Sepak Terjang dan Strategi Beijing di Afrika
Dalam dua dekade terakhir, China telah menjelma dari investor yang tergolong kecil di Afrika menjadi mitra ekonomi terbesar di benua itu. Sejak pergantian milenium, perdagangan Afrika-China tumbuh sekitar 20 persen per tahun.
Investasi langsung asing berkembang lebih cepat selama satu dekade terakhir dengan tingkat pertumbuhan tahunan sangat tinggi, yakni 40 persen. China juga merupakan sumber bantuan dan pembiayaan konstruksi terbesar. Kontribusi ini telah mendukung banyak perkembangan infrastruktur paling ambisius di Afrika selama beberapa tahun terakhir.
Kehadiran China di benua itu terus meningkat. China menggarapnya secara serius dengan menggelar Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) untuk pertama kalinya pada tahun 2000. Kala itu, China menjanjikan aneka bantuan dan kerja sama pembangunan dengan Afrika. Bantuan dan kerja sama ini hingga sekarang terus tumbuh.
Lembaga konsultan Ernst & Young mencatat China sebagai sumber investasi asing terbesar Afrika pada 2016. Dalam periode 2005-2016, China menginvestasikan 66,4 miliar dollar AS (Rp 985 triliun) dan menghasilkan 130.750 lapangan pekerjaan di Afrika. Dana ditanamkan pada berbagai proyek, seperti pelabuhan di Djibouti hingga ke pabrik dan perkebunan.
China juga menjadi mitra dagang terbesar Afrika. Pada 2016, ekspor China ke Afrika bernilai 82,9 miliar dollar AS dan impornya 54,3 miliar dollar AS.
Dalam periode 2016-2018, Beijing dua kali menjanjikan bantuan dan investasi bernilai 120 miliar dollar AS bagi Afrika. Pada FOCAC 2016, China menjanjikan 60 miliar dollar AS. Dana ini meliputi 5 miliar dollar AS untuk hibah dan pinjaman tanpa bunga, 35 miliar dollar AS kredit ekspor, 5 miliar dollar AS untuk Badan Pembangunan China-Afrika, 5 miliar AS untuk pengembangan UKM, serta 10 miliar dollar AS untuk pengembangan kerja sama industri.
Hingga Agustus 2018, tidak banyak kabar soal janji miliaran dollar AS itu. China malah mengeluarkan janji 60 miliar dollar AS kedua. Kali ini, China menyebut dana akan dikucurkan bertahap sampai 2020. Janji 60 miliar dollar AS akan diwujudkan antara lain menjadi 20 miliar dollar AS kredit, 15 miliar dollar AS bantuan, 10 miliar dollar AS pendanaan pembangunan, serta 5 miliar dollar AS untuk pendanaan impor China dari Afrika.
”Investasi China di Afrika tanpa ikatan politik,” ujar Presiden China Xi Jinping dalam pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin dan perwakilan bisnis Afrika menjelang FOCAC di Beijing, 3-4 September 2018. ”Kerja sama China dengan Afrika jelas-jelas untuk menjadi terobosan bagi kemacetan besar dalam pembangunan. Sumber daya kerja sama kami tidak dibelanjakan untuk proyek-proyek yang sia-sia, tetapi di tempat-tempat yang paling mereka butuhkan.”
Sejumlah analis, khususnya dari lembaga Barat, mengkritik Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Studi oleh Center for Global Development, lembaga kajian dari AS, misalnya menemukan ”keprihatinan serius” terkait keberlangsungan utang di delapan negara Asia, Eropa, dan Afrika yang menerima dana BRI. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad belum lama ini memperingatkan kemungkinan adanya ”versi baru kolonialisme”. Hal itul ikut mendorong Malaysia untuk membatalkan proyek-proyek infrastruktur yang didanai China senilai 22 miliar dollar AS.
Namun, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa membela keterlibatan China di Afrika. Dalam forum FOCAC 2018, ia membantah pandangan bahwa kolonialisme baru sedang mencengkeram Afrika. Menurut dia, analisis dan kritik terhadap sepak terjang Beijing di benua itu tidak akan mengurangi kepercayaan Afrika terhadap China.
Presiden Rwanda Paul Kagame, yang juga Ketua Uni Afrika, ikut membela kehadiran China di benua tersebut. ”Afrika bukan tempat permainan mencari menang kalah. Hubungan kami yang tumbuh tidak datang atas biaya siapa pun,” ujarnya.
Merata dan mendalam
Perusahaan konsultan manajemen multinasional, McKinsey & Company, adalah salah satu pihak yang berupaya mengupas sejauh mana sepak terjang China di Afrika. Lembaga itu berupaya memahami secara komprehensif bagaimana hubungan ekonomi Afrika dengan China. Hal itu tersaji dalam laporan tahun 2017 bertajuk ”Dance of the Lions and Dragons: How are Africa and China engaging, and How Will The Partnership Evolve?”.Laporan meliputi wawancara dengan lebih dari 100 pemimpin bisnis dan pemerintahan Afrika serta pemilik atau pengelola lebih dari 1.000 perusahaan China yang tersebar di delapan negara di benua tersebut.
Kemitraan ekonomi Afrika dengan seluruh dunia di lima dimensi, yakni perdagangan, saham investasi, pertumbuhan investasi, pembiayaan infrastruktur, dan bantuan, diukur. Hasilnya, China termasuk di antara empat mitra teratas untuk Afrika pada semua dimensi itu.
McKinsey menggarisbawahi bahwa tidak ada negara selain China yang begitu dalam sekaligus luas terlibat di Afrika. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa peluang dari kemitraan Afrika-China lebih besar daripada yang diberikan oleh mitra asing lainnya, yaitu Brasil, Uni Eropa, India, Inggris, hingga AS sekalipun.
Seberapa cepat hubungan Afrika-China akan tumbuh dalam satu dekade ke depan? Lembaga itu melihat dalam dua skenario yang paling potensial. Pertama, pendapatan perusahaan-perusahaan China di Afrika tumbuh untuk mencapai nilai ekonomi hingga 250 miliar dollar AS pada tahun 2025 dari 180 miliar dollar AS pada tahun 2017. Dalam skenario ini, tiga industri yang mendominasi bisnis China di Afrika saat ini—manufaktur, sumber daya, dan infrastruktur—tetap akan dominan.
Skenario kedua, McKinsey memperkirakan terjadi percepatan pertumbuhan yang didukung perusahaan-perusahaan China di Afrika. Dengan memperluas secara agresif di sektor yang sudah ada ataupun yang baru, perusahaan-perusahaan ini dapat mencapai pendapatan 440 miliar dollar AS pada tahun 2025. Perusahaan China juga berpeluang merajai sektor-sektor baru, mulai dari pertanian, perbankan dan asuransi, perumahan, teknologi komunikasi informasi dan telekomunikasi, hingga transportasi serta logistik.
Selama ini seakan-akan tersaji pada publik global bahwa pemerintah-pemerintah di Afrika cenderung pasif dalam menegosiasikan kontrak dengan China. Padahal, selama 15 tahun meningkatnya aktivitas China di kawasan tersebut, pemerintah Afrika sangat sadar akan kepentingan Beijing. Negara-negara Afrika juga telah menyempurnakan taktik negosiasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih baik.
Para pemimpin di benua itu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa orang Afrika sepenuhnya mampu memutuskan apa yang menjadi kepentingan terbaik mereka.
Waktu akan membuktikan soal ketulusan Beijing di satu sisi ataupun kepandaian warga Afrika di sisi lainnya. (AP/AFP/RAZ/BEN)