Pfizer-BioNTech Jadi Pemasok Vaksin Covid-19 Nomor Satu untuk Covax
Gara-gara produksi vaksin Covid-19 dari AstraZeneca terhambat, Pfizer menjadi pemasok utama vaksin untuk Covax. Masalahnya, vaksin dari Pfizer membutuhkan sarana dan prasarana yang mahal.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BRUSSELS, RABU — Perusahaan farmasi Pfizer-BioNTech menjadi pemasok vaksin Covid-19 nomor satu di Covax, skema pengadaan vaksin untuk negara-negara miskin dan berkembang yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa. Fakta ini mengundang pertanyaan mengenai kemampuan Covax mencapai target vaksinasi global karena vaksin Covid-19 keluaran Pfizer-BioNTech memerlukan sarana dan prasarana tambahan yang tidak dimiliki negara-negara berkembang dan miskin.
Masuknya Pfizer sebagai penyedia vaksin nomor satu untuk Covax bukan karena mereka meningkatkan produksi, melainkan karena tersendatnya produksi vaksin Covid-19 merek AstraZeneca. Serum Institute of India (SII) dan Siam Bioscience di Thailand yang menjadi produsen vaksin AstraZeneca terbesar di luar Eropa terkendala dalam produksi. Apalagi, India beberapa bulan terakhir ini fokus menggunakan AstraZeneca buatan SII untuk menangani pandemi di dalam negeri.
Akibatnya, Covax hanya bisa mengandalkan vaksin dari sumbangan negara-negara maju. Uni Eropa dan Amerika Serikat mayoritas menggunakan vaksin Pfizer sehingga wajar jika vaksin jenis ini menjadi yang terbanyak masuk ke Covax untuk saat ini. Sebagai gambaran, perkiraan stok vaksin Covax untuk tahun 2022 adalah 470 juta dosis Pfizer dan 350 juta dosis AstraZeneca. Periode Januari-Maret 2022, Covax menurut rencana membagikan 150 juta dosis Pfizer.
AstraZeneca menjadi pilihan bagi Covax karena vaksin Covid-19 merek ini terhitung mudah disebar dan dipakai. Data per November 2021, Covax telah membagikan 693 juta dosis vaksin ke 150 negara. Sebanyak 220 juta dosis adalah AstraZeneca dan 160 juta dosis dari Pfizer. Sisanya adalah vaksin merek lain seperti Moderna, Johnson and Johnson, Sinovac, dan Sinopharm.
Direktur Pengelola Covax Aurelia Nguyen, dikutip surat kabar SouthChina Morning Post, mengemukakan, kesetaraan akses vaksin Covid-19 masih menjadi masalah nomor satu. Covax sejatinya menargetkan bisa menyebar 2 miliar dosis vaksin Covid-19 pada akhir Desember 2021. Kenyataannya, baru 693 juta dosis yang disalurkan.
”Nasionalisme vaksin adalah momok penanganan pandemi. Pada 2020, negara-negara kaya memesan vaksin paling awal sehingga kuota untuk Covax baru diberikan paling akhir. Sekarang, dengan adanya galur Omicron, kami mencemaskan nasionalisme vaksin kembali terjadi apabila negara kaya menumpuk vaksin demi memberi suntikan dosis penguat, padahal negara-negara miskin kesulitan memperoleh dosis pertama,” papar Nguyen.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, hingga November lalu, sebanyak 80 persen vaksin global masuk ke negara-negara anggota 20 ekonomi terbesar dunia atau G-20. Apabila dilihat lebih cermat, 40 persen vaksin global masuk ke negara-negara kaya. Sebaliknya, negara-negara miskin secara keseluruhan baru memperoleh 0,6 persen jatah vaksin global.
”WHO meminta Covax menurunkan target dari 2 miliar dosis pada akhir tahun 2021 menjadi 800 juta dosis. Ini pun tidak bisa dijamin dapat terpenuhi. Kami memperkirakan baru pada awal tahun 2022 target 800 juta dosis ini tercapai,” kata Direktur Vaksin WHO Kate O’Brien kepada harian Washington Post.
Kini, target itu semakin disangsikan oleh berbagai pihak karena vaksin Covid-19 merek Pfizer-BioNTech repot untuk diaplikasikan. Vaksin ini harus disimpan di kulkas ultradingin. Berdasarkan petunjuk dari Pfizer untuk Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), vaksin ini harus disimpan pada kisaran suhu minus 60 derajat celsius hingga minus 90 derajat celsius. Di atas suhu itu, vaksin akan rusak.
Kulkas ultradingin ini tidak dimiliki oleh negara-negara miskin. Di negara berkembang seperti Indonesia pun, kulkas jenis ini hanya ada di rumah sakit ataupun laboratorium besar dan canggih yang berada di kota-kota besar. Praktis vaksin ini akan sulit untuk dibawa ke wilayah pinggiran yang capaian vaksinasinya masih rendah.
Permasalahan kedua, vaksin Pfizer hanya bisa diberikan dengan alat suntik khusus. Alat ini merupakan suntikan yang bisa dipakai berkali-kali dengan cara mengganti jarumnya. Konsistensi vaksin Pfizer tidak bisa diambil dengan memakai alat suntik sekali pakai seperti yang ada di negara-negara berkembang dan miskin.
Ketiga, apabila ketersediaan vaksin Covax bergantung pada sumbangan negara-negara maju, dikhawatirkan vaksin itu telanjur kedaluwarsa sebelum bisa dikirim ke negara penerima. Hal ini karena WHO menemukan bahwa 70 persen vaksin sumbangan dari negara maju sudah mendekati tenggat kedaluwarsa antara satu dan tiga bulan.
”Covax pun harus lebih transparan dalam merujuk pasokan vaksin mereka. Tetapkan batas usia vaksin yang disumbangkan agar negara-negara maju tidak bisa seenaknya ’membuang’ vaksin sisa mereka ke Covax,” kata James Krellenstein, pendiri PrEP4ALL, organisasi kesetaraan layanan kesehatan global, kepada harian Seattle Times. (REUTERS)