Hanya Kandidat Pro-Beijing Bersaing di Pileg, Publik Hong Kong Enggan Coblos
Hong Kong menggelar pemilihan umum legislatif. Akan tetapi, mayoritas rakyatnya menganggap pemilu ini hanya formalitas dan tidak mengutamakan asas demokrasi ataupun hak rakyat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
HONG KONG, MINGGU — Pemilihan umum legislatif di Hong Kong, Minggu (19/12/2021), berlangsung bagaikan kurang darah. Mayoritas penduduk di wilayah itu tidak datang ke tempat pemungutan suara untuk mencoblos. Perubahan sistem pemilu, yang hanya menjajarkan para kandidat pro-Beijing untuk berlaga, dinilai menjadi penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Hong Kong.
Hong Kong memiliki penduduk sebanyak 7,5 juta jiwa. Warga yang tercatat berhak mengikuti pemilu sekitar 4,5 juta jiwa. Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menjadi orang pertama yang mencoblos dan mengajak rakyat agar menggunakan hak suara mereka.
Namun, lima jam sejak tempat-tempat pemungutan suara (TPS) dibuka, hanya 14,3 persen dari jumlah warga yang tercatat dan berhak memilih datang mencoblos. Ini jumlah partisipasi pemilu terendah dalam sejarah Hong Kong. Pada tahun 2000 ketika wilayah ini baru berpisah dari Inggris, angka partisipasi pemilu saja masih 43 persen.
Dari survei yang dilakukan oleh sejumlah organisasi, terungkap bahwa 52 persen warga Hong Kong mengatakan tidak berminat mencoblos di pemilihan anggota legislatif (pileg) kali ini. ”Bagaimana mungkin kami mau mengikuti pemilu yang sudah diatur sedemikian rupa untuk mengebiri demokrasi dan hak-hak rakyat?” kata pegiat prodemokrasi Chan Po-ying.
Ucapan Chan mengacu kepada aturan baru yang diterbitkan oleh Beijing. Aturan itu menyebutkan, semua calon yang mengikuti pemilu wajib merupakan orang-orang yang setia kepada Pemerintah China. Mereka yang prodemokrasi dilarang mengikuti pemilu. Bahkan, banyak pegiat ataupun politisi berhaluan demokratis ditangkap dan dipenjara. Sisanya terpaksa mundur dari bursa calon anggota legislatif.
Pileg tahun ini memperebutkan 90 kursi legislatif. Ada 153 calon yang berlaga. Dari jumlah tersebut, 40 kursi dipilih oleh komite pemilu yang beranggotakan 1.500 loyalis Beijing, 30 kursi ditentukan oleh perwakilan sektor industri ataupun sektor-sektor lain yang anggotanya berpihak kepada Beijing, dan 20 kursi dipilih langsung oleh rakyat.
Ada 35 calon yang bersaing untuk menduduki 20 kursi yang dipilih oleh rakyat tersebut. Akan tetapi, hanya empat di antara mereka yang dalam kampanyenya mengungkit soal demokrasi dan hak-hak rakyat. ”Percuma mencoblos. Saya tidak kenal dan simpatik dengan para calon pileg. Toh, hasilnya juga sudah ditentukan oleh Beijing,” kata seorang perempuan karyawan bermarga Loy.
Warga yang datang mencoblos menganggap mereka yang tidak mau memberikan suara sebagai warga yang sombong. Apalagi, menurut para pencoblos ini, kondisi China sedang kuat dan sejahtera. Justru, berkat China, Hong Kong akan menuju kepada kemakmuran.
Otoritas Hong Kong menggratiskan segala jenis angkutan umum untuk hari Minggu ini. Mereka berharap, dengan demikian publik mau datang ke TPS-TPS. Dewan transportasi mengatakan kinerja angkutan umum sangat sibuk, tetapi warga jarang yang menggunakannya untuk bepergian ke TPS-TPS.
Kepala Sekretaris Hong Kong, jabatan nomor dua setelah Pemimpin Eksekutif Hong Kong, John Lee mengecam warga yang tidak mau memberi suara. ”Ini pengkhianatan terhadap bangsa. Sebuah perilaku yang tidak patriotis maupun nasionalis,” ujarnya.
Sejak Xi Jinping menjadi Presiden China sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, Hong Kong dua kali mengalami unjuk rasa besar-besaran untuk membela demokrasi, yaitu pada tahun 2014 dan 2019. Hal ini dikenal dengan istilah Gerakan Payung Kuning. Akibatnya, para pegiat prodemokrasi ditangkapi aparat penegak hukum. Media-media arus utama yang menyuarakan demokrasi juga diberedel oleh pemerintah.
Segala pemikiran dan perbuatan yang mengkritik Beijing ataupun Otoritas Hong Kong kini dikategorikan sebagai tindakan yang mengancam keamanan publik. Sensor merajalela di segala bidang, termasuk perbukuan dan perfilman. Segala jenis karya yang dihasilkan dari Hong Kong wajib berupa perpanjangan tangan propaganda Pemerintah China.
Oleh sebab itu, para pengamat politik mengatakan, pemilihan umum sekarang sejatinya hanya sebagai formalitas untuk mendefinisikan demokrasi di atas permukaan. Artinya, pemilu sebagai simbol demokrasi, bukan cara berdemokrasi. (AFP/REUTERS)