Dari Djibouti ke Guinea Ekuatorial, China Perkuat Kuku dengan Pangkalan Militer di Afrika
Seiring kepentingan politik-keamanannya, China memiliki kepentingan ekonomi di balik perluasan militernya di luar negeri. Setelah membangun pangkalan militer di Djibouti, Afrika Timur, Beijing mengincar Afrika Barat.
Beijing dilaporkan menginginkan pembangunan pangkalan baru Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China di Afrika setelah pangkalan pertama dibangun pada 2016 di Djibouti, pantai timur Afrika. Pangkalan kedua yang diinginkan di Afrika itu hendak dibangun di kota pelabuhan Bata, Guinea Ekuatorial, pantai barat Afrika yang berhadapan dengan Samudra Atlantik.
Mengutip keterangan aparat intelijen, Wall Street Journal (WSJ) baru-baru ini melaporkan, Beijing sedang melirik kota Bata untuk memperluas kehadiran militernya di Afrika. Bata sudah memiliki fasilitas pelabuhan laut dalam, yang telah ditingkatkan oleh perusahaan China, Road & Bridge Co, pada 2009-2014.
”Sebagai bagian diplomasi AS untuk mengatasi masalah keamanan maritim, pemerintah (Presiden Amerika Serikat Joe Biden) telah menjelaskan kepada Guinea Ekuatorial. Bahwa langkah-langkah potensial tertentu yang melibatkan aktivitas China di sana akan meningkatkan masalah keamanan nasional,” kata juru bicara Departemen Pertahanan AS, Todd Breasseale, kepada Fox News.
Baca juga : Sepak Terjang dan Strategi Beijing di Afrika
Menurut WSJ, untuk mencegah Presiden Guinea Ekuatorial Teodoro Obiang Nguema Mbasogo menyetujui kesepakatan dengan China, Wakil Penasihat Keamanan Nasional AS Jon Finer berkunjung ke Malabo, ibu kota Guinea Ekuatorial, Oktober lalu. Saat itu, menurut Gedung Putih, pertemuan Obiang-Finer hanya membahas soal keamanan maritim dan mengatasi pandemi Covid-19.
Kala China membangun pangkalan pertama Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army Navy/PLAN) di Djibouti, Tanduk Afrika, pada 2016, Washington melihatnya sebagai perluasan militer Beijing. China berambisi menghadirkan kekuatannya mulai dari Tajikistan di Asia Tengah hingga Angola di pantai Samudra Atlantik, Afrika.
Para pejabat AS yakin bahwa China juga telah membangun pangkalan rahasia atau membuat perjanjian akses pelabuhan dengan beberapa negara, termasuk Kamboja dan Uni Emirat Arab. Namun, lima tahun setelah pembangunan fasilitas militernya di Djibouti, China belum juga menancapkan tiang pancang baru di luar negeri.
Terkait pangkalan di Djibouti, Beijing menegaskan, fasilitas itu untuk mendukung upaya anti-pembajakan multinasional, pengamanan jalur pelayaran vital, serta memungkinkan China melindungi warganya di kawasan. Hal itu juga yang melatarbelakangi rencana membangun pangkalan di kota Bata, Guinea Ekuatorial.
100 pelabuhan sipil
China memang memiliki kepentingan politik dan ekonomi, dua masalah pokok ketegangan AS-China. Pangkalan asing militer China mungkin dapat membantu Beijing mengamankan hampir 100 pelabuhan sipil di luar negeri, dengan China sebagai investor, kontraktor, dan operatornya. Juga untuk mengamankan sumber daya manusia, investasi, dan jalur perdagangannya.
Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menurut WJS, mengidentifikasi hampir 50 pelabuhan sipil China di Sub-Sahara Afrika. Di pantai timur Afrika, misalnya, ada 18 pelabuhan, termasuk di Madagaskar. Mulai dari utara di Haidob di tepi Laut Merah, Sudan, lalu ke selatan di Mombasa, Kenya, terus ke selatan lagi, yakni di dua pelabuhan sipil di Afrika Selatan.
Baca juga : Afrika di Tengah Laga Raksasa E-dagang AS dan China
Di sepanjang pantai barat Afrika, terdapat lebih banyak lagi pelabuhan sipil yang dibangun atas investasi atau dukungan dana dari China. Mulai dari Mauritania, lalu ke Sierra Leone, Nigeria, Kamerun, Guinea Ekuatorial, Angola, hingga ke selatan di Namibia yang berbatasan dengan Afrika Selatan. Tidak heran pula jika kini banyak negara di Afrika terjebak utang dari China.
