Dewan Keamanan PBB Kecam Pembantaian oleh Junta Militer Myanmar
Dewan Keamanan PBB menyatakan setidaknya 35 orang tewas dalam serangan oleh militer junta Myanmar. DK PBB pun menyerukan penghentian segera semua kekerasan dan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau DK PBB pada Rabu (29/12/2021) mengecam pembantaian yang terjadi pekan lalu di Myanmar. Serangan mematikan itu dilakukan terhadap lebih dari 30 orang, termasuk dua staf Save the Children. Serangan diduga dilakukan oleh pasukan junta. Tindakan keji yang terjadi pada malam hari raya Natal itu tidak boleh terjadi kembali.
Pembunuhan itu terjadi di negara bagian Kayah timur, salah satu wilayah yang menjadi basis upaya kelompok-kelompok sipil bersenjata prodemokrasi Myanmar memerangi junta militer di negara itu. Gerakan pembangkangan dilakukan secara gencar setelah junta mengambil alih pemerintah dari pemerintahan yang dipilih secara demokratis pada Februari silam.
DK PBB menyatakan, setidaknya 35 orang tewas dalam serangan itu, termasuk empat anak dan dua staf badan amal Save the Children. DK PBB menyerukan penghentian segera semua kekerasan dan menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia (HAM) dan memastikan keselamatan warga sipil. DK PBB juga ”menekankan perlunya akses kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan ke semua orang yang membutuhkan, dan untuk perlindungan penuh, keselamatan dan keamanan personel kemanusiaan dan medis”.
Pejuang antijunta mengatakan mereka telah menemukan lebih dari 30 mayat dalam kondisi terbakar di jalan raya di negara bagian Kayah setelah serangan itu. Termasuk di antara mereka yang tewas itu adalah perempuan dan anak-anak. Dua karyawan Save the Children dilaporkan hilang dan kelompok pendukung HAM itu mengonfirmasi pada Selasa (28/12) bahwa dua karyawannya itu termasuk di antara yang tewas akibat serangan junta tersebut.
Pejuang antijunta mengatakan, mereka telah menemukan lebih dari 30 mayat dalam kondisi terbakar di jalan raya di negara bagian Kayah setelah serangan itu.
”Militer memaksa orang-orang keluar dari mobil mereka, menangkap beberapa orang, membunuh banyak orang dan membakar mayat-mayat itu,” kata Save the Children dalam pernyataannya. Lembaga itu menambahkan, kedua korban tewas dari pihaknya itu belum lama berkeluarga.
Salah satu pria telah bekerja sebagai guru dan yang lainnya telah bergabung dengan badan amal enam itu tahun lalu. Lembaga itu menambahkan bahwa mereka tidak akan mengidentifikasi mereka secara langsung karena alasan keamanan.
”Berita ini benar-benar mengerikan,” kata Kepala Eksekutif Save The Children Inger Ashing. ”Kami terguncang oleh kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil dan staf kami, yang berdedikasi kemanusiaan, mendukung jutaan anak yang membutuhkan di seluruh Myanmar.”
Junta sebelumnya mengatakan, pasukannya telah diserang di Hpruso pada Jumat (24/12) silam setelah mereka berusaha menghentikan tujuh mobil yang dikemudikan dengan ”cara yang mencurigakan”.
Kelompok pemantau lokal menyatakan, Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta Februari. Sejak kudeta tercatat dengan lebih dari 1.300 orang tewas dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan. Kelompok-kelompok sipil bersenjata yang memproklamirkan diri sebagai ”Angkatan Pertahanan Rakyat"”bermunculan di seluruh wilayah Myanmar untuk melawan junta. Kondisi itu direspons keras oleh militer dengan konsekuensi negeri itu jatuh ke dalam kebuntuan berdarah lewat bentrokan dan aksi saling balas.
Setelah serangan berdarah itu, Pemerintah Amerika Serikat kembali menyerukan embargo senjata terhadap junta. Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, awal pekan ini.
”Penargetan orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima, dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya,” kata Blinken, menggunakan nama lama Myanmar. ”Masyarakat internasional harus berbuat lebih banyak untuk memajukan tujuan ini dan mencegah terulangnya kekejaman di Burma, termasuk dengan mengakhiri penjualan senjata dan teknologi penggunaan ganda kepada militer.”
Negara-negara Barat telah lama membatasi senjata untuk militer Myanmar, yang bahkan selama transisi demokrasi prakudeta menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan lewat aksi-aksi berdarah terhadap minoritas Rohingya. Majelis Umum PBB pada bulan Juni lalu juga memilih untuk mencegah pengiriman senjata ke Myanmar, tetapi tindakan itu simbolis karena hal itu tidak diambil oleh DK PBB. China, dan Rusia, yang memegang hak veto di DK PBB, bersama India adalah negara pemasok senjata utama ke Myanmar. (AP/AFP)