Pandemi menyadarkan dunia soal ketidaksetaraan akses vaksin. Perbaikan arsitektur kesehatan global diharapkan bisa mengakhiri ketidaksetaraan itu. Ini salah satu misi kepresidenan G-20 Indonesia.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Deonisia Arlinta
·5 menit baca
Pergantian tahun 2020 baru saja lewat ketika terdengar kabar tentang penyakit baru yang belum diketahui namanya melanda Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Ratusan orang terpapar penyakit itu. Bahkan, ada yang meninggal. Waktu seolah berjalan lebih cepat dari biasanya. Pertengahan Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan penyakit misterius itu, yang kemudian dikenal sebagai Covid-19, sebagai pandemi.
Penny Dewi Herasati, diplomat yang saat ini menjabat Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri, ingat betul situasi kepanikan kala itu. Semua panik. Harga resmi satu boks masker isi 50 lembar yang biasanya tak sampai Rp 40.000 tiba-tiba meroket tajam hingga beberapa kali lipat.
Tidak hanya meroket, masker pun tiba-tiba hilang dari pasaran. Begitu juga dengan harga cairan pencuci tangan atau disinfektan yang juga terkerek naik. Bahkan, harga alkohol 70 persen ukuran 1 liter bisa di atas Rp 100.000 di pasaran.
”Semua seperti melihat kebakaran. Mau memadamkan, tetapi kita tidak memiliki alat yang memadai,” kenang Penny, Jumat (14/1/2022).
Dalam situasi itu, tutur Penny, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta semua misi diplomatik Indonesia mengetuk pintu negara sahabat, negara mitra, untuk membantu Indonesia mengatasi krisis masker dan alat pelindung diri. Korea Selatan dan Jepang, menurut Penny, adalah dua negara pertama pengirim bantuan masker dan alat pelindung diri ke Indonesia.
Setelah dua hal ini teratasi, ada kebutuhan obat-obatan terapeutik, yang bisa membantu mengurangi dampak pada pasien terinfeksi. Menlu Retno mengirim pesan berisi perintah pada misi diplomatik Indonesia untuk mencari informasi negara-negara mana saja yang dapat diketuk pintunya agar Indonesia bisa mendapatkan vaksin, baik lewat hibah maupun membeli.
Di awal proses pencarian, menurut Penny, negara-negara maju menutup pintu. Amerika Serikat susah didekati. Begitu juga negara-negara Eropa. ”Yang paling gampang China. Itu sebabnya, Menlu Retno pertama kali pergi ke luar negeri, ke China, ke Sinovac. China mau membuka diri kepada kita,” tutur Penny.
Komitmen berbagi
Hampir dua tahun pandemi Covid-19 berlalu. Saat ini, Indonesia masuk dalam lima negara dengan jumlah dosis terbanyak dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, 176,3 juta penduduk sudah mendapat vaksin dosis pertama, 119,7 juta penduduk mendapat dosis kedua, dan 1,4 juta penduduk mendapat vaksinasi dosis penguat (booster).
Indonesia setidaknya sudah menerima 439 juta dosis vaksin yang diharapkan cukup untuk memberikan vaksinasi dosis primer dan lanjutan kepada masyarakat. Dari jumlah itu, 333 juta vaksin didapatkan melalui kerja sama bilateral, 85,4 juta didapatkan melalui fasilitas Covax, dan 21,3 juta dosis lewat hibah. Sebagian pasokan vaksin berasal dari negara Barat.
Meski cakupan vaksinasi tergolong tinggi, Indonesia memikirkan nasib negara-negara lain, terutama negara miskin dan berkembang, yang kesulitan mengakses vaksin. Sejak awal, Indonesia telah mencanangkan kesetaraan akses vaksin. Pengalaman diplomasi berliku untuk mendapatkan vaksin menebalkan komitmen untuk berbagi vaksin.
Nadia menyampaikan, Indonesia telah turut andil dalam pengembangan vaksin sejak 2021 bersama dengan Sinovac, China. Uji klinis juga dilakukan pada sebagian masyarakat di Indonesia. Ini juga diharapkan bisa turut mempercepat ketersediaan akses vaksin untuk masyarakat global.
Perusahaan vaksin dalam negeri juga didorong untuk semakin meningkatkan produksi vaksin Covid-19. Saat ini, PT Bio Farma telah memproduksi vaksin dengan bahan baku yang didapatkan dari Sinovac. Hal ini juga menjadi bentuk upaya transfer teknologi agar produksi vaksin bisa semakin luas.
“Indonesia juga nantinya diharapkan bisa menjadi hub terkait dengan vaksinasi di lingkup Asia-Pasifik. Dengan begitu, akses vaksin akan lebih mudah dan murah untuk menjangkau negara di Asia-Pasific sehingga tidak hanya bergantung pada produk vaksin di Amerika dan Eropa,” kata Nadia yang juga menjadi juru bicara Kementerian Kesehatan untuk vaksinasi Covid-19.
Ketimpangan mencolok
Data WHO hingga pekan lalu menunjukkan, 9,1 miliar vaksin Covid-19 telah diberikan di seluruh dunia. Sebanyak 3,89 miliar penduduk bumi menerima dua dosis vaksin, sesuai anjuran WHO. Namun, dari jumlah itu, menurut Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), jumlah vaksin yang diterima negara-negara kaya 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan yang diterima negara Sub-Sahara Afrika. Ada ketimpangan sangat mencolok.
Menurut Agung Prakoso, Program Officer isu kesehatan pada Indonesia for Global Justice, negara-negara maju membeli lebih vaksin dengan jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan. ”Negara-negara anggota G-7 di awal produksi vaksin membeli 2,4 miliar dosis vaksin. Satu orang warganya bisa mendapat lima dosis,” ujar dia.
Afrika dan sebagian Eropa Timur serta Asia tertinggal dalam vaksinasi. Vaksinasi di Afrika hingga saat ini diperkirakan baru mencakup 7 persen dari seluruh populasinya yang mencapai 1,5 miliar jiwa. ”Ketidaksetaraan vaksin tak hanya menghambat negara-negara termiskin, tetapi juga menahan dunia (dari proses pemulihan),” kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.
Ucapan Fore terbukti ketika galur Omicron, yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan, mengganggu upaya pemulihan yang sudah mulai terjadi. Banyak negara menutup perbatasannya dan melakukan kebijakan penguncian, membatasi kembali gerak sosial warganya. Perekonomian pun terhenti.
Agung mengatakan, negara miskin dan negara berkembang bukannya tidak mampu membeli vaksin. Namun, ketidaksetaraan akses vaksin, selain blokade pemesanan oleh negara-negara maju, terjadi juga karena produksi yang tidak merata. Sejumlah negara berkembang pemilik produsen farmasi siap menjadi hub untuk memproduksi dan menyebarkannya. Tetapi, kendala ada pada lisensi vaksin dan bahan baku.
Mengatasi masalah ketimpangan akses pada vaksin menjadi salah satu bidikan Indonesia sebagai Ketua G-20 tahun ini. Banyak persoalan, salah satunya isu bahan baku dan hak atas kekayaan intelektual produksi vaksin. ”Ini harus diatasi, terutama kalau kita ingin akses vaksin lebih luas,” kata Agung.