Sebagai kolega lama, Rusia memandang Indonesia sebagai aktor tradisional dan motor penggerak di kawasan. Rusia juga berencana meningkatkan status hubungan kedua negara menjadi mitra strategis.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Hubungan diplomatik Indonesia-Rusia, yang dulu bernama Uni Soviet, telah berlangsung lebih dari 70 tahun. Seharusnya, di tahun lalu, ada perayaan untuk memperingatinya. Namun, karena situasi pandemi, rencana itu ditunda dan diundur hingga tahun depan.
Duta Besar Republik Federasi Rusia Lyudmila Vorobieva, dalam wawancara dengan Kompas, Rabu (8/12/2021), mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin berencana berkunjung ke Indonesia tahun lalu untuk memeringati hubungan diplomatik yang baik antara kedua negara. Akan tetapi, rencana itu ditunda karena situasi pandemi tidak memungkinkan.
Menurut Vorobieva, Presiden Putin akan berkunjung ke Indonesia tahun depan. Selain karena Presidensi G-20 Indonesia sepanjang tahun 2022 mendatang, Rusia juga berencana meningkatkan status hubungan kedua negara menjadi mitra strategis. Dalam pandangan Rusia, kedua negara memiliki banyak kesamaan sikap dalam berbagai isu global, mulai dari kerja sama ekonomi, sikap di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga isu regional-kawasan, yang saat ini sedang menghangat dan dinamis.
Pertemuan Presiden Putin dan Presiden Joko Widodo di Sochi, Agustus 2016, memberikan peluang bagi Indonesia untuk memasarkan produk-produknya ke Negara Beruang Merah itu. Pada saat itu, kedua pemimpin negara berjanji untuk secara bertahap meningkatkan nilai perdagangan kedua negara yang sudah mencapai sekitar 2 miliar dollar AS.
Dubes Vorobieva mengatakan, kedua pemimpin sepakat nilai perdagangan kedua negara bisa meningkat menjadi sekitar 5 miliar dollar AS dalam beberapa tahun mendatang. Namun, di masa pandemi, ketika semua bisnis kolaps, hubungan perdagangan kedua negara yang masih bisa meningkat 30 persen adalah hal luar biasa. ”Pada akhir tahun 2021, nilai total perdagangan Rusia-Indonesia bisa mencapai 3 miliar dollar AS,” kata Vorobieva.
Dengan nilai ekspor Indonesia ke Rusia yang lebih besar, menurut Vorobieva, bisa dibaca sebagai keterbukaan pasar Rusia untuk berbagai macam produk asal Indonesia, termasuk kelapa sawit. ”Kami tidak menerapkan pembatasan atau pelarangan apa pun untuk produk sawit Indonesia,” kata Vorobieva.
Pasar Eropa timur, khususnya Eurasia, terbuka untuk produk Indonesia. Jumlah penduduk kedua negara lebih dari 400 juta. Ditambah dengan penduduk Eurasia, yang terdiri dari Armenia, Belarusia, Kazakhstan, dan Kirgistan, pasar ini menjadi tantangan bagi para pengusaha Indonesia.
Hingga saat ini, kata Vorobieva, pembahasan perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Indonesia dan Eurasia Economic Union (EAEU) masih berjalan. Diharapkan perundingan itu bisa selesai dalam waktu dekat sehingga Indonesia bisa menyusul negara tetangga yang lebih dulu memiliki perjanjian EAEU, di antaranya Singapura dan Vietnam. China dan India juga berminat melakukan langkah yang sama seperti yang tengah digarap Indonesia.
Rusia masih terus menjajaki kerja sama pada sektor lain di luar ekonomi dan perdagangan, seperti energi baru terbarukan. Rusia membuka pintu bagi Pemerintah Indonesia jika ingin mempelajari lebih lanjut pengembangan dan penggunaan teknologi nuklir dari negaranya. Meski Rusia memiliki cadangan minyak dan gas sebagai sumber energi, menurut Vorobieva, 20 persen kebutuhan energi Rusia berasal dari energi nuklir.
Rusia saat ini menjalin kerja sama dengan 12 negara guna mengembangkan nuklir untuk tujuan damai, terutama energi. ”Kalau Indonesia memutuskan untuk menggunakan nuklir sebagai sumber energi, Rusia siap membantu,” katanya.
Sentralitas ASEAN
Sebagai kolega lama, Rusia memandang Indonesia sebagai aktor tradisional dan motor penggerak di kawasan. Kedua negara memiliki pemahaman yang sama dan menukung konsep Indo-Pasific Outlook yang digagas oleh Indonesia. Rusia memandang, prinsip inklusivitas tidak boleh dikorbankan, terutama ketika kebijakan kelompok lain mengorbankan kenyamanan dan keamanan negara-negara di kawasan.
Dalam pandangan Rusia, inilah yang tidak tergambar ketika negara-negara lain berseteru di kawasan yang sejatinya bukan ”rumah atau halaman” mereka. Aliansi baru yang bermunculan dan mengatasnamakan kepentingan kawasan, aliansi ekslusif dan tertutup dalam pandangan Rusia, bisa menyebabkan kawasan rentan konflik dan ketidakstabilan. Hal ini harus dihindari.
”Saat klub eksklusif ini hadir, membuat kita terpisah. Ini adalah sebuah garis pemisah di kawasan,” kata Vorobieva. Aliansi-aliansi baru ini adalah minilateralisme, dibandingkan dengan multilateralisme yang mengutamakan kerja sama, termasuk dalam penyelesaian konflik sekalipun.