Sudah 10 tahun Kim Jong Un berkuasa. Sampai sekarang tak ada yang bisa memahami karakter pribadi dan kepemimpinannya sehingga semuanya serba menebak. Belakangan, Kim Jong Un mencari bentuk kekuasaannya sendiri.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Sepuluh tahun sudah Kim Jong Un memegang tampuk kekuasaan rezim Korea Utara. Sampai sekarang belum ada yang bisa memahami karakter pribadi dan kepemimpinan Kim. Terkadang ia terlihat riang gembira seperti anak kecil seusai melihat tes roket berhasil. Terkadang juga ia tampak sebagai pemimpin simpatik dan ikut bersedih sampai menangis dengan penderitaan rakyatnya. Lain waktu ia terlihat bersahabat juga enak diajak kerja sama ketika bersalaman dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Namun, pernah pula ia terlihat sebagai pemimpin brutal yang pragmatis karena ia mengeksekusi pamannya sendiri.
Sejak menjadi pemimpin tertinggi Korut menggantikan ayahnya, Kim Jong Il, yang meninggal pada 17 Desember 2011, Kim menunjukkan beragam wajah sehingga membuat orang sulit menebak. Hanya, barangkali ada satu ”wajah” yang tak pernah berubah, yakni keteguhannya mengembangkan program senjata nuklir untuk menyasar AS dan negara-negara sekutunya. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah simpanan nuklir Korut sebenarnya. Diperkirakan jumlahnya sampai 60 unit senjata nuklir dan produksi rata-rata per tahun bisa sekitar 18 unit.
Berkat sesumbar program nuklirnya, Kim bisa meraih dukungan di dalam negeri. Ia sekaligus membingungkan AS dan negara-negara sekutunya karena tidak ada yang tahu pasti seberapa besar kekuatan yang dimiliki Korut. Meski ditekan sanksi dari komunitas internasional dan diterjang pandemi Covid-19, program pengembangan nuklir tetap berjalan. ”Senjata nuklir itu seperti tongkat sihir bagi Korea Utara. Mereka salah satu negara termiskin di dunia, tetapi mengendalikan hubungan dengan Korea Selatan karena memiliki nuklir. Kalau bukan karena bom nuklir, tidak mungkin Korut akan duduk bicara dengan AS,” kata mantan Kepala Institut Korea untuk Persatuan Nasional Kim Taewoo.
Pada akhir 2011, Kim pernah diragukan tak akan bisa bertahan lama memimpin Korut. Bahkan, Kim diduga justru akan mendorong reformasi ekonomi dan perlucutan nuklir karena ia pernah sekolah di Swiss. Ada juga sebagian kalangan yang menduga Kim hanya akan menjadi ”boneka” bagi rezim Korut dan tunduk saja pada pejabat-pejabat sesepuh yang sudah berkuasa sejak era Kim Jong Il. Tidak sedikit juga yang menduga Korut akan bubar gara-gara gejolak politik. Akan tetapi, semua dugaan dan perkiraan itu ternyata luput.
Kim malah menjadi pemimpin yang keras dan kejam karena diduga terlibat dalam pembunuhan tingkat tinggi dan melenyapkan orang-orang yang berpotensi menyainginya. Ia kemudian membentuk kekuasaan absolut seperti pada masa mendiang ayahnya dan kakeknya, Kim Il Sung. Ada laporan tahun 2016 dari lembaga kajian Badan Intelijen Korsel yang menyebutkan Kim mengeksekusi atau melenyapkan sekitar 340 orang selama 5 tahun awal kepemimpinannya. Di antaranya termasuk eksekusi pamannya, Jang Song Thaek, pada tahun 2013 dan Panglima Militer Ri Yong Ho tahun 2012. Padahal, keduanya justru sesepuh yang membantu Kim naik ke tampuk kekuasaan.
