Uskup Tutu memegang teguh prinsip non-kekerasan meski tidak menyalahkan perlawanan Mandela dan pendukungnya karena itu adalah efek diskriminasi akut.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Banyak kenangan soal almarhum Uskup Agung Gereja Anglikan Afrika Selatan Desmond Mpilo Tutu. Ia wafat pada 26 Desember di Cape Town, Afrika Selatan.
Uskup Tutu menorehkan perjalanan hidup yang menjelma bak cahaya. Terlahir dari keluarga miskin, 7 Oktober 1931. Melakoni profesi sebagai seorang guru. Ia pribadi yang terpanggil sejak kecil untuk terlibat praktis soal kerohanian. Doa menjadi andalannya. Dari situ ia belajar teologia dan ditahbiskan menjadi rohaniwan Gereja Anglikan pada 1960.
Perjalanan hidup membuatnya menyaksikan diskriminasi oleh pemerintahan apartheid Afrika Selatan. Ada pemisahan kulit putih dan kulit hitam. Kulit putih melanggengkan sistem apartheid dengan tetesan darah kulit hitam.
Uskup Tutu bukan pemberontak. ”Aku sejak kecil penurut saja, memaklumi situasi dan sangat sabar. Bayangkan, puluhan tahun Afrika Selatan menjalani diskriminasi,” katanya pada 27 September 2007. Ia pun merasakan diskriminasi saat studi teologia di London dengan disertasi tentang Islam di Afrika Barat. Namun, saat di London, ia mengatasi rasa minder dan berubah sikap untuk tidak tunduk saja pada situasi.
Kembali ke Afrika Selatan, ia menjadi Uskup Agung di Cape Town pada 1986. Pada 1980-an, Afrika Selatan ditandai dengan gejolak sosial politik. Rakyat kulit hitam melawan apartheid. Kulit putih, yang hanya 20 persen dari total penduduk, menguasai 87 persen kemakmuran Afrika Selatan.
”Aku tampil di publik karena situasi,” kata Uskup Tutu yang meyakini jalan hidup seseorang ditentukan Sang Pencipta. Penahanan tokoh-tokoh Kongres Nasional Afrika Selatan (ANC), karena melawan apartheid, membuat Uskup Tutu keluar dari biara. Ia turun menentang penembakan aparat pada rakyat yang berjuang. Ia sekaligus menahan warga yang hendak membunuh seorang informan. Ia menyerukan pembebasan Nelson Mandela, membuat keduanya dekat.
Uskup Tutu memegang teguh prinsip non-kekerasan meski tidak menyalahkan perlawanan Mandela dan pendukungnya karena itu adalah efek diskriminasi akut. Prinsip non-kekerasan menabuh respek. Ia menjadi pemimpin de facto perjuangan melawan apartheid. Uskup Tutu diundang Sekjen PBB Kurt Waldheim pada 1981 untuk bicara soal apartheid di forum PBB. Ia meraih Hadiah Nobel Perdamaian 1984. Komite Nobel menyebutkan, ”Atas perannya menyatukan para pemimpin agar tetap memegang prinsip non-kekerasan.”
Nobel membawanya menjadi cahaya bagi dunia. Ia bertemu Presiden Ronald Reagan pada 1984. Hasilnya indah, Nelson Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1993.
Pesan Uskup Tutu, jadilah seorang pemimpin pelayan, bukan memegahkan diri. Ia menyebut figur Mandela, Ibu Teresa, Mahatma Gandhi, dan Dalai Lama sebagai padanan pas untuk itu. Dia katakan, jadilah pemimpin otoritatif, yang didengar warga karena tepercaya. ”Perintah Uskup Tutu, pasti didengar rakyat,” demikian fotografer Afrika Selatan, Juda Ngwenya (CNN, 26 Desember 2021).