NATO Tolak Tuntutan Rusia, Konflik Rentan Pecah di Ukraina
Amerika Serikat dan NATO menolak sejumlah tuntutan yang diajukan pemerintah Rusia untuk bisa meredakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina. AS tengah menyiapkan sanksi dan opsi soal pasokan energi Eropa.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
BRUSSELS, KAMIS — Amerika Serikat dan NATO menolak sejumlah tuntutan keamanan utama yang diajukan Rusia untuk bisa meredakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina. Namun, mereka tetap membuka pintu untuk membahas hal lain, seperti pengendalian persenjataan, penyebaran rudal, dan pencegahan insiden militer Rusia dengan negara-negara Barat di masa mendatang.
Pemahaman delegasi terhadap posisi dan tawaran masing-masing disampaikan Rusia, NATO dan AS, pertemuan pertama Dewan NATO-Rusia setelah lebih dari dua tahun, yang berlangsung di markas NATO di Brussels, Belgia, Rabu (12/1/2022). Delegasi Rusia tidak meninggalkan pertemuan dan tetap terbuka pada prospek perundingan di masa yang akan datang setelah tuntutan utamanya ditolak. Pertemuan itu dipandang AS dan NATO sebagai langkah positif setelah pertemuan sebelumnya tidak menghasilkan kerangka kerja yang mereka inginkan.
Namun, dari pandangan Rusia, pertemuan itu adalah langkah mundur. Rusia menganggap NATO mengabaikan tuntutannya dan akan menggunakan sarana militer jika diplomasi tidak memberikan hasil yang memadai.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman, seusai pertemuan di markas NATO, mengatakan, beberapa tuntutan yang diajukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai non-starter tidak bisa dipenuhi oleh NATO dan AS. ”Kami tidak akan membanting pintu pada kebijakan pintu terbuka NATO. Kami tidak akan setuju kalau NATO tidak bisa berkembang lebih jauh,” kata Sherman.
Pertemuan itu digelar di tengah memanasnya situasi di perbatasan Ukraina-Rusia. Kremlin, sejak Desember 2021, telah menempatkan lebih dari 100.000 tentaranya di dekat perbatasan dengan Ukraina. Langkah ini membuat AS dan sekutunya prihatin bahwa Putin akan memerintahkan invasi, mengulangi kondisi sama yang terjadi di Crimea delapan tahun lalu.
Sherman, diplomat senior AS, menilai, pembicaraan selama empat jam lebih itu menyiratkan optimisme, terbukanya peluang untuk perundingan lebih lanjut antara NATO dan Rusia.
Hal yang sama disampaikan Sekretaris Jenderal NATO Jen Stoltenberg. Keinginan untuk sama-sama membuka pintu dialog adalah pencapaian yang melegakan. Begitu juga soal pencegahan insiden atau kecelakaan militer berbahaya para pihak, pengurangan ancaman ruang angkasa dan ancaman di dunia maya, hingga penetapan batasan pada penyebarluasan rudal serta inisiatif pengendalian senjata lainnya.
Akan tetapi, ketika berbicara soal Ukraina, baik NATO, AS maupun Rusia bertemu tembok tinggi nan tebal. ”Ada perbedaan signifikan antara NATO dan Rusia dalam masalah ini,” kata Stoltenberg.
Kepada para jurnalis yang menanti perkembangan perundingan di markas NATO, Stoltenberg menyebut pembicaraan antara mereka dan Rusia, yang diwakili Wakil Menteri Luar Negeri Alexander Grushko dan Wakil Menteri Pertahanan Alexander Fomin, sebagai hal yang sangat serius dan langsung (direct).
Kremlin mengajukan delapan tuntutan yang harus dipenuhi NATO terkait situasi yang berkembang saat ini, mulai dari komitmen Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO, tidak ada gelaran latihan militer di dekat Rusia, hingga tidak menembakkan rudal jarak menengah ataupun senjata nuklir dari dalam perbatasan negara masing-masing.
Grushko, kepada wartawan, menggambarkan pertemuan itu sebagai sebuah pertemuan serius, dalam, dan substantif. Namun, ada garis pemisah tegas antara pandangan Rusia dan NATO dalam beberapa hal, terutama mengenai Ukraina dan sejumlah negara eks Uni Soviet yang masuk sebagai anggota NATO.
”Jika NATO benar-benar tertarik pada de-eskalasi, ia harus berhenti memberikan bantuan militer apa pun ke Ukraina, termasuk pasokan senjata, dan menarik inspektur, instruktur, perwira, dan tentara,” kata Grushko, dikutip dari kantor berita TASS.
