Afrika di Tengah Laga Raksasa E-dagang AS dan China
Pandemi Covid-19 berimbas positif terhadap e-dagang global. Nilai traksaksi penjualan ritel melalui e-dagang secara global pada 2020 tumbuh 19 persen. Pertumbuhan itu terjadi juga di Afrika yang masih minim penetrasi TI.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 berimbas positif terhadap e-dagang global. Nilai transaksi penjualan ritel melalui e-dagang secara global pada 2020 tumbuh 19 persen dari total transaksi pada 2019 yang sebesar 26,7 triliun dollar AS. E-dagang asal China dan Amerika Serikat mendominasi dalam 10 besar nilai dan volume perdagangan barang. Sementara di Afrika, pertumbuhan platform e-dagang Jumia juga melesat di tengah-tengah keterbatasan penetrasi dan infrastruktur internet.
Dalam laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) berjudul ”Estimates of Global E-Commerce 2019 dan Preliminary Assessment of Covid-19 Impact on Online Ritel 2020” yang dirilis 3 Mei 2021, China dan AS sama-sama menempatkan empat perusahaan e-dagang dalam 10 besar e-dagang berdasarkan nilai dan volume perdagangan barang bruto (GMV).
E-dagang China tersebut adalah Alibaba yang menempati peringkat ke-1, JD.com (3), Pinduoduo (4), dan Meituan (7). Adapun e-dagang AS yang masuk 10 besar adalah Amazon (2), eBay (6), Walmart (8), dan Uber (9). Alibaba membukukan total transaksi 1.145 miliar dollar AS pada 2020 atau tumbuh 20,1 persen dari 2019 yang sebesar 954 miliar dollar AS. Amazon mencatatkan transaksi 575 miliar dollar AS pada 2020 atau tumbuh 38 persen dari 2019 yang sebesar 417 miliar dollar AS.
UNCTAD juga menyebutkan, e-dagang AS dan China masih mendominasi penjualan ritel secara daring. Pada 2020, penjualan ritel secara daring China mencapai 1.414,3 miliar dollar AS, meningkat dari 2019 yang sebesar 1.233,6 miliar dollar AS. Kontribusi penjualan ritel secara daring itu sebesar 24,9 persen dari total penjualan ritel 2020 yang mencapai 5.681 miliar dollar AS.
Sementara penjualan ritel AS secara daring pada 2020 senilai 791,7 miliar dollar AS, meningkat dari 2019 yang senilai 598 miliar dollar AS. Kontribusi penjualan ritel secara daring itu sebesar 14 persen dari total penjualan ritel yang mencapai 5.638 miliar dollar AS.
China dan AS sama-sama menempatkan empat perusahaan e-dagang dalam 10 besar e-dagang berdasarkan nilai dan volume perdagangan barang bruto (GMV).
Hal ini termasuk penjualan bisnis-ke-bisnis (B2B) dan bisnis-ke-konsumen (B2C). Secara keseluruhan, nilai transaksi e-dagang pada 2020 setara dengan 30 persen produk domestik bruto (PDB).
”Statistik ini menunjukkan semakin pentingnya aktivitas daring sekaligus semakin perlunya negara-negara, terutama negara berkembang, membangun kembali ekonomi selama pandemi dan setelah pandemi Covid-19,” kata Direktur Logistik dan Teknologi UNCTAD Shamika Sirimanne melalui keterangan tertulis.
Jumia dan Afrika
Pandemi Covid-19 juga memicu ”ledakan” perdagangan digital di Afrika. Karantina wilayah ataupun pembatasan sosial pergerakan masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19 itu mempercepat penerapan digitalisasi di sebagian besar aspek kehidupan masyarakat. Perusahaan dan pengecer besar hingga kecil yang sebelumnya tidak mengembangkan digitalisasi terpaksa mengadopsi teknolgi tersebut untuk bertahan hidup.
Di tengah keterbatasan penetrasi dan infrastruktur internet, perusahaan-perusahaan e-dagang di Afrika jemawa lantaran bisnisnya bertumbuh pesat. Oxford Business Group menunjukkan, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di wilayah sub-Sahara Afrika masih terbatas. Proporsi individu di kawasan yang menggunakan internet masih 28,2 persen dari total penduduk. Angka itu jauh di bawah rata-rata negara berkembang (47 persen) dan negara maju (86,3 persen).
Selain rendahnya tingkat pengguna internet, hambatan-hambatan di wilayah tersebut antara lain biaya jaringan pita lebar (broadband) yang tinggi, pelatihan digital yang terbatas, minimnya literasi keuangan digital, dan belum optimalnya dukungan pemerintah.
Terlepas dari hal itu, e-dagang di wilayah tersebut meningkat signifikan. Jumia, platform e-dagang yang didirikan di Lagos, Nigeria, pada 2012, misalnya, mampu meningkatkan volume transaksi penjualannya hingga 50 persen pada enam bulan pertama 2020, dari 3,1 juta transaksi menjadi 4,7 juta transaksi.
Kemudian pada Desember 2020, Jumia yang menjadi unicorn pertama di Afrika pada 2016 mampu menjual sahamnya di AS senilai total 243 juta dollar AS. Langkah ini diikuti oleh penawaran saham sekunder pada akhir Maret 2021, yang menghasilkan 341,2 juta dollar AS.
Pertumbuhan e-dagang tersebut diikuti dengan percepatan pembangunan ekosistem ekonomi digital di wilayah Afrika, terutama di sektor keuangan dan logistik. Paystack, sebuah perusahaan pembayaran keuangan Nigeria dengan lebih dari 60.000 pedagang di seluruh Afrika, turut memperkuat sistem pembayaran digitalnya. Hasilnya, transaksinya meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Perusahaan transportasi digital (ride-hailing) di Nigeria, Max.ng dan Gokada, memfokuskan bisnisnya ke sektor logistik sehingga penghasilannya meningkat lebih dari 100 persen. GetBoda, perusahaan pengiriman logistik e-dagang Kenya, juga menikmati peningkatan pesanan hingga 150 persen pada minggu-minggu pertama pandemi Covid-19.
Melihat peluang tersebut, PBB pun turun tangan. Melaui lembaga Dana Pembangun Modal PBB (UNCDF), PBB bermitra dengan perusahaan transportasi SafeBoda Uganda membuat platform e-dagang yang dirancang untuk menghubungkan bisnis kecil dengan pelanggan pada April 2020.
Pertumbuhan ini sangat menggembirakan dan membantu masyarakat setempat mengakses kebutuhan harian secara daring di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil survei UNCTAD di empat negara besar di Afrika, 40 persen responden berencana mengurangi belanja makanan-minuman, pakaian, dan barang elektronik secara konvensional dan akan beralih ke daring.
Bahkan, negara-negara di Afrika berkomitmen meningkatkan penetrasi e-dagang merata di seluruh wilayah. Salah satunya melalui pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas Kontinental Afrika (AfCFTA) yang mulai beroperasi pada 1 Januari 2021. Pada tahun ini pula, negosiasi tahap ketiga AfCFTA akan mencakup perdagangan digital.
Oxford Business Group menegaskan, jika hal itu dapat dimanfaatkan secara optimal, e-dagang di Afrika akan semakin berkembang pesat. Google dan International Finance Corporation (IFC) Bank Dunia mencatat, ekonomi digital Afrika dapat menyumbang 180 miliar dollar AS terhadap PDB benua tersebut pada 2025 dan 712 miliar dollar AS pada 2050.