Urbanisasi Asia Paling Gencar di Dunia (2)
Pembangunan infrastruktur adalah jalan emas menuju kemakmuran.
Infrastruktur tidak saja melancarkan konektivitas. Ini dalam istilah ekonomi disebut forward effect. Resultante dari keberadaan infrastruktur adalah kelancaran mobilitas, baik itu perdagangan barang maupun manusia, termasuk di dalamnya turisme. Namun dalam prosesnya, pembangunan infrastruktur itu juga membutuhkan bahan-bahan bangunan, jasa konsultan, peran jasa keuangan, dan pekerja. Ini disebut backward effect.
Dengan demikian, infrastruktur juga menggerakkan beberapa sektor selama proses pembangunannya. Dan Asia semakin gencar dari waktu ke waktu soal pengembangan infrastruktur. Sekarang ini tidak ada kawasan di dunia yang paling gencar soal peningkatan mobilitas, selain Asia. Hal ini seperti memenuhi tema pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali pada 2013. Ketika itu para ekonom APEC gencar menyerukan connectivity alias ketersambungan.
Hal itu disebabkan Asia akhir-akhir ini mengalami booming di bidang inovasi, teknologi. Asia juga menjadi lokasi bagi tujuan investasi asing dengan peningkatan paling pesat di dunia. Kota-kota di Asia juga paling dinamis sekarang ini terkait pembangunan. ”Kini kita melihat pertumbuhan urbanisasi beralih dari Barat ke Timur,” kata Jeremy Kelly, Direktur Riset Global, JLL. JLL adalah sebuah perusahaan penyedia jasa terbesar bidang real estate dunia (The Business Time, 26 Maret 2019). Kelly hanya memotret dinamika Asia dari sisi urbanisasi. Namun, Asia secara keseluruhan juga merupakan kawasan paling dinamis tentang pengembangan konektivitas (ADBI Working Paper Series, Werner Pascha, No. 1114, April 2020).
Sadar atau tidak sadar, Asia telah menerjemahkan postulat dari bapak geopolitik dunia asal Inggris, Sir Halford Mackinder. Bapak geopolitik itu pada 1904 telah menyebutkan bahwa mobilitas darat, laut dan udara akan menaikkan produktivitas serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Ucapannya memang merujuk pada konteks geopolitik. Menurut dia, Benua Asia, Eropa, dan Afrika yang disebut sebagai ”Pulau Dunia” jika tersambung tak terputus, akan menjadi lokasi kekuatan geopolitik global paling kuat dibandingkan dengan Benua Amerika. Namun syaratnya, Pulau Dunia itu tersambung dengan jaringan infrastruktur.
Efek China
Pertanyaannya, mengapa Asia menjadi sentra pembangunan infrastruktur terbesar di dunia ini sekarang? Asia tampaknya mengalami efek meluber dari sukses ekonomi China lewat pengembangan urbanisasi dan konektivitas. Dalam wawancara ECNS Wire pada 29 Desember 2021, Profesor David M Lampton berkata, ”Adalah mobilitas yang memungkinkan China meraih kemajuan ekonomi.”
Prof Lampton juga pernah menjadi Presiden Komite Nasional Relasi AS-China pada dekade 1980-an hingga dekade 1990-an. ”China ingin menularkan pengalaman dan manfaat soal pembangunan infrastruktur ini ke luar China,” kata Prof Lampton, penulis buku berjudul River of Iron: Railroads and the Chinese Power in the Southeast Asia. Buku itu ditulis bersama Selina Ho (Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore) dan Cheng-Chwee Kuik (Institute of Malaysian and International Studies/IKMAS).
Kini Asia, dimotori China, melanjutkan tradisi konektivitas yang sudah dimulai lebih dulu oleh Jepang, dilanjutkan oleh NICs, singkatan dari newly emerging countries. (Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura). Adalah konektivitas yang juga turut menggencarkan pertumbuhan ekonomi NICS pada dekade 1980-an. Hal itu berlanjut ke China dan kini luber ke Asia.
China adalah yang paling ambisius mendorong ketersambungan, termasuk dengan Asia Tenggara yang tergolong prioritas utama. China aktif dalam beberapa proyek infrastruktur di Asia Tenggara. Harian China Daily, edisi 10 Januari 2022, menuliskan beberapa proyek yang melibatkan China di Asia Tenggara. Ada proyek Kereta Api Port Klang-Kota Bharu (Malaysia), jalur kereta api Preah Vihear-Koh Kong di Kamboja, proyek kereta api Vientiane-Boten.
Proyek kereta api ini bagian dari jalur kereta api Kunming-Singapura, juga dikenal sebagai Jaringan Kereta Api Pan-Asia. Jaringan Kereta Api Pan-Asia merupakan salah satu proyek pengembangan transportasi unggulan BRI (Belt and Road Initiative) di Asia Tenggara. BRI dicanangkan Presiden Xi Jinping pada 2013.
