestina.
Mata uang yang dipakai di Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza, adalah mata uang Israel, Shekel. Pengadaan logistik dari mancanegara ke tiga wilayah tersebut dilakukan melalui pelabuhan Israel, seperti Ashdood, Haifa, dan Tel Aviv. Hasil industri di Israel juga menjadi konsumsi utama warga Arab Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Israel juga masih mengandalkan tenaga kerja warga Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk menggerakkan industri di Israel. Menurut laporan Pemerintah Israel, sekitar 80.000-90.000 warga Palestina bekerja secara legal di wilayah Israel dan sekitar 30.000-40.000 warga Palestina yang bekerja di berbagai kompleks permukiman Yahudi di Tepi Barat. Dan ada sekitar 26.000 warga Palestina yang bekerja secara illegal di wilayah Israel.
Tanpa tenaga kerja warga Palestina, industri Israel akan kelimpungan. Sebaliknya, roda perekonomian Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza sangat tergantung pada pendapatan gaji warga Palestina yang bekerja di Israel. Maka, Israel dan Palestina secara ekonomi saling tergantung satu sama lain.
Secara keamanan, Israel masih mengendalikan keamanan udara, laut, dan perbatasan Jalur Gaza dan Tepi Barat. Aparat keamanan Israel dan otoritas Palestina terus melakukan koordinasi keamanan di Tepi Barat sesuai dengan kesepakatan Oslo pada 1993.
Di tengah ketergantungan satu sama lain antara Israel dan Palestina di wilayah Tepi Barat sungai Jordan itu, kini muncul kecemasan baru baik pada warga Yahudi maupun warga Arab Palestina. Warga Yahudi semakin cemas akan terjadinya Arabisasi di negara Israel, mengingat angka kelahiran penduduk Arab jauh lebih tinggi dari warga Yahudi.
Dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang, warga Arab Palestina akan menjadi mayoritas di wilayah Tepi Barat sungai Jordan. Apalagi arus imigrasi warga Yahudi dari mancanegara ke Israel cenderung terus menurun pada beberapa tahun terakhir. Diperkirakan ada sekitar 16 juta warga Yahudi di seluruh dunia. Palestina mulai menguasai sebagian profesi di Israel, seperti 90 persen apoteker di kota Tel Aviv adalah warga Arab Palestina. Warga Arab Palestina juga mengisi lapangan kerja kelas menengah ke bawah di Israel.
Baca juga : Raih Pendengar Israel, Radio Palestina Siaran dalam Bahasa Ibrani
Di dunia politik, kekuatan politik warga Arab Palestina semakin diperhitungkan di Israel. Perolehan suara aliansi politik partai-partai Arab utama di Israel atau dikenal dengan Joint List pada pemilu parlemen pada 2 Maret 2020 mencapai 15 kursi dari 120 kursi Knesset. Perolehan kursi parlemen oleh Joint List itu menggegerkan publik dan pentas politik di Israel. Joint List Arab pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari empat partai Arab di Israel, yaitu partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United Arab List.
Pemerintah baru Israel pimpinan PM Naftali Bennett bisa terbentuk pada 2 Juni 2021 berkat dukungan dari partai Arab United List (Ra’am) yang memiliki 4 kursi di Knesset. Artinya, kekuatan politik Arab Palestina semakin menentukan di panggung politik Israel saat ini.
Pada sisi lain, warga Arab Palestina juga cemas akan proyek Yahudinisasi negara Israel. Tekad pemerintah Israel menjadikan negara Israel sebagai negara Yahudi masih mendapat resistensi dari warga Arab Palestina. Warga Arab Palestina lebih menginginkan negara Israel adalah negara sekuler demokrasi untuk semua warganya, baik Yahudi maupun Arab.
Munculnya rasa saling cemas antara warga Yahudi dan Arab di Israel menjadi dilema bagi negara Israel saat ini, khususnya terkait isu solusi konflik Israel-Palestina ke depan. Dilema negara Israel itu menguat menyusul terjadinya gesekan harian antara warga Arab dan Yahudi, khususnya antara warga Palestina dan penghuni permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Aksi saling serang antara warga Palestina dan penghuni permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur sering terjadi.
Menurut laporan Peace Now, organisasi non-pemerintah di Israel, penghuni permukiman Yahudi di Tepi Barat pada 2020 mencapai 451.700 jiwa dan di Jerusalem Timur mencapai 220.000 jiwa. Adapun penduduk Palestina di Tepi Barat mencapai 2.949.246 jiwa dan di Jerusalem Timur mencapai 370.000 jiwa.
Panggung politik Israel yang kini di kontrol kubu kanan cenderung menolak opsi solusi satu negara maupun solusi dua negara.
Dilema masa depan solusi konflik Israel-Palestina itu, membuat pilihan solusi politik menjadi gamang, apakah solusi dua negara Israel dan Palestina atau solusi satu negara. Panggung politik Israel yang kini di kontrol kubu kanan cenderung menolak opsi solusi satu negara maupun solusi dua negara.
Seiring berjalannya waktu, Israel sesungguhnya tidak diuntungkan tanpa adanya solusi politik konflik Israel-Palestina. Harus ada solusi baru yang inovatif dan out of the box atas solusi konflik Israel-Palestina berdasarkan situasi mutakhir yang menunjukkan makin saling tergantungnya Israel-Palestina, serta makin kuatnya hubungan Israel-Arab lewat kesepakatan Abraham pada 2020.
Pendekatan solusi lama, seperti solusi dua negara atau satu negara mungkin sudah tidak relevan lagi. Untuk itu, perlu dicari solusi baru yang bisa menghilangkan kecemasan warga Yahudi maupun Arab Palestina. Butuh kerjasama ilmuwan politik dari Yahudi dan Arab untuk merumuskan solusi baru yang inovatif atas konflik Israel-Palestina itu. Tanpa solusi, masa depan negara Israel bisa dalam bahaya.