Kim juga tidak lagi menggunakan kebijakan mengutamakan militer yang selama ini menjadi ciri khas ayahnya. Ia memulihkan peran partai berkuasa, Partai Pekerja, yang selama ini mengendalikan militer. Pada tahun-tahun awal kepemimpinan, Kim memulai upaya menumbuhkan perekonomian, tetapi usahanya terganjal pandemi Covid-19. Dari segala perubahan yang dilakukannya, hanya urusan nuklir yang tidak berubah. Selama Kim memimpin, Korut sudah empat kali uji nuklir dan tiga tes rudal balistik antarbenua.
Pakar militer di Hannam University Korsel, Yang Wook, menilai, program nuklir Kim sepertinya membungkam para sesepuh di jajaran militer yang tidak puas dengan upaya melemahkan pengaruh politik mereka. Pada akhir 2017, Kim mengklaim berhasil membuat rudal nuklir yang bisa mencapai wilayah AS. Pada tahun 2018-2019, Kim bertemu Presiden AS Donald Trump terkait dengan diplomasi nuklir. Itu pertemuan tingkat tinggi pertama di antara kedua negara. Pada saat yang sama, Kim juga bertemu Presiden Korsel Moon Jae-in dan Presiden China Xi Jinping.
”Nuklir terbukti mendorong posisi tawar dan diplomasi Kim di luar negeri. Nuklir juga menjadi alat propaganda yang sukses di dalam negeri untuk melegitimasi kekuasaannya dan citranya sebagai pemimpin tertinggi yang berhasil membangun negara berkekuatan nuklir,” kata Kim Taewoo.
Namun, diplomasi internasional Kim gagal tahun 2019 ketika ia tak berhasil meyakinkan Trump untuk melonggarkan sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait dengan uji persenjataan Korut pada 2016-2017. Sejak itu Kim sering mengancam menambah simpanan nuklirnya dan membuat persenjataan teknologi tinggi yang bisa menyerang AS dan sekutunya. Kim melanjutkan ambisi nuklir Korut yang dimulai sejak 1950-an ketika Kim Il Sung mendirikan institut penelitian atom dan bekerja sama dengan Uni Soviet untuk pelatihan nuklir. Program itu kemudian dilanjutkan oleh Kim Jong Il.
Program pengembangan persenjataan nuklir semasa Kim, menurut pengamat di Institut Korea untuk Isu Militer, Kim Yeol Soo, kian agresif karena sebagai anak muda, ada keinginan untuk memamerkan kekuatannya. ”Dia seperti mau bilang jangan anggap saya remeh hanya karena usia saya masih muda,” ujarnya.
Ketua Forum Studi Pertahanan Korea, Jung Chang Wook, juga tidak yakin Kim akan mau meninggalkan program nuklirnya karena nuklir itu menjadi inti dari kekuatan keluarganya. Tidak peduli sesulit apa pun kondisi negaranya dan semenderita apa pun rakyatnya, nuklir akan tetap diutamakan. ”Tanpa nuklir, keluarganya akan kehilangan kekuasaan. Jadi, Kim tidak bisa menyerah begitu saja,” ujarnya.
Untuk meringankan penderitaan Korut akibat sanksi-sanksi dari PBB, China dan Rusia kerap memberikan bantuan finansial bagi Korut. Selama masa pandemi, Kim tiarap tak muncul ke publik dan kerap meminta rakyat setia kepadanya. Pada Oktober lalu, Korsel menyebutkan, Korut tengah mendorong kampanye ideologi ”Kimjongunisme”. Ini pernah dilakukan baik oleh ayah maupun kakeknya. Kim juga memerintahkan semua foto pemimpin Korut sebelumnya dicopot dari tempat-tempat umum.
”Kim Jong Un tampak sedang berusaha mencari ciri khasnya sendiri sehingga mulai menyoroti apa-apa saja yang menunjukkan era kekuasaan Kim Jong Un,” kata Seo Yu-Seok, pengamat di Institut Studi Korut di Seoul, Korsel. (AP)