Industri Penerbangan, antara Memberi Infus atau Menutup Buku
Intervensi pemerintah untuk membantu maskapai nasionalnya, terutama maskapai yang diakui sebagai maskapai negara pembawa bendera negara (”national flag carrier)”, beberapa kali terjadi di Asia Tenggara.
Sejak empat dekade terakhir, setidaknya lebih dari 150 maskapai dunia harus tutup buku. Di Amerika Serikat, lebih dari 100 maskapai yang mengajukan kebangkrutan. Dua maskapai yang memiliki nama, seperti Continental dan Trans World Airlines (TWA), mengumumkan bangkrut tidak hanya sekali. Satu nama terakhir, TWA, tiga kali mengumumkan bangkrut, yaitu tahun 1991, 1992, dan 2001. Setelah itu, tutup buku, hilang dari peredaran untuk selamanya.
Industri penerbangan adalah salah satu industri yang rentan terhadap situasi pasar. Ongkos besar di beberapa hal, mulai dari tenaga kerja, pembelian, hingga perawatan pesawat sering kali tidak dibarengi pemasukan yang memadai. Fluktuasi harga minyak, bahan bakar jet, biaya tetap dan variabel yang tinggi yang bergantung pada harga pasar adalah alasan utama mengapa industri ini dianggap sangat fluktuatif.
Di Asia dan Asia Tenggara, gairah untuk menjelajah menggunakan pesawat udara dalam beberapa tahun terakhir sangat tinggi, melebihi transportasi darat dan laut. Bahkan, gairah ini mendorong maskapai di Asia dan Asia Tenggara memperbaiki manajemen dan pelayanannya. Tak pelak, lima tahun terakhir, maskapai dari kawasan ini mendominasi penghargaan sebagai maskapai terbaik.
Sebut saja Singapore Airlines, maskapai terbaik dunia 2018. Berturut-turut Qatar Airways, ANA (Jepang), Emirates, EVA Air, Cathay Pacific, Lufthansa, Hainan Airlines, Garuda Indonesia, dan Thai Airways.
Tapi, meski begitu, bukan berarti dari sisi keuangan, maskapai-maskapai ini berada pada grade tertinggi. Data Center for Aviation tahun 2019 menyebut, semua industri penerbangan di Asia Tenggara berkinerja buruk pada 2017.
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan yang luar biasa telak bagi industri penerbangan. Meski harga bahan bakar relatif terjangkau, pembatasan gerak warga dan penutupan perbatasan untuk mencegah penularan virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19 memaksa manajemen untuk mengandangkan lebih dari 80 persen armadanya.
Baca juga:
Menurut data Cirium, dikutip dari laman CNBC, pada 2020, sebanyak 43 maskapai gagal beroperasi lalu menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya. Dampaknya, 485 pesawat milik perusahaan-perusahan itu mangkrak.
IATA memperkirakan setidaknya dibutuhkan dana sekitar 77 miliar dollar Amerika Serikat guna membantu perusahaan penerbangan untuk tetap beroperasi. Namun, IATA juga mewanti-wanti soal potensi kerugian 5-6 miliar dollar per bulan jika pemulihan pascapandemi berjalan sangat lambat.
IATA memperkirakan, industri penerbangan baru pulih setidaknya dengan level seperti tahun 2019, tiga tahun lagi, tahun 2024. Dengan catatan, pemulihan berjalan lancar.
”Tanpa intervensi pemerintah, kita akan melihat lebih banyak maskapai bangkrut,” kata Brendan Sobie, analis pada perusahaan Sobie Aviation.
Pengalaman di Asia Tenggara
Intervensi pemerintah untuk membantu maskapai nasionalnya, terutama maskapai pembawa bendera negara (national flag carrier), beberapa kali terjadi di Asia Tenggara. Malaysia Airlines, misalnya, pernah mendapatkan suntikan dana segar dari pemerintah.
Dua bencana yang terjadi hanya berselang lima bulan pada 2014, membuat perusahaan maskapai pelat merah ini terguncang. Pertama adalah hilangnya pesawat MH-370 milik Malaysia Airlines yang sedang terbang dari Kuala Lumpur menuju Beijing, China, pada Maret 2014 dan masih menjadi misteri, jadi guncangan pertama.
Selang sekitar empat bulan kemudian, pada Juli 2014, pesawat MH-17 yang sedang terbang dari Kuala Lumpur menuju Amsterdam ditembak jatuh di wilayah udara Ukraina. Tidak ada penumpang yang selamat dalam dua insiden ini.
Sebelum dua insiden itu terjadi, situasi Malaysia Airline, dikutip dari Sydney Morning Herald dan Deutsch Welle, juga kurang baik. Laporan keuangan awal tahun 2014, perusahaan ini merugi sekitar 1,7 miliar ringgit atau sekitar 392 juta dollar Amerika Serikat, tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Baca juga: Pasar Penerbangan Asia Pasifik Capai 6,8 Triliun Dollar AS
Setelah insiden terjadi, saham Malaysia Airlines di bursa turun hingga 11 persen. CEO Malaysia Airlines saat itu, Ahmad Jauhari Yahya, mengatakan, kondisi keuangan MAS tidak cukup baik karena situasi pasar yang saat itu sedang lemah, tidak semata karena faktor kecelakaan MH370. Sejumlah analis memperkirakan, perusahaan ini tidak akan bisa bertahan jika situasi itu tidak segera ditangani.
Pemegang saham mayoritas MAS, Khazanah National Bhd, menyuntikkan dana total sekitar 5 miliar ringgit untuk membantu perusahaan ini bertahan. Selain itu, mereka juga merombak manajemen dan mengurangi jumlah karyawannya sebanyak 6.000 orang. Itu adalah bagian dari 12 langkah pemulihan MAS (MAS recovery plan).
Tapi, setelah empat tahun menjalani program recovery, hasilnya jauh dari harapan. Dikutip dari laman majalah The Edge Market, pada tahun fiskal 2017, maskapai ini masih rugi 812,11 juta ringgit atau meningkat 85 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Total selama tiga tahun (2015-2017), kerugian yang diderita maskapai ini mencapai 2,35 miliar ringgit.
Daniel Wong, analis pada HLIB Research, mengatakan, meski maskapai ini diakui sebagai maskapai nasional yang membawa nama Malaysia, dia meragukan apakah Khazanah masih mau untuk menyuntikkan dana segar ke dalam tubuh MAS jika perusahaan terus merugi.
Sejumlah analis lain juga mengusulkan agar perusahaan ini dilepas ke swasta agar bisa bersaing dengan maskapai penerbangan internasional lainnya atau setidaknya mencari mitra strategis untuk mengembangkan perusahaan. Tindakan itu dinilai lebih baik dibanding menutup maskapai untuk selamanya.
Namun, kepercayaan Khazanah terhadap rencana restrukturisasi maskapai masih bagus. Izham Ismail, dikutip dari The Edge Market, mengatakan, kemampuan mereka merestrukturisasi utang, terutama menghapus besaran utang senilai hingga 10 miliar ringgit dari laporan keuangan perusahaan, memberikan keyakinan tambahan pada Khazanah bahwa jalan yang diambil manajemen sudah tepat. Khazanah berniat untuk menyuntikkan dana senilai 3,8 miliar ringgit ke MAS selama lima tahun ke depan.
”Maskapai ini telah melalui berbagai proses transformasi beberapa tahun terakhir. Tapi, harus diakui, kini kembali ke situasi sebelum restrukturisasi karena ada inefisiensi di dalam organisasi,” kata Izham.
Dia meyakini, meski dengan situasi keuangan yang belum baik, langkah yang dilakukan, terutama keberhasilan mengurangi utang, restrukturisasi maskapai ini telah berjalan pