Indonesia Punya Modal Rekam Jejak Diplomasi untuk Bawa G-20 Kompak
Saat butuh kompak, dunia justru terseret polarisasi. Inilah tantangan utama Presidensi G-20 Indonesia. Jika ingin menjadi pemimpin global, Indonesia harus sukses menginspirasi munculnya kepentingan dan solusi bersama.
JAKARTA, KOMPAS -- Tantangan global mutakhir membutuhkan dunia yang kompak. Celakanya, negara-negara besar justru sedang memacu polarisasi dunia dengan pertarungan kepentingannya. Bermodal rekam jejak sebagai pembangun jembatan, Indonesia melalui Presidensi G-20 pada 2022 bertanggung-jawab menjalankan politik bebas aktif sebagai amanat konstitusi sekaligus berpeluang menunjukkan kepemimpinannya.
”Indonesia harus menyampaikan proposal konkret agar G-20 bisa bertindak sebagai satu-kesatuan. Seperti ketika terjadi resesi ekonomi di 1998 dan 2008, persatuan G-20 tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi karena ada sekelompok negara yang mampu menunjukkan semangat kemitraan," kata Menteri Luar Negeri periode 2009-2014 Marty Natalegawa, Jumat (14/1/2022).
"Indonesia memiliki pengaruh, yang saya ketahui di masa lalu, bisa menjembatani perbedaan yang sangat tajam di antara negara-negara,” lanjut Marty.
G-20 adalah perkumpulan 19 negara plus Uni Eropa yang mengendalikan 85 persen produk domestik bruto global. Di perkumpulan itu, tergabung antara lain AS, China, India, Rusia, Jepang, Korea Selatan, Australia, Inggris, dan Perancis.
Baca juga : Melalui Keketuaan G-20, Indonesia Siap Mengelola Rivalitas Kekuatan Dunia
Menjadi ketua organisasi, Marty mengingatkan, berarti Indonesia harus bisa menjadi payung bagi kepentingan semua pihak. Dalam konteks ini, menjadi Presiden G-20 sebenarnya menjadi tantangan karena Indonesia harus mengedepankan kepentingan nasional dengan cara membingkai kepentingan berbagai negara ke dalam satu tantangan bersama untuk menemukan solusi bersama.
Co-Sherpa G-20 Indonesia Dian Triansyah Djani, Jumat (7/1), mengatakan, selama ini diplomasi Indonesia dikenal sebagai diplomasi mencari jalan keluar dan membentuk konsensus bersama untuk keluar dari permasalahan. Ini sudah dibuktikan pada Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan Non-Blok, ASEAN, hingga Dewan Keamanan PBB.
“Kita memiliki kelebihan sebagai trusted chair. Ini yang mau kita gunakan untuk menjembatani. Tidak saling menyalahkan, tetapi mencari jalan keluar dan penyelesaian,” kata Triansyah.
Rekam jejak diplomasi
Situasi dunia yang sedang terpecah, menurut mantan Wakil Tetap RI untuk PBB itu, disadari oleh Indonesia. Presidensi Indonesia yang mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger” menyiratkan keinginan agar seluruh negara bergandengan tangan menghadapi situasi yang sangat menantang saat ini. Rekam jejak diplomasi Indonesia diharapkan bisa menjadi pegangan dan berujung pada kepercayaan semua pihak untuk mengedepankan kepentingan bersama.
“Yang kita tawarkan sebenarnya adalah kepentingan dan keinginan semua negara di dunia. Kalau dunia aman, dunia sehat, keuntungannya akan dinikmati semua negara. Insya Allah, Indonesia bisa menjadi jembatan itu,” kata Triansyah. Kuncinya ada pada pesan dan orang atau institusi yang menyampaikan pesan itu.
Untuk mencoba menjadi jembatan bagi negara-negara yang memiliki pandangan berbeda, dalam pertemuan sherpa pertama di Jakarta, Desember lalu, Indonesia mencoba resep “baru”, yaitu sofa talk, untuk membicarakan isu mengenai perubahan iklim dan pemanasan global. Untuk pertama kalinya, G-20 mengundang perwakilan negara-negara di Kepulauan Karibia–Caricom–dan Pacific Island Forum, forum negara-negara di Kepulauan Pasifik.
Menurut Triansyah Djani, negara-negara atau kawasan itu adalah kawasan atau negara yang merasakan dampak riil perubahan iklim dan selama ini terpinggirkan dalam diskusi atau pembahasan permasalahan yang memiliki kaitan erat dengan keberadaannya. “Idenya sederhana. Mereka memiliki hak untuk come up dengan pemikirannya,” kata Triansyah Djani.
Lead Co-Chair T-20 Bambang PS Brodjonegoro juga menyampaikan hal serupa. “Sebagai Presidensi G-20, Indonesia juga perlu menjembatani berbagai kepentingan dan tensi antar negara anggota G-20,” ujar Bambang.
Dunia tengah dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama adalah tantangan jangka pendek, yakni pemulihan dari pandemi Covid-19. Kedua adalah tantangan jangka menengah-panjang, yakni merekayasa perubahan besar zaman demi dunia yang adil-sejahtera dan berkelanjutan.
Sejarah mencatat, kompaknya negara-negara G-20 memberi sumbangsih efektif dalam menyelesaikan dan memulihkan dunia dari krisis ekonomi pada 1998 dan 2008. Namun, untuk krisis multidimensi akibat Covid-19 kali ini berikut tantangan arus perubahan besar zaman, G-20 belum mampu berkontribusi berarti. Alih-alih kompak, sejumlah negara besar anggota G-20 justru makin sengit terlibat pertarungan kepentingan. Sebut saja misalnya Amerika Serikat (AS) dan China, AS dan Rusia, Eropa Barat dan Rusia, China dan India, serta Australia dan China.
Dalam situasi tersebut, rekam jejak diplomasi Indonesia menunjukkan kepemimpinan dalam mempertemukan berbagai pihak pada kepentingan bersama. Momen-momen penting ASEAN, misalnya, selalu terjadi saat Indonesia menjadi ketua. Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Indonesia juga menjadi pihak yang menjembatani para pihak yang berseberangan. Pada salah satu sidang DK PBB 2020, misalnya, Indonesia berhasil mendamaikan AS-China.
Baca juga: Indonesia Damaikan AS-China di DK PBB, Resolusi Disahkan Aklamasi
Namun, upaya pemulihan ekonomi pascapandemi juga menghadapi tantangan yang tidak mudah. Selain masalah pandangan yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, situasi konflik bisa menjadi batu sandungan. Dunia saat ini menghadapi risiko perpecahan dengan semakin ketatnya persaingan antarnegara, terutama antara negara-negara besar dan memiliki pengaruh kuat pada negara lainnya, misalnya antara AS dan China, AS dan Rusia, serta China dan India.
Marty menilai hal itu sebagai sebuah situasi yang tidak menguntungkan bagi dunia saat ini. Marty berharap setidaknya target Presidensi Indonesia adalah agar jangan sampai persaingan bereskalasi dan berujung pada timbulnya dampak yang tidak diharapkan.
Baca juga : G-20, Orkestrasi Indonesia untuk Dunia
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan, Indonesia harus mengingatkan bahwa jika kondisi global tidak mendukung dan sebaliknya membebani, agenda-agenda domestik di masing-masing negara akan terus menghadapi persoalan.
"DNA" Indonesia
Tantangan saat ini mengingatkan pada situasi menjelang penyelenggaraan KAA tahun 1955. Kala itu, Marty menyebutkan, 10 tahun setelah merdeka, Indonesia dihadapkan pada situasi ekonomi domestik yang rumit. Namun, Indonesia berani dan bertanggung-jawab menyatukan negara-negara Asia-Afrika. Inisiatif itu tidak untuk manfaat jangka pendek, seperti ekspor-impor dan investasi misalnya, melainkan sebagai usaha mendorong perubahan global menjadi lebih baik.
”Bukankah itu sesuatu yang penting bagi kita. Yang dinamakan manfaat tidak selalu yang sifatnya segera, tapi tidak berarti itu tidak penting. Wawasan nasional kita selalu diperjuangkan dalam tatanan internasional yang lebih luas karena semangat internasionalisme. Ini sudah menjadi DNA bangsa Indonesia,” kata Marty sambil menekankan bahwa politik luar negeri tidak bisa dilihat dalam kepentingan cash and carry atau mendapatkan manfaat segera, tetapi ikhtiar jangka menengah-panjang.
