Aliansi Eksklusif Picu Instabilitas dan Keterbelahan Kawasan
Aliansi eksklusif seperti AUKUS dan QUAD cenderung menafikan keberadaan dan kepentingan negara-negara kawasan Indo-Pasifik. Ini membawa instabilitas dan keterbelahan di antara negara-negara dalam kawasan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa aliansi baru yang terdiri dari sedikit negara dan bersifat eksklusif berisiko membawa instabilitas dan keterbelahan di kawasan Indo-Pasifik. Ironisnya, kepentingan dan suara negara-negara di kawasan justru tidak terwakili.
Pandangan itu disampaikan Duta Besar Republik Federasi Rusia Lyudmila Vorobieva dalam wawancara eksklusif dengan Harian Kompas di Jakarta, Rabu (8/12/2021). Adapun aliansi baru yang dimaksud merujuk pada AUKUS dan QUAD.
AUKUS merupakan kependekan dari Australia, United Kingdom, dan United States. Ini merupakan aliansi militer ketiga negara tersebut, terutama dalam kepentingannya di kawasan Indo-Pasifik. Pendirian AUKUS diumumkan per 15 September 2021 di tengah memburuknya hubungan diplomatik Amerika Serikat (AS) dan Australia dengan China. Salah satu kesepakatan AUKUS adalah pasokan kapal selam bertenaga nuklir dari AS kepada Australia.
Sementara QUAD yang kembali aktif saat AS dipimpin oleh Donald Trump, beranggotakan India, AS, Australia, dan Jepang. Aliansi ini juga diarahkan untuk kerja sama militer dibandingkan dengan kerja sama nonmiliter. Secara bertahap, keempat negara itu melakukan latihan perang bersama di wilayah teritorialnya, terutama di wilayah India, Jepang, dan Australia.
Substansi dari AUKUS ataupun QUAD sejatinya adalah usaha AS menggandeng negara-negara mitranya untuk membendung China di Indo-Pasifik. India dan Jepang memiliki masalah sengketa perbatasan dengan China. Sementara tahun ini, hubungan diplomatik dan perdagangan Australia dan China berada pada titik terendah menyusul sejumlah beda pandangan.
Vorobieva mengatakan, Pemerintah Rusia tidak terlalu gembira dengan kemunculan AUKUS dan QUAD. Pemerintah Rusia berpandangan, semua negara di kawasan harus dihormati kepentingan dan keinginannya.
Negara di kawasan juga berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait situasi kawasan. Apalagi jika itu berhubungan dengan usaha meredakan ketegangan di kawasan mereka sendiri. ”Kehadiran klub eksklusif ini membuat kawasan terbelah. Ini adalah sebuah garis pemisah di kawasan,” kata Vorobieva yang menyebut AUKUS dan QUAD sebagai minilateralisme.
Terkait kepemilikan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia, Vorobieva berpendapat, hal itu berpotensi memicu instabilitas kawasan. Alasannya, kepemilikan kapal selam bertenaga nuklir adalah pintu masuk untuk kepemilikan teknologi nuklir lainnya, termasuk senjata nuklir. Ini akan menggangu rezim non-proliferasi yang selama ini dianut kawasan.
”Bagaimana rezim non-proliferasi bisa bekerja dan menjamin kestabilan kawasan jika kapal selam bertenaga nuklir ada di kawasan? Saya kira hal itu tidak logis,” katanya.
Vorobieva berpandangan, keamanan dan kenyamanan satu atau sekelompok negara tidak boleh mengorbankan keamanan negara atau kelompok negara lainnya. Untuk itu, prinsip inklusivitas dalam pembuatan kebijakan yang terkait kawasan Asia-Pasifik harus dijalankan.
”Semua negara di kawasan harus dilibatkan berdasarkan hukum internasional,” katanya. Konsep Indo-Pasific Outlook yang digagas oleh Indonesia, menurut Vorobieva, adalah skema kerja sama yang merujuk pada prinsip-prinsip transparansi, stabilitas, inklusivitas, dan perdamaian di kawasan. ”Kami siap bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk menjaga stabilitas di kawasan,” kata Vorobieva.
Pemerintah Rusia, Vorobieva menekankan, mendukung konsep tersebut. Sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia dan Rusia akan menggelar pertemuan konsultasi untuk membahas lebih dalam soal kerja sama strategis, pekan depan.
Sementara itu, situasi di Indo-Pasifik masih terus bergejolak. Sehari setelah menyatakan akan meningkatkan postur pertahanannya serta membuka kemungkinan membeli persenjataan dengan daya hancur yang lebih besar, Jepang melaksanakan latihan militer di Hokkaido. Latihan yang dimulai pada Selasa (7/12/2021) itu akan berlangsung hingga 14 Desember 2021. Sebanyak 1.300 anggota Pasukan Bela Diri Darat Jepang dan artileri berat terlibat.
Menurut pernyataan Angkatan Bersenjata Jepang di wilayah utara, latihan perang ini difokuskan untuk melatih kecepatan dan akurasi menembak target yang muncul dalam jarak 300 meter hingga 3 kilometer selama 15 menit. Latihan dilaksanakan ketika China dan Rusia meningkatkan kerja sama militernya selama beberapa tahun terakhir, terutama untuk menyaingi kerja sama yang dipimpin AS di kawasan itu.
Kekhawatiran terbesar Jepang saat ini adalah peningkatan aktivitas Angkatan Laut China, tidak jauh dari wilayah teritorialnya. Sebagai respons, Tokyo meningkatkan penempatan pasukan dan pertahanan rudal di seluruh Jepang selatan, termasuk pulau-pulau terpencil, terutama karena klaim China atas Pulau Senkaku.
Gejolak di kawasan semakin intens dengan adanya aksi boikot Olimpiade Musim Dingin dan Paralimpiade Musim Dingin 2022 di China. AS, sebagai inisiatornya, memutuskan tidak mengirimkan kontingen nasionalnya. Kebijakan ini lantas diikuti oleh Australia.
”Saya tidak melakukannya karena kepentingan nasional Australia. Itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison, dikutip dari laman BBC. Alasannya, antara lain, China melanggar hak asasi manusia (HAM) warga Uighur Xinjiang.
Pemerintah Kanada dan Jepang juga menyatakan keprihatinannya terhadap pelanggaran HAM di Xinjiang. Namun, keduanya belum memutuskan apakah juga akan memboikot kegiatan itu atau tidak. Pemerintah Selandia Baru memutuskan tidak akan berpartisipasi pada Olimpiade musim dingin kali ini karena alasan kesehatan. (AP/MHD)