Grushko mengatakan, kebebasan untuk memilih, seperti yang dikatakan Stoltenberg, tidak boleh dilaksanakan dengan cara dan tindakan yang melanggar kepentingan keamanan sah orang atau pihak lain. Dia juga mengesampingkan janji NATO yang menyatakan bahwa keberadaan pasukan NATO dan AS di Ukraina tidak bermaksud mengancam Rusia.
”Jika NATO memilih kebijakan pencegahan, kami akan merespons dengan kebijakan pencegahan juga. Jika itu berubah menjadi intimidasi, kami akan menanggapinya dengan kontra-intimidasi. Jika mereka mencari kerentanan dalam sistem pertahanan Rusia, kami akan mencari kerentanan NATO. Itu bukan pilihan kami. Namun, kami tidak memiliki pilihan lain jika kita tidak membalikkan situasi sekarang yang sangat berbahaya ini,” kata Grushko.
Wakil Menhan Fomin mengatakan, hubungan Rusia-NATO berada di tingkat yang paling rendah. Menurut Fomin, dikutip dari kantor berita TASS, pengabaian NATO atas tuntutan Rusia telah menciptakan situasi yang rentan akan konflik.
Grushko kemudian mengatakan Moskwa akan menggunakan sarana militer untuk menetralisasi ancaman keamanan jika diplomasi terbukti tidak memadai. Hal ini dibuktikan dengan latihan tempur 3.000 anggota pasukan Rusia sehari sebelum pertemuan berlangsung.
Dukungan Demokrat
Anggota Senat Amerika Serikat dari Partai Demokrat bersiap mengusulkan sanksi baru terhadap Rusia jika Putin memutuskan benar-benar melaksanakan ancamanannya menginvasi Ukraina. Di sisi lain, proposal ini dikhawatirkan dapat merusak aliansi dengan negara-negara Eropa.
Senator Robert Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat yang berasal dari Partai Demokrat, menyebut, proposal dalam bentuk peraturan perundangan ini akan memberikan dukungan bagi Gedung Putih untuk menunjukkan dukungan atas kedaulatan Ukraina. Hal lainnya adalah merealisasikan ancaman sanksi lebih keras pada Kremlin, terutama untuk memberikan kerugian finansial yang lebih besar.
”Undang-undang ini memperjelas bahwa Senat AS tidak akan tinggal diam karena Kremlin mengancam invasi ulang ke Ukraina,” kata Menendez.
Proposal legislasi baru yang diusulkan Menendez tidak hanya memberikan dukungan pada keputusan Presiden Joe Biden untuk bersikap lebih tegas, tetapi juga menghalangi kemungkinan dukungan anggota Senat dari Partai Demokrat terhadap proposal Senator Ted Cruz. Anggota Partai Republik ini ingin menjatuhkan sanksi pada operator pipa terlepas Rusia menginvasi Ukraina atau tidak. Proposal Partai Republik itu membutuhkan dukungan setidaknya 10 orang anggota Senat Demokrat.
Pemerintahan Biden menilai proposal Senator Cruz bisa merusak hubungan AS dengan sekutu-sekutu Eropa, terutama negara yang bergantung pada pasokan gas alam Rusia. Jerman adalah salah satunya. Demokrat mengatakan, keretakan itu akan memperkuat daya tawar Putin terhadap AS dan NATO.
Seorang pejabat pada pemerintahan Biden yang mengetahui situasi ini mengatakan, mereka telah menyiapkan beberapa pilihan sanksi terhadap Rusia jika negara itu menginvasi Ukraina. Tindakan keras siap dijatuhkan segera setelah ada tindakan militer Rusia yang meluncur ke Ukraina.
”Kami memiliki target sanksi yang siap untuk dikeluarkan ketika tank melintasi perbatasan,” katanya.
Sumber lain di pemerintahan Biden menyebut, mereka telah berdiskusi dengan sekutu dan mitranya di Eropa dan Asia untuk memberlakukan pembatasan perdagangan. Rusia akan ditambahkan dalam kelompok negara yang paling ketat untuk tujuan kontrol ekspor, bersama dengan Kuba, Iran, Korea Utara, dan Suriah.
Pada saat yang sama, AS juga tengah mencari berbagai opsi kebijakan untuk membantu Ukraina atau negara Eropa yang akan mengalami gangguan pasokan energi dari Rusia.
”Kami bekerja sangat keras untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko tersebut dengan berbagai opsi darurat dan kami melakukan semua itu dalam konsultasi yang sangat erat dengan Eropa,” kata pejabat itu.
Pejabat tersebut menolak merinci opsi yang tengah dipertimbangkan Gedung Putih. Namun, diketahui bahwa Norwegia dan beberapa negara Eropa, Timur Tengah, dan Asia merupakan produsen gas alam dan memiliki sejumlah persediaan. (AP/REUTERS)