Dalam 10 tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, Korea Utara menjadi semakin kuat dari sisi persenjataan. Namun, di sisi lain, Korut malah semakin terisolasi dari dunia dan mengarah pada bencana kelaparan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Selama 10 tahun kepemimpinan Kim Jong Un, Korea Utara menjadi semakin kuat dari sisi persenjataan. Namun, dari sisi lain, Korut malah menjadi semakin terisolasi dan lebih bergantung pada China. Padahal, Kim sempat berencana melakukan perubahan-perubahan yang membuat komunitas internasional berharap negeri itu akhirnya mau membuka diri pada dunia. Sayang, harapan tinggal harapan karena perhatian Kim tetap terfokus pada pengembangan persenjataan nuklir saja.
Pengembangan persenjataan itulah yang justru menghambat terobosan politik yang dibutuhkan untuk memperbaiki perekonomian yang morat-marit dan mencegah bencana kelaparan. Krisis di Korut semakin parah gara-gara pandemi Covid-19, ditambah lagi dengan beban sanksi-sanksi dari komunitas internasional. Kedua hal yang membuat susah bergerak ini menyebabkan Korut menjadi semakin bergantung pada China.
Selama memimpin, Kim memilih gaya yang berbeda dari mendiang ayahnya, Kim Jong Il. Ia berusaha untuk ”menormalkan” Korut dengan melembagakan dan mendelegasikan kepemimpinan. Ia juga berambisi mendapatkan pengakuan dari dunia dengan senjata nuklirnya dan bertemu dengan para pemimpin negara lain serta menunjukkan transparansi dan empati pada kehidupan rakyatnya. Pada waktu itu, seakan ada harapan negeri sosialis itu akan membuat gebrakan reformasi ekonomi atau memulihkan hubungan dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Namun, ternyata tak ada yang terwujud. Kim tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan ayahnya, seperti membuka kamp-kamp penjara politik dan mengeksekusi orang-orang yang dianggap berpotensi mengganggu dirinya. ”Saya kira pada waktu itu rakyat Korut sempat berharap kondisi akan membaik setelah selama bertahun-tahun tertindas,” kata pakar Korea di Leiden University, Belanda, Christopher Green.
Kim mau tak mau harus membuat keputusan yang sulit. Kalau mau sanksi-sanksi dicabut, Kim harus mengalah dengan menghentikan ambisi pengembangan nuklirnya. Jika tidak mau memilih itu, berarti Kim harus mencari cara lain untuk mendongkrak perekonomian. Caranya bisa dengan meminta tolong terus kepada China meski keduanya pun sebenarnya tak saling percaya. Atau, bisa juga menjadi lebih terbuka secara sosial dan ekonomi tanpa kehilangan kendali politik.
”Sanksi bisa membatasi langkah pemulihan ekonominya, tetapi tidak berarti Kim tidak bisa bergerak sama sekali,” kata Robert Carlin, mantan anggota intelijen AS yang kini bekerja di Stimson Center, Washington, AS.
Setelah pandemi Covid-19, dari kalangan elite rezim mulai terdengar ada permintaan untuk membuka diri, tetapi sifatnya terbatas. Namun, itu tidak mudah. Tanpa penambahan modal asing, kata Green, reformasi ekonomi hampir bisa dipastikan gagal.
Ambisi senjata
Semasa Kim berkuasa, Korut sudah menguji empat dari enam senjata nuklirnya, termasuk bom hidrogen, dan mengembangkan sejumlah rudal balistik antarbenua yang mampu mencapai daratan AS. Bagi Kim, simpanan persenjataan itu penting karena akan melindungi Korut dari ancaman luar dan bisa membuat posisi Korut sejajar dengan negara-negara berkekuatan nuklir lain. Namun, gara-gara persenjataan itu Korut nyaris berperang dengan AS pada 2017 serta membuat China dan Rusia ikut menyetujui sanksi PBB atas Korut. Padahal, China dan Rusia termasuk rekan dekat Korut.
Mencoba membujuk komunitas internasional agar sanksi dicabut, Kim mau bertemu dengan Presiden AS Donald Trump saat menjabat. Namun, setelah dua kali ketemu, perundingan mandek karena AS menuntut Korut menghentikan program nuklirnya terlebih dahulu sebelum sanksi dicabut. Korut menolak tuntutan AS. Pakar Korea di Pusat Keamanan Amerika Baru, Duyeon Kim, menilai Kim akan tetap bersikap ”jinak-jinak merpati” jika terkait diplomasi nuklir. Pasalnya, pengembangan nuklir akan menaikkan posisi politik dan posisi tawarnya.
Pakar keamanan strategis di China, Zhao Tong, menilai Kim bisa dengan cepat memperbaiki hubungan dengan China setelah hubungan kedua negara sebelumnya memburuk. Ini gara-gara Korut marah dengan China yang mendukung sanksi. China kini menyumbang sebagian besar perdagangan internasional terbatas Korut. Kedua negara itu juga sama-sama mendorong ideologi sosialis dan melawan pengaruh Barat. ”Kim akan terus bergantung pada China dan negara-negara kecil lain yang sama dengan Korut,” ujarnya.
Kontrol ketat
Pada awal-awal kekuasaannya, Kim mencoba melakukan reformasi ekonomi demi mempertahankan kekuasaan otokratiknya. Namun, kata Green, sepertinya Kim merasa risikonya terlalu besar dan ia akan mendapat perlawanan dari dalam. Bisa jadi itu yang menyebabkan Kim membatalkan rencananya. Padahal, PBB sudah mengingatkan risiko bencana kelaparan jika perekonomian Korut tak juga membaik.
Pandemi Covid-19 membuat rezim Korut memperkuat cengkeramannya pada ekonomi sehingga mengkhawatirkan rakyat Korut yang selama ini mengandalkan pasar gelap. Selama masa kepemimpinan Kim, teknologi gawai dan telepon genggam juga sudah masuk. Hanya, seiring dengan teknologi canggih itu, Kim juga mengadopsi teknologi canggih untuk mengawasi rakyatnya agar tak terpengaruh kepentingan asing dan bisa memantau jika ada gerakan protes.
Pakar Korea di King’s College London, Ramon Pacheo Pardo, menilai, belum terlambat jika Kim mau memenuhi janjinya memperbaiki kehidupan rakyat Korut. Belum terlambat pula bagi Kim jika masih ingin membuka diri pada komunitas internasional. ”Pada akhirnya, nasib kepemimpinan Kim di masa depan akan ditentukan oleh kemampuannya meningkatkan standar hidup rakyat Korut setelah pandemi berakhir,” ujarnya. (REUTERS)