Kremasi Ramah Lingkungan Iringi Penghormatan Terakhir kepada Desmond Tutu
Metode kremasi ”aquamation” tergolong baru. Panti pemakaman menyebut metode itu sebagai metode ramah lingkungan. Hanya beberapa negara yang mengizinkan praktik kremasi ini.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
Afrika Selatan pada Sabtu (1/1/2022) menggelar upacara penghormatan terakhir bagi mendiang Uskup Agung Emeritus Desmond Tutu. Pahlawan besar terakhir dalam perjuangan melawan apartheid itu dilepas sesuai pesan terakhirnya: disemayamkan dalam peti sederhana, lewat upacara sederhana, dan dikremasi secara ramah lingkungan.
Uskup Tutu adalah sosok yang digambarkan sebagai kompas moral negara bagi Afsel. Tutu meninggal sehari setelah Natal pada Minggu (26/12/2021) dalam usia 90 tahun. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menilai, Uskup Tutu adalah sosok global yang menjulang tinggi dalam ranah perdamaian dan keadilan. Tutu adalah suara dari mereka yang tak bersuara sekaligus sumber inspirasi bagi orang-orang di mana saja. ”Kami akan terus menarik kekuatan dari kemanusiaannya, juga semangat dan tekadnya untuk berjuang demi dunia yang lebih baik bagi semua,” kata Guterres.
Keluarga, teman, dan kolega dari kalangan pemimpin agama dan politisi berkumpul di Katedral Anglikan St George, Cape Town, untuk memberikan penghormatan terakhir. Katedral itu diterangi warna ungu, warna jubah keuskupannya. Di mimbar katedral itu dulu Tutu menyuarakan penentangan pada rezim minoritas kulit putih yang brutal. Di tempat itu pula jasadnya dikremasi.
Presiden Afsel Cyril Ramaphosa menggambarkan upacara itu sebagai pemakaman kategori satu dengan karakteristik keagamaan. ”Ayah kami yang telah meninggal adalah seorang pejuang dalam perjuangan untuk kebebasan, untuk keadilan, untuk kesetaraan dan perdamaian, tidak hanya di Afrika Selatan, tetapi di seluruh dunia,” kata Ramaphosa. ”Sementara kesayangan kita (Nelson Mandela) adalah bapak demokrasi kita, Uskup Agung Tutu adalah bapak spiritual negara baru kita.”
Jasad almarhum direndam selama tiga sampai empat jam dalam campuran air dan alkali kuat, seperti kalium hidroksida, dalam silinder logam bertekanan dan dipanaskan hingga sekitar 150 derajat celsius.
Jasad mendiang Uskup Tutu dikremasi dengan metode aquamation, yakni proses kremasi dengan air. Jasad almarhum direndam selama tiga sampai empat jam dalam campuran air dan alkali kuat, seperti kalium hidroksida. Jenazah ditempatkan dalam silinder logam bertekanan dan dipanaskan hingga sekitar 150 derajat celsius. Proses tersebut mencairkan segalanya, kecuali tulang, yang kemudian dikeringkan dalam oven dan direduksi menjadi abuputih. Hasil proses itu selanjutnya ditempatkan dalam guci dan diserahkan kepada kerabat almarhum.
Metode aquamation tergolong metode kremasi baru. Panti pemakaman menyebut metode itu ramah lingkungan. Namun, hanya beberapa negara tertentu yang mengizinkan praktik kremasi dengan metode itu. Afsel tidak memiliki undang-undang yang mengatur praktik tersebut sehingga kremasi aquamation dapat dilakukan.
Seorang peneliti yang berbasis di Amerika Serikat, Philip R Olson, dalam makalah yang ditulis pada 2014 menjelaskan, metode aquamation pertama kali dikembangkan pada awal 1990-an. Metode itu terutama digunakan untuk menghancurkan tubuh hewan yang digunakan dalam percobaan atau penelitian. Pada era 2000-an, sekolah-sekolah kedokteran AS menggunakan aquamation untuk mengkremasi jasad manusia yang disumbangkan untuk penelitian. Praktik kremasi dengan metode itu selanjutnya masuk dalam industri pemakaman.
Dengan ruang pemakaman di daerah perkotaan di seluruh dunia yang semakin langka dan mahal, aquamation memiliki daya tarik tersendiri. Pendukung metode itu mengatakan, penggunaan air adalah cara yang lebih lembut dibandingkan dengan api yang digunakan dalam proses kremasi secara umum. Mereka juga mengklaim kremasi air mengonsumsi lebih sedikit energi daripada yang konvensional dan memancarkan lebih sedikit gas rumah kaca. Menurut perusahaan yang berbasis di Inggris, Resomation, aquamation menggunakan energi lima kali lebih sedikit daripada api dan mengurangi emisi gas rumah kaca pemakaman sekitar 35 persen.
Mendiang Uskup Tutu dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana. Secara khusus ia berpesan, upacara pemakamannya harus sederhana dan tanpa embel-embel. Ramaphosa mengungkapkan bahwa kehidupan Uskup Tutu telah dijalani secara jujur dan penuh. Dunia yang ditinggalkan Uskup Tutu dikatakannya adalah sebuah dunia yang lebih baik. ”Kami pun akan mengingat dia dengan senyuman,” kata Ramaphosa sebelum menyerahkan bendera Afsel kepada perwakilan keluarga mendiang. (AFP/REUTERS)