Negara-negara Besar Berunding, Rakyat di Perbatasan Ukraina Hanya Bisa Pasrah
Percakapan sehari-hari warga di perbatasan Ukraina-Rusia hanya berkisar tentang harapan agar konflik terbuka tidak terjadi lagi. Para tentara di garis depan perbatasan Ukraina berdoa tentang hal serupa.
KIEV, KAMIS — Di tengah perundingan antara Rusia dan Ukraina, warga dan tentara yang berada di perbatasan kedua negara itu hanya bisa berharap dalam cemas agar konflik terbuka tidak terjadi. Nasib mereka ditentukan oleh para politisi yang bahkan tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat mereka berada.
”Kami menggali parit baru di sekeliling desa. Terakhir kali parit dibuat tahun 2014 waktu konflik soal perebutan wilayah Crimea,” kata Liubov, seorang perempuan warga Desa Katerynivka di Ukraina. Desa itu hanya beberapa ratus meter dari perbatasan dengan Rusia.
Liubov mengeluhkan akses ke desa itu ditutup dengan alasan keamanan. Sanak keluarga mereka tidak bisa datang menjenguk orangtua di desa. Jalur komunikasi hanya melalui telepon. Menurut dia, percakapan sehari-hari berkisar tentang harapan warga agar konflik terbuka seperti pada tahun 2014 tidak terjadi lagi.
Baca juga : Tolak Kasih Senjata, Jerman Pilih Dorong Perundingan Soal Ukraina
Doa yang serupa dipanjatkan oleh pasukan Ukraina yang berada di perbatasan. Para tentara dari kompi Zolote 1 hingga 5 meringkuk di dalam parit di tengah musim dingin. Mereka rutin mengecek pesan di telepon genggam walaupun sinyal di tempat itu tidak stabil.
”Sempat tiga hari tidak ada kejadian apa-apa. Tiba-tiba besoknya ada granat yang dilemparkan ke lapangan di belakang parit kami. Setelah itu, suasana kembali hening. Benar-benar tidak ada kepastian di sini,” kata Oleh Surhov, salah seorang tentara Ukraina.
Saat ini, Rusia menempatkan 100.000 pasukan mereka di wilayah perbatasan. Terdapat pula persenjataan berat yang menunjukkan kesiapan mereka melakukan invasi ke Ukraina. Wilayah yang diperebutkan ialah sisi timur Ukraina, termasuk Semenanjung Crimea. Ini wilayah yang secara sejarah dekat dengan Rusia. Penduduknya pun menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa ibu.
Rusia beranggapan bahwa wilayah ini memang hendak memisahkan diri dari Ukraina. Menilai kedekatan sejarah mereka, Rusia menjadikannya sebagai alasan untuk membantu pembebasan wilayah tersebut yang oleh Ukraina ataupun negara-negara lain dikategorikan sebagai tindakan invasi. Presiden Rusia Vladimir Putin hingga kini belum mengatakan apa pun soal invasi tersebut.
Bagi negara kecil seperti Ukraina, tidak ada konflik yang kecil. Semuanya akan memakan korban dari rakyat kami.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengutarakan kemarahannya melalui akun Twitter pribadinya. Ia mengkritisi lambannya proses diskusi yang melibatkan Rusia, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, serta Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
”Bagi negara kecil seperti Ukraina, tidak ada konflik yang kecil. Semuanya akan memakan korban dari rakyat kami,” cuit Zelenskyy.
Baca juga : Amerika dan Eropa Tempatkan Puluhan Ribu Tentara Dekat Rusia
Ancaman sanksi
Perwakilan dari Rusia, Ukraina, Perancis, dan Jerman tengah berada di Paris untuk berunding mengenai masalah tersebut. Pertemuan ini dinamakan ”Perundingan Normandy”. Para pakar politik Eropa mengatakan bahwa Rusia menunjukkan itikad baik dengan menghadirinya. Meskipun begitu, belum tersiar ada kesepakatan yang diambil terkait dengan isu separatisme di Ukraina timur.
Rusia tetap bersikeras menolak kehadiran pangkalan militer NATO di dekat perbatasannya. Mereka juga menolak Ukraina bergabung dengan aliansi militer tersebut. Peneliti untuk wadah pemikir AS Quincy Institute for Responsible Statecraft, Anatol Lieven, dalam esainya untuk majalah Time mengatakan bahwa kehadiran NATO memperlakukan Rusia sebagai ”liyan”.
Baca juga: Tanggapan Rusia
”NATO dan Uni Eropa seolah merepresentasikan Eropa yang berkeadaban, sebaliknya Rusia dikucilkan dari konsep ini. Perilaku ini sangat menyinggung Rusia, termasuk kaum liberal di negara itu. Tindakan invasi terhadap Ukraina merupakan titik kulminasi yang sudah bertahun-tahun menjadi bom waktu,” kata Lieven.
Adapun AS mengancam akan memberlakukan sanksi, baik terhadap Rusia maupun terhadap Putin secara pribadi. Presiden AS Joe Biden mengutarakan tidak segan menjatuhkan sanksi pribadi terhadap Putin sehingga ia tidak bisa menyimpan kekayaan di luar negeri. Pernyataan ini direspons oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov yang mengatakan bahwa jika ada sanksi pribadi terhadap Putin, timbul masalah serius dalam politik internasional yang bisa berujung pada putusnya diplomasi.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sudah menyerahkan surat resmi kepada Pemerintah Rusia melalui Kedutaan Besar AS di Moskwa. Isinya, mengajak Rusia berbicara empat mata. AS tidak mau langsung menarik pasukan dari pangkalan NATO di perbatasan Ukraina, tetapi mau membicarakan langkah-langkah membangun kepercayaan dan gencatan senjata dengan Rusia.
Baca juga : NATO Tolak Tuntutan Rusia, Konflik Rentan Pecah di Ukraina
Pada saat yang sama, Blinken mengatakan, AS tidak segan untuk menghentikan pembangunan pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia ke Jerman. Ini adalah proyek pengadaan energi untuk Eropa yang mengimpor gas dari Rusia tanpa harus melewati Ukraina sebagai negara transit. Proyek ini diprotes AS karena membuat Uni Eropa bergantung pada pasokan energi dari Rusia. Adapun Ukraina memprotes karena mereka kehilangan pendapatan dari biaya transit.
Ajakan serupa dikemukakan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan yang dekat dengan Moskwa dan Kiev. Ia menawarkan kesempatan mediasi di Istanbul dengan pendekatan yang berbeda dari perspektif budaya Barat sehingga diharapkan lebih cocok untuk menangani masalah ini. (AP/Reuters)
Baca juga : Diametral pada Prinsip, AS-Rusia Masih Punya Ruang Kompromi