”Ini adalah tanggung-jawab dan peluang untuk menunjukkan bahwa kalau diberi kesempatan, Indonesia mampu memberikan kebaikan, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi masyarakat internasional. Dunia akan melihat kepada Indonesia, reputasi Indonesia, dan relevansi Indonesia,”kata Marty.
Baca juga : Presidensi G-20 Indonesia Bakal Hadapi Sejumlah Tantangan
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menyatakan, Indonesia harus memetakan kepentingan negara-negara G-20 untuk bisa efektif memimpin G-20. Selanjutnya perlu shuttle diplomacy atau diplomasi ulang-alik untuk menjembatani perbedaan.
"Menteri-menteri teknis harus sering berkoordinasi dengan mitranya di luar negeri, entah virtual ataupun dengan kunjungan langsung. Tapi cara terbaik tetap dengan kunjungan langsung. Selanjutnya setiap pencapaian harus dilaporkan sebagai pertanggungjawaban. Ini sekaligus untuk membuktikan bahwa Indonesia punya kerangka kerja," kata Rezasyah.
Dinna Prapto Raharja, pengamat hubungan internasional sekaligus pendiri Synergy Policies mengingatkan, meski banyak harapan diletakkan pada G-20, jangan dilupakan bahwa sifat kegiatan ini sebagai forum dengan kelompok kerja, engagement groups, pertemuan tingkat menteri hingga pertemuan puncak. "Tidak adanya kesepakatan yang kuat di G-20 karena memang sifatnya joint-statement dari para pemimpin saja tidak bisa mengikat negara-negara anggota," kata Dinna.
Menurut Dinna, G-20 bisa berdampak positif bagi dunia bila negara-negara pasar dan negara-negara berkembang bisa mengajak dan mendesak negara produsen agar mengubah pola pikir mereka tentang hubungan antara mereka.
Hal yang menantang tentang Presidensi Indonesia, menurutnya, adalah apakah Indonesia memiliki kegigihan dan keterampilan untuk meyakinkan negara lain agar mendukung agenda yang disodorkan. "Sejauh ini agenda prioritas bidang keuangan masih sangat mirip dengan agenda negara-negara maju. Agenda non-finansial Indonesia belum jelas visinya dalam relasi dengan negara-negara lain. Nuansanya masih normatif dan belum mengarah pada upaya mengorkestrasi negara-negara lain," kata Dinna, Minggu (16/1).
Pemulihan global
Laporan terbaru Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara ekonomi maju, seperti AS, China dan negara-negara di kawasan Eropa dari proyeksi semula 5,5 persen menjadi hanya 4,1 persen di tahun 2022. Di tahun 2023, proyeksi ekonomi bahkan lebih suram dengan tingkat pertumbuhan hanya 3,2 persen. Beberapa penyebabnya adalah inflasi, permasalahan pada rantai pasokan dan persoalan yang melingkupi para pekerja hingga pandemi Covid-19 serta variannya yang memaksa ekonomi bergerak sangat lambat.
Pertumbuhan di negara berkembang diproyeksikan turun menjadi 4,6 persen di tahun 2022 dan hanya 4,3 persen di tahun 2023. Sedangkan di negara-negara yang perekonomiannya rapuh serta masih dalam situasi konflik, proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka diperkirakan 7,5 persen di bawah tren pra-pandemi mereka. Bagi negara-negara kepulauan kecil, yang perekonomiannya bergantung pada pariwisata, situasinya lebih mengenaskan lagi, dengan proyeksi adalah 8,5 persen di bawah situasi pra-pandemi.
Baca juga : Indonesia Bisa Sodorkan Narasi Alternatif di G-20
Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, saat ini ekonomi dunia tengah menghadapi risiko gagal bayar. Pengetatan kebijakan moneter oleh negara-negara maju diyakininya memiliki efek. Pengurangan hutang negara-negara miskin berkembang, yang saat ini telah berjumlah lebih dari 860 miliar dollar AS sangat dibutuhkan. “Jika menunggu terlalu lama, akan terlambat,” katanya.
Malpass berharap melalui Presidensi G-20 Indonesia, negara-negara anggota G-20 bisa memberikan jalan keluar bagi permasalahan utang di negara miskin dan berkembang. Salah satunya adalah China yang menyumbang hampir 40 persen dari total global utang negara miskin dan berkembang. Ini melampaui porsi IMF dan Bank Dunia.