Asia memang telah menjadi sentra perekonomian dunia. Ketersambungan adalah jalan menuju kesinambungan pertumbuhan yang akhirnya juga jalan menuju kemakmuran sekaligus pengikisan kemiskinan. China ada di balik visi besar ini.
Sentimen Pemerintah China
Ambisi China itu memiliki dasar kuat berupa sentimen positif, termasuk pada ASEAN. Presiden Xi Jinping, 24 Maret, 2021, memuji kontribusi China diaspora saat ia mengunjungi Museum Qiaopi di Shantou, Provinsi Guangdong. Presiden Xi terharu dengan China diaspora yang berasal dari kawasan Chaozhou-Shantou dan tetap terkait erat dengan daerah asalnya dan turut terlibat pembangunan konstruksi di daerah asal.
Sentimen sejarah tidak berhenti di situ saja. Pada 17 Desember 2021, Dubes China untuk Malaysia Ouyang Yujing mengatakan, China akan berbagi kesempatan membangun bersama negara-negara ainnya. Melengkapi itu, Zhang Xiaoqiang, Wakil Ketua Eksekutif China Center for International Economic Exchanges, yang juga mantan Wakil Menteri Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China, juga mengatakan bahwa China diaspora merupakan elemen penting dalam sejarah pembangunan ekonomi China modern.
Negara-negara di ASEAN merupakan lokasi terbesar China diaspora. ”Kami ingin bekerja sama dengan organisasi China lainnya untuk bertukar ide serta memperkuat relasi dan kerja sama (termasuk) setelah pandemi,” kata Zhang dalam sebuah konferensi video yang juga dihadiri Jusuf Kalla dan Din Syamsuddin.
Di luar China, tentu masih tetap ada Jepang yang berniat mengimbangi China soal infrastruktur. Juga ada Taiwan (lewat Pernyataan Presiden Tsai Ing-wen, 18 Januari) bahwa Taiwan ingin menancapkan pengaruh di Asia lewat infrastruktur. Ada pula tawaran pengembangan infrastruktur dari Uni Eropa (Associated Press, 30 November 2021) untuk Asia. Tentu ada inisiatif setiap negara untuk membangun infrastruktur agar tidak ketinggalan dari laju pertumbuhan kawasan yang saling tergantung sekarang ini.
Langkah yang paling diperlukan
Intinya, ada kesempatan besar bagi Asia untuk pembangunan infrastruktur. Ada tawaran dari banyak negara kaya di Asia dan Eropa, itu intinya. Persoalannya hanyalah bagaimana Indonesia merebut antusiasme China itu. Bagaimana ASEAN cerdik menangkap peluang besar dari China.
Semua itu pada akhirnya terletak pada pendalaman sarana berupa peraturan untuk memberi kepastian hukum bagi investasi di bidang infrastruktur. Soalnya investasi di bidang infrastruktur berjangka waktu sangat lama. Bagaimana membuat investor yakin berinvestasi di satu negara, seperti Bank Dunia, yang dulu yakin bahwa dana investasi di bidang infrastruktur Jepang berjangka 30 tahun terlunasi, sebagai contoh.
Hal lain adalah pendalaman struktur pasar modal di Asia yang akan membuat pemodal kaya asal Asia semakin yakin membeli surat-surat berharga untuk tujuan investasi bidang infrastruktur Asia. Dengan demikian kekayaan dan tabungan Asia ditanamkan di Asia bukan lagi di Barat yang nyatanya memberikan keuntungan rendah.
China akan menjebak?
China adalah sumber investasi paling terandalkan sekarang ini dari segi ketersediaan dana. Maka hal yang tidak kalah penting adalah pengelolaan sentimen publik tentang China. Prof Lampton menegaskan, China tidak memiliki niat menjerat negara-negara lewat investasinya sebagaimana sering didengungkan AS dan Eropa.
Apakah China akan menjebak lewat utang? Cheng-Chwee Kuik menyebutkan, ”Semua itu sangat bergantung pada skema pinjaman.” Tuduhan bahwa China akan menjadi utang sebagai jeratan, menurut Kuik, lebih berupa narasi cerdas bertujuan persaingan geopolitik ketimbang praktis.
Hal serupa juga dikatakan Selina Ho, yang mengakui efek geopolitik dari pembangunan dengan dana yang berasal dari China. Namun Selina melihat bahwa ASEAN tidak dalam posisi didikte oleh China. Ada peran menentukan dari negara penerima dana dari China, hingga untuk kasus Indonesia, ada peran daerah yang dilibatkan.
Kamboja, Laos, dan Malaysia termasuk yang paling bisa menerima investasi infrastruktur dari China. Negara-negara ini memiliki independensi dalam menentukan skema pinjaman.
Lepas dari itu, pengentasan rakyat dari kemiskinan, di mana Indonesia masih menjadi lokasi bagi banyak warga tak mampu, pembangunan infrastruktur adalah jalan emas menuju kemakmuran.