Bagi publik internasional, upaya penyelamatan rakyat Afghanistan dihadapkan pada dilema. Taliban tak mau lekas kompromi, sementara rakyatnya makin menderita.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Lebih dari lima bulan di bawah pemerintahan kelompok Taliban, hidup rakyat Afghanistan semakin sengsara. Sejumlah kelompok dan badan bantuan internasional memperkirakan, sekitar 23 juta jiwa atau lebih dari separuh penduduk negeri itu menghadapi kelaparan parah. Hampir 9 juta di antaranya bahkan berada di ambang kematian akibat kelaparan.
Banyak warga menjual barangnya untuk membeli makanan. Di tengah cuaca dingin menusuk tulang, mereka membakar perlengkapan rumah guna menghangatkan tubuh. Lebih mengenaskan, warga terpaksa menjual anaknya untuk bertahan hidup. ”Dunia berpacu dengan waktu agar bisa menyelamatkan rakyat Afghanistan,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, 13 Januari 2022.
Sebelum Taliban berkuasa untuk kedua kali di Afghanistan, 15 Agustus 2021, sekitar 80 persen anggaran belanja negara itu bergantung pada bantuan internasional. Saat kelompok itu memerintah, bantuan itu dihentikan. Aset Bank Sentral Afghanistan sebesar 9,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 136,4 triliun dibekukan AS dan negara Barat lain.
Belakangan mulai ada sorotan pada sikap kaku AS dan Barat dalam merespons situasi di Afghanistan. Mereka menetapkan tuntutan untuk melonggarkan sanksi ekonomi bagi Taliban. Salah satunya agar Taliban memenuhi komitmennya dahulu, termasuk membentuk pemerintahan inklusif, memenuhi hak perempuan dan kelompok minoritas lain, serta menghormati hak asasi manusia.
Menurut Graeme Smith, Konsultan Senior International Crisis Group, masuk akal bagi Barat merasa benar dengan mengasingkan Taliban dalam pengucilan ekonomi. Namun, itu sebuah kesalahan. Ada beberapa faktor signifikan pemicunya, tetapi penyebab utama bencana kemanusiaan di Afghanistan saat ini ialah cekikan ekonomi oleh Barat. Perlunya bekerja sama dengan Taliban untuk menyediakan layanan dasar bagi rakyat: kesehatan, pendidikan, bank sentral, listrik, dan program sosial lainnya (Foreign Affairs, 29 Desember 2021).
Hal ini sejalan dengan desakan Sekjen PBB yang mengimbau agar bantuan internasional bisa kembali dikucurkan ke Afghanistan. Tahun ini, kata Guterres, butuh dana lebih dari 5 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis itu.
Pekan ini, Norwegia membuat terobosan dengan mengundang dan mempertemukan pejabat Taliban dengan perwakilan negara Barat. Taliban mungkin merasa, duduk satu meja dengan negara Barat merupakan langkah maju untuk mendapatkan legitimasi internasional. Namun, Menteri Luar Negeri Norwegia Anniken Huitfeldt menegaskan, pertemuan itu bukan pengakuan terhadap Taliban.
Pertemuan itu lebih sebagai upaya mencari solusi penyaluran bantuan internasional bagi rakyat Afghanistan. Dengan kata lain, pertemuan itu tidak menghapus utang Taliban untuk memenuhi komitmen yang pernah dijanjikannya.