Ketika Taliban Mencari Dukungan Barat
Lima bulan setelah menumbangkan pemerintahan Afghanistan dukungan Barat, Taliban mencari dukungan Barat. Mereka butuh legitimasi internasional dan dukungan untuk mengatasi berbagai krisis di Afghanistan.
Delegasi Taliban yang dipimpin oleh penjabat Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi mengakhiri pertemuan tiga hari di Oslo, Norwegia, Selasa (25/1/ 2022). Ini delegasi pertama yang dikirim ke Barat setelah Taliban berkuasa di Afghanistan sejak 15 Agustus 2021.
Pada hari ketiga, Taliban menggelar pertemuan bilateral dengan Pemerintah Norwegia. Dua hari sebelumnya, mereka bertemu dengan warga diaspora Afghanistan, Minggu (23/1), dan para diplomat Barat, Senin (24/1). Tidak ada reportase yang detail dari pertemuan yang disponsori Norwegia itu karena berlangsung tertutup.
Dari sejumlah pernyataan pejabat Taliban sebelum pertemuan serta pernyataan beberapa perempuan aktivis Afghanistan dan pejabat Taliban setelah pertemuan, diketahui bahwa di tiga pertemuan itu mereka membahas hak asasi manusia, krisis ekonomi dan keuangan, serta situasi kemanusiaan di Afghanistan.
Baca juga: Semeja Dengan Barat, Taliban Minta Pencairan Aset Bank Sentral Afghanistan
Taliban memiliki harapan untuk ”mengubah suasana perang menjadi situasi damai”. Saat mengadakan pembicaraan dengan para diplomat Barat, Taliban menuntut pencairan aset 9,5 milliar dollar AS (sekitar Rp 136,4 triliun) milik bank sentral Da Afghan Bank yang dibekukan di negara-negara Barat.
Muttaqi memuji pertemuan yang dinilainya sangat produktif tersebut. Namun, dia tidak memerinci bagaimana respons Barat atas permintaan pencairan aset Afghanistan di luar negeri itu. "Kesempatan yang diberikan Norwegia kepada kami ini merupakan pencapaian tersendiri karena kami berbagi panggung dengan dunia," kata Muttaqi usai pertemuan.
"Dari pertemuan ini, kami yakin akan mendapatkan dukungan untuk kemanusiaan, kesehatan, dan pendidikan di Afghanistan," ujar dia.
Respons Barat
Dua hari setelah pertemuan, Kamis (27/1), para diplomat Barat (perwakilan Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, Inggris, dan AS) mengeluarkan 10 poin pernyataan. Di antara isinya, tekad sejumlah negara Barat "memperluas operasi bantuan, membantu mencegah lumpuhnya layanan sosial, dan membantu pemulihan ekonomi Afghanistan." Mereka juga menekan Taliban untuk menghormati HAM dan memperbolehkan anak-anak perempuan bersekolah, serta menciptakan sistem politik yang inklusif dan representatif guna memastikan masa depan Afghanistan yang stabil dan damai.
Tak disebutkan respons secara jelas soal pencairan aset 9,5 miliar dollar AS, yang diminta Taliban. Pernyataan mereka hanya menyebut, "Peserta pertemuan mencatat pentingnya menambah likuiditas uang tunai dan dukungan atas sektor perbankan guna membantu stabilisasi ekonomi Afghanistan."
Seruan untuk membantu Afghanistan telah muncul dalam konferensi ekonomi yang digelar pertama kali oleh Taliban di Kabul, Afghanistan, Rabu (19/1). Konferensi dipimpin Perdana Menteri Interim Afghanistan, Mullah Mohammad Hasan Akhund. Dalam pidatonya, Akhund menyerukan pembebasan aset Afghanistan yang dibekukan. Ia menegaskan, pemerintahannya tidak meminta uang.
”Bantuan yang kami minta bukan untuk pejabat pemerintah, melainkan untuk bangsa yang miskin ini,” kata Akhund.
Anggota delegasi Taliban, Shafiullah Azam, mengatakan, pertemuan dengan para diplomat Barat adalah upaya agar pemerintah Afghanistan di bawah Taliban mendapat legitimasi. “Jenis komunikasi ini membantu Eropa, AS atau banyak negara lain untuk menghapus citra yang salah tentang pemerintah Afghanistan,” katanya.
”Emirat Islam telah mengambil langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan dunia Barat. Kami berharap dapat memperkuat hubungan kami melalui diplomasi dengan semua negara, termasuk negara-negara Eropa dan Barat umumnya,” kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid.
Baca juga: Tanpa Pemerintahan Inklusif, Taliban Sulit Raih Pengakuan Internasional
Sehari sebelum Taliban tiba di Oslo, Menteri Luar Negeri Norwegia Anniken Huitfeldt, menegaskan, ”Pertemuan ini tidak sama dengan legitimasi atau pengakuan terhadap Taliban.” Hal ini ditegaskan kembali dalam 10 poin pernyataan para diplomat Barat.
Pertemuan tersebut digelar karena Barat harus berbicara dengan Taliban, otoritas de facto Afghanistan, karena alasan kemanusiaan. “Kita tidak bisa membiarkan situasi politik mengarah kepada bencana kemanusiaan yang lebih buruk lagi di Afghanistan,” kata Huitfeldt mengacu pada laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa saat ini bencana kelaparan mengancam 23 juta warga atau 55 persen dari total populasi Afghanistan.
Komite Palang Merah Internasional mengatakan, 30 persen dari 39 juta penduduk negara itu sekarang berisiko kekurangan gizi akut. Tingkat bantuan saat ini dari kelompok-kelompok pegiat kemanusiaan tidak akan cukup untuk membantu 18 juta warga Afghanistan yang sangat membutuhkan bantuan atau perlindungan di musim dingin yang beku saat ini.
PBB berupaya mengatasi krisis ini dengan meminta dukungan dana sebesar 5 miliar dollar AS untuk Afghanistan pada tahun 2022. Itu termasuk permintaan Program Pembangunan PBB sebesar 667 juta dollar AS untuk membantu “ekonomi rakyat” biasa Afghanistan. AS juga telah setuju untuk memberikan tambahan 308 juta untuk upaya kemanusiaan.
Satu hal yang kini paling dikhawatirkan negara-negara dan organisasi bantuan kemanusiaan adalah bagaimana mencegah uang bantuan tidak mengalir ke kelompok teroris. Bantuan kemanusiaan membutuhkan sistem pemantauan independen yang efektif, dan itu sangat rumit.
Isu perempuan
Salah seorang aktivis hak-hak perempuan, Jamila Afghani, yang hadir dalam pertemuan, Minggu (23/1) mengatakan, "itu pertemuan positif pemecah kebekuan". Taliban "menunjukkan niat baik", namun masih harus dilihat soal tindakan Taliban di kemudian hari, bukan hanya kata-kata.
“Taliban mengakui kami. Mereka mendengar kami. Saya berharap ini adalah semacam upaya untuk saling memahami satu sama lain", kata perempuan aktivis lain, Mahbouba Seraj, kepada wartawan.
Selama lima bulan sejak berkuasa, tampak tidak mudah bagi Taliban mendapatkan dukungan internasional atas pemerintahan mereka. Hingga kini belum ada satu pun negara di dunia yang memberikan legitimasi. Komunitas internasional bersikeras, Taliban harus menghormati hak asasi manusia dan membentuk pemerintahan yang inklusif sebelum bantuan diberikan.
Baca juga: Perlawanan Perempuan Afghanistan dari Salon Kecantikan
Banyak tokoh perempuan di Afghanistan memantau pertemuan di Oslo. Mereka merasa dikhianati Norwegia, negara Barat pertama yang menjadi tuan rumah misi diplomatik Taliban. Para perempuan aktivis di Afghanistan yang selama ini mengalami intimidasi oleh Taliban berunjuk rasa.
Setelah setengah tahun berkuasa, Taliban mengklaim telah membuat kemajuan dengan meningkatkan pendapatan dan memberantas korupsi. Namun, di sisi lain, Taliban belum mengakomodasi keterwakilan perempuan di dalam kabinet atau pemerintahan sementaranya.
Taliban juga belum sepenuhnya membentuk pemerintahan inklusif seperti yang diharapkan dunia internasional. Sejak berkuasa, Taliban memberlakukan pembatasan luas kepada masyarakat, yang umumnya ditujukan kepada perempuan. Delegasi Taliban ke Norwegia pun tanpa perempuan.
Bahkan saat delegasi Taliban bertolak ke Oslo, Sabtu (22/1), dua aktivis hak-hak perempuan, yakni Tamana Zaryab Paryani dan Parawana Ibrahimkhel, diciduk sekelompok orang di Kabul. Sejumlah perempuan yang sebelumnya terlibat aksi protes anti-Taliban bersama keduanya juga dibawa serta.
Menurut saksi mata, mereka dijemput paksa oleh 10 anggota intelijen bersenjata Taliban. Meski Taliban membantahnya, Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) mencuit, ”Kami mendesak Taliban memberikan informasi keberadaan mereka dan melindungi hak-hak semua warga.”
Perempuan menjalankan satu dari lima pekerjaan di Afghanistan hingga tahun 2020. Namun, sekarang mereka dilarang bekerja di beberapa daerah. Pendidikan untuk anak perempuan juga terbatas meskipun para pemimpin Taliban mengatakan bahwa mereka berharap dapat membuka semua sekolah untuk anak perempuan di seluruh negeri pada Maret 2022.
Dunia masih ragu-ragu untuk secara resmi mengakui pemerintahan Taliban. Sebab, dalam hampir setengah tahun ini Taliban belum banyak berubah. Negara-negara khawatir Taliban akan menerapkan tindakan keras, seperti pada pemerintahan jilid I mereka pada tahun 1996-2001.
Baca juga: 14 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan
Deborah Lyons, Kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan, yang juga hadir dalam konferensi ekonomi Taliban, beberapa waktu lalu memuji beberapa pencapaian kecil Taliban. Namun, masih banyak yang harus dilakukan Taliban untuk membangun dan meraih kepercayaan internasional dan dari dalam negeri, termasuk dari mereka yang telah bekerja untuk pemerintah sebelumnya.
Selain itu, Taliban juga perlu meraih kepercayaan dari warga Afghanistan lainnya, termasuk para profesional, yang melarikan diri karena takut kepada Taliban. Singkatnya, Taliban harus tampil lebih moderat dari pemerintahan jilid I mereka yang keras dan ketat.
Apakah Barat cukup yakin dapat berharap adanya perubahan perilaku Taliban menjadi lebih moderat? Tampaknya kekuatan Barat mendekati Taliban dengan skeptis. Meski demikian, Barat sadar akan pengaruh mereka untuk mendorong Taliban yang moderat dan lebih inklusif. (AFP/AP/REUTERS/SAM)