Membebaskan Indonesia-Rusia dari Belenggu Narasi Hollywood
Tahun ini genap 71 tahun usia hubungan diplomatik Indonesia-Rusia. Kedua negara menyimpan sejumlah peluang kerja sama. Minimnya informasi dan salah persepsi menjadi salah satu tantangan.
Konsepsi tentang Uni Soviet atau Rusia yang jahat banyak diproduksi film-film Hollywood. Tidak hanya pada era Perang Dingin, tradisi ini masih terus berlangsung sampai hari ini.
Dan sadar atau tidak sadar, narasi melalui film sebagai platform budaya populer ini ikut membentuk persepsi dunia tentang Rusia. Ini diperkuat dengan narasi yang dilancarkan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, termasuk media-media Barat, tentang Rusia yang selalu antagonis.
Dalam hubungan internasional, sudah barang tentu ini merugikan Rusia. Namun negara-negara mitra yang terjebak dalam persepsi itu pun sebenarnya juga rugi karena menghambat peluang bekerja sama pada tingkat yang optimal. Situasi ini berlaku juga untuk Indonesia.
”Kita masih enggan. Kita melihatnya ke Barat melulu. Ini masih terus terjadi. Dan kita masih melihat Rusia dengan kacamata lama, tentang komunisme, misalnya. Padahal Rusia sendiri tidak tertarik dengan komunisme. Ada persepsi yang belum berubah terhadap Rusia,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Rusia dan Belarus, Jose Antonio Morato Tavares, dalam bincang-bincang secara daring dengan harian Kompas, Jumat (6/8/2021).
Persepsi menjadi salah satu yang ditekankan Jose karena hal itu memengaruhi pengambilan kebijakan. Ini tidak saja relevan untuk pemerintah berikut birokrat tetapi juga masyarakat dan dunia usaha. Dan dalam hubungan Indonesia-Rusia, ia menengarai persoalan persepsi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan belum maksimalnya hubungan Indonesia-Rusia.
Soal kemajuan teknologi, misalnya, menurut Jose, masyarakat Indonesia masih sangat berkiblat ke dunia Barat saja. Padahal Rusia dan sejumlah negara lain juga mencatatkan sejumlah kemajuan yang tidak kalah. Bahkan untuk beberapa hal, lebih unggul. Demikian pula dengan bidang-bidang lainnya.
Garis bawahnya adalah bahwa Indonesia jangan sampai membatasi peluang-peluang kerja sama baru dalam kerangka mutualisme yang optimal. Kerja sama luar negeri yang hanya bergantung pada satu atau beberapa negara saja akan menyulitkan, bahkan membahayakan Indonesia.
Semakin variatif bentuk dan mitra kerja samanya, semakin stabil pula posisi Indonesia di tatanan global. Pola ini sekaligus makin mengamankan kepentingan Indonesia berikut seluruh pemangku kepentingan di dalam negeri, terutama rakyat.
Selain melihat Rusia secara obyektif, Jose melanjutkan, usaha untuk meningkatkan hubungan kerja sama Indonesia-Rusia terus diupayakan melalui sejumlah skema konkret. Usia hubungan diplomatik Indonesia-Rusia yang genap 70 tahun pada 2020 menjadi momentum tepat untuk mewujudkannya.
Pembicaraan dan perundingan kerja sama di sejumlah bidang telah dan tengah dilakukan. Misalnya adalah kerja sama bilateral di bidang keamanan siber yang perundingannya telah selesai. Kedua negara juga telah merampungkan perundingan naskah perjanjian ekstradisi.
Awalnya, kerja sama di kedua bidang tersebut diharapkan dapat ditandatangani pada saat kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Jakarta tahun ini. Namun akibat situasi Covid-19, belum ada lagi kejelasan tentang rencana ini.
Di bidang militer dan pertahanan, Rusia menawarkan kerja sama pendidikan militer melalui pengiriman personel TNI untuk sekolah di Rusia dan peningkatan keikutsertaan TNI dalam latihan bersama dengan Rusia. Rusia juga menawarkan pengadaan sekaligus pemutakhiran persenjataan buatan Rusia yang saat ini sudah dioperasikan oleh TNI, seperti pesawat tempur Su-27, Sukhoi 30, tank marinir BMP-3, tank BT-3F, serta helikopter AD Mi-17 dan Mi-35.
Sementara di bidang ekonomi, kedua negara masih punya ruang untuk meningkatkan kerjasama. Sejauh ini, realisasi kerjasama ekonomi masih di bawah potensi.
Dalam G-20 atau kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, Rusia berada di urutan ke-11. Sementara Indonesia di urutan ke-16. Dan dalam beberapa tahun ke depan, keduanya akan terus tumbuh sehingga diperkirakan menembus 10 negara dengan PDB terbesar di dunia.
Besarnya pasar di kedua negara menjadi insentif. Penduduk Indonesia berjumlah 276,7 juta jiwa. Penduduk Rusia berjumlah 146 juta jiwa. Adapun potensi pasar Eurasian Economic Union (EAEU) mencapai 180 juta populasi. EAEU terdiri dari Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kirgistan, dan Rusia.
Perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA) EAEU tengah berlangsung. Beberapa negara Asia Tenggara sudah lebih dulu menjalin kerja sama, yakni Vietnam di 2016 dan Singapura di 2019. China dan India juga tengah menegosiasikan kerja sama FTA EAEU.
Kesehatan dan farmasi juga potensial dikembangkan. Indonesia dan Rusia tengah membahas payung dan peta jalan kerja sama kesehatan Indonesia-Rusia. Menurut rencana, hal ini dituangkan dalam nota kesepahaman tentang kerja sama kesehatan.
Industri farmasi Rusia, menurut Jose, merupakan salah satu industri unggulan negara tersebut. Ini antara lain berkat subsidi pemerintah sehingga industri menjadi modern, memenuhi standar internasional, dan mengarah kepada kemandirian. Bahkan Rusia telah mengekspor produknya ke berbagai negara.
Perkembangan industri farmasi Rusia juga sangat dipengaruhi oleh dukungan terhadap pusat-pusat penelitian. Terkait pandemi Covid-19, empat vaksin telah dikembangkan, yakni Sputnik V, Epivaccorona, coviVac, dan Sputnik Light. Indonesia dan Rusia telah melakukan pembahasan kerja sama pengadaan vaksin Sputnik V. Saat ini, tahapnya masuk dalam proses pemberian izin edar darurat oleh BPOM RI.
Ada pula peluang kerja sama industri halal. Menurut Jose, potensi kerja sama di bidang ini cukup menjanjikan. Saat ini, terdapat 25 juta jiwa penduduk Muslim di Rusia atau 17 persen dari total penduduk negara itu. Berdasarkan data Tatarstan Halal Standard Committee, permintaan produk halal tumbuh 30-40 persen per tahun.
Pada 17 Maret 2021, telah terjadi pertemuan virtual antara pejabat Kementerian Agama Republik Indonesia dan pimpinan Pusat Halal Rusia membahas rencana kerja sama halal. Indonesia juga berpartisipasi pada Kazan Summit dan Rusia Halal Expo 2021 di Kazan, 28-30 Juli 2021. Ini merupakan salah satu upaya membuka akses pasar produk halal Indonesia di Rusia.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Gilang Kembara, Jakarta, Senin (9/8/2021), berpendapat, kerja sama Indonesia dan Rusia tidak mudah. Tantangannya antara lain adalah banyak komoditas tidak komplementer. Selain itu, rantai pasok secara global sulit. Ini disebabkan Rusia belum memiliki koridor ekonomi ke Indonesia guna menjamin distribusi barang cepat dan lancar.
”Eurasian Economic Union bisa menjadi peluang baru. Yang penting Indonesia menyiapkan kapasitas produksi dan jaminan kualitas,” katanya.
Saat ini, kerja sama ekonomi Indonesia-Rusia masih tergolong kecil. Di bidang perdagangan, Rusia tidak termasuk 10 negara mitra terbesar Indonesia. Volume perdagangan kedua negara dalam 5 tahun terakhir rata-rata 2,3 miliar dollar AS.
Dari Indonesia, komoditas ekspor utamanya antara lain minyak kelapa sawit mentah berikut produk turunannya, kopra, karet alam, dan mentega kakao. Dari Rusia, komoditas ekspor utamanya ialah besi dan baja setengah jadi, batubara, serta pupuk nonorganik atau kimia.
Di bidang investasi, penanaman modal asing asal Rusia di Indonesia berada di urutan ke-37 dari 126 negara. Nilainya naik-turun dalam beberapa tahun terakhir. Di 2020, nilainya 4,6 juta dollar AS di 202 proyek.
Sektor tujuan investasi Rusia adalah industri farmasi dan kimia, hotel dan restoran, serta industri metal dan peralatannya. Lokasinya tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sementara investasi Indonesia ke Rusia, berdasarkan data Rosstat, senilai 278.000 dollar AS pada 2018. Namun pada 2019, nilai investasi tercatat negatif.
Sementara di bidang pariwisata, catatannya lumayan. Dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, Rusia menjadi salah satu negara yang mengirimkan lebih dari 100.000 wisatawannya per tahun ke Indonesia dalam lima tahun terakhir. Di 2019, jumlahnya 110.000 orang. Salah satu kendala ialah nihilnya penerbangan langsung Moskwa-Jakarta.
Jakarta-Moskwa berjarak 9.310 kilometer. Ada masa ketika hubungan diplomatik dua sahabat lama ini dekat. Ada masa pula ketika hubungannya terasa jauh. Kini saat usia hubungan diplomatik telah menapak tahun ke-71, waktunya bagi dua sahabat lama menuliskan cerita tentang hari-hari baru dan kemungkinan-kemungkinan baru. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)