Menurut CSIS yang berbasis di Washington DC, China dapat menggunakan salah satu pelabuhan itu sebagai pangkalan dengan alasan ”untuk meningkatkan kehadiran atau jangkauan militer dan politiknya”. Dalam konteks inilah kehadiran pangkalan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China di Djibouti dimengerti. Hal itu membuat Barat, terutama AS, merasa khawatir akan kebangkitan China.
Begitu pula ketika kapal PLAN berkunjung ke Guinea Ekuatorial pada 5 Desember 2021. Di sebuah pangkalan militer yang diidam-idamkan di kota pelabuhan Bata, China berharap kapal perangnya akan berlabuh secara permanen di pesisir barat Afrika, yang berhadapan dengan Samudra Atlantik.
China memiliki pasukan angkatan laut yang lebih berani dibandingkan yang lain. Menurut The Economist, China secara dramatis telah meningkatkan armadanya saat ini dan membangun lebih banyak kapal dibandingkan yang dilakukan AL Amerika.
Sebagian besar kapal China tetap berada di perairan Indo-Pasifik. Namun, tidak jelas apakah China memiliki ambisi militer yang lebih besar atau tidak untuk menyaingi AS dan sekutu-sekutunya.
Baca juga : Negeri Kecil Pangkalan Militer Negara Besar
AL China mungkin tidak bisa berharap banyak untuk mempertahankan armadanya di Atlantik. Sebab, di kawasan itu China akan kalah bersaing dengan AS dan sekutunya. Kapal, pangkalan, dan jalur pasokan yang dimiliki AS dan sekutunya mendominasi Atlantik tengah dan utara.
China mulai merasakan kebutuhan yang lebih mendesak untuk membangun pangkalan di luar negeri sejak 2011. Saat itu China kesulitan mengevakuasi sekitar 30.000 warganya dari Libya, saat negara di Afrika Utara itu terlibat perang saudara pasca-kejatuhan orang kuat, Moammar Khadafy.
Seiring dengan kepentingan politik dan keamanan, China juga memiliki kepentingan ekonomi di balik rencana perluasan militernya di luar negeri. Dalam dekade terakhir, permintaan impor China yang meningkat mulai dari minyak hingga tembaga, dan perluasan aktivitas komersialnya di luar negeri, meningkatkan kekhawatirannya soal menjaga jalur perdagangan tetap aman.
Mitra ekonomi terbesar
Dalam dua dekade terakhir, China telah menjelma dari investor yang tergolong kecil di Afrika menjadi mitra ekonomi terbesar di benua itu. Sejak pergantian milenium, perdagangan Afrika-China tumbuh sekitar 20 persen per tahun.
Investasi langsung asing berkembang lebih cepat selama satu dekade terakhir dengan tingkat pertumbuhan tahunan sangat tinggi, yakni 40 persen. China juga merupakan sumber bantuan dan pembiayaan konstruksi terbesar. Kontribusi ini telah mendukung banyak perkembangan infrastruktur paling ambisius di Afrika selama beberapa tahun terakhir.
Sejak tiga atau empat tahun lalu, kehadiran China di Afrika terus meningkat. Bahkan, China telah menggarapnya secara serius dengan menggelar FOCAC untuk pertama kalinya pada tahun 2000. Kala itu, China menjanjikan aneka bantuan dan kerja sama pembangunan dengan Afrika. Bantuan dan kerja sama ini hingga sekarang terus tumbuh.
Baca juga : Negara-negara Afrika Minta China Hentikan Tes Covid-19 bagi Warganya
Selain itu, hingga pandemi Covid-19 melanda dunia, ada 1,5 juta pekerja China berada di luar negeri dan terbanyak di Afrika. Buku putih militer China menekankan perlunya angkatan laut untuk melindungi ”kepentingan luar negeri” semacam itu.
Mungkin masih ada pertimbangan lain. Analis militer China, Ryan Martinson dari US Naval War College, secara terbuka menganjurkan Beijing melakukan aktivitas ke perairan yang jauh dari daratan China. Hal itu untuk mengalihkan perhatian dan sumber daya AS dari perairan di dekat China. Membangun pangkalan yang menghadap ke Atlantik akan menarik perhatian AS.
Isaac Kardon, mitra Martinson di US Naval War College, mencatat bahwa para pemimpin China lebih suka mendirikan pangkalan tanpa memusuhi Amerika. China juga tidak menyetujui aliansi dan membenci penggunaan kekuatannya dalam peran tempur apa pun dalam konflik dengan negara lain. Hal itu berbeda dengan Amerika.
Teluk Guinea akan menjadi tempat yang masuk akal sebagai pangkalan baru militer China masa depan di Afrika. Perompakan atau pembajakan di laut adalah momok di sana, seperti di Teluk Aden, lepas pantai Djibouti. Masuk akal dengan argumen bahwa bantuan China diperlukan.
Perusahaan China, China Road & Bridge Co, telah membangun pelabuhan komersial laut dalam di Bata. Selanjutnya, Pemerintah China tinggal menyesuaikan saja untuk membangun pangkalan kapal perangnya yang kedua di Afrika.
Lagi pula, seperti dilaporkan The Economist, sistem diktator yang dipraktikkan keluarga Presiden Obiang (dengan Wapres Teodoro Nguema Obiang Mangue, putranya sendiri) kebetulan sama dengan yang dipraktikkan China dalam berbisnis di Afrika: brutal, korup, dan berantakan dalam manajemen keuangan.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui bailout atau dana talangan untuk negara di Afrika Tengah bagian barat itu pada 2019.
Baca juga : China Mempertegas Peran Globalnya
Kardon mengatakan, pangkalan China di Bata mungkin hanya akan menimbulkan sedikit ancaman serius bagi Amerika. Kecuali jika pangkalan itu menyediakan fasilitas untuk kapal selam China. Namun, membangun fasilitas seperti itu hampir tidak akan mungkin tersembunyi dari pengamatan publik.
Guinea Ekuatorial mustahil mengambil risiko yang membuat AS marah karena membiarkan China melakukannya. Hal itu karena tidak ada bukti jelas yang terungkap bahwa China memiliki niat membangun pangkalan militer di Bata.
Seminggu setelah kunjungan Finer, Presiden China Xi Jinping berbicara melalui telepon dengan rekannya, Presiden Obiang. Pejabat China mengatakan bahwa Presiden Obiang telah menyebut China sebagai ”mitra strategis paling penting” bagi Guinea Ekuatorial.
”China adalah model negara sahabat dan mitra strategis, tetapi untuk saat ini, tidak ada kesepakatan seperti itu,” cuit Wapres Nguema pada 7 Desember lalu untuk merespons laporan WJS terkait rencana pembangunan pangkalan PLAN di Bata.
Namun, Wapres Nguema juga mengatakan, ”Ingat bahwa Guinea Ekuatorial adalah negara yang berdaulat dan merdeka, dapat pula menandatangani perjanjian kerja sama dengan negara sahabat mana pun.”
Baca juga : Afrika Minta Keringanan Utang kepada China
Terkait sepak terjang militer China, beberapa legislator AS mengatakan, menghadang kebangkitan China merupakan prioritas utama dalam anggaran pertahanan, yang secara resmi dikenal sebagai Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA).
Anggota Kongres AS dari Demokrat, Elaine Luria, seperti dilaporkan Al Jazeera, mencuit di Twitter bahwa NDAA menekankan investasi penting dalam pertahanan nasional AS. Sudah saatnya AS ”mengambil langkah-langkah penting untuk melawan ancaman kebangkitan China”.
Dalam beberapa kasus, dorongan untuk fokus pada China bahkan telah tampil dalam nada yang lebih mengkhawatirkan. Menurut Senator Republik, Jim Inhofe, ancaman yang ditimbulkan militer China sudah sangat dekat.
”Itu bukan sesuatu yang mungkin terjadi pada tahun 2030, tahun 2035, atau beberapa waktu di masa depan. Ini masalah yang kita hadapi hari ini. Sekarang. Makin lama makin parah saja,” ujarnya.
Hubungan antara Beijing dan Washington telah memburuk di tengah banyak titik ketegangan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk perang dagang. AS juga sangat mengkhawatirkan pengaruh China yang berkembang makin kuat di kawasan Indo-Pasifik. China sendiri banyak mengecam unjuk kekuatan militer oleh AS dan sekutunya di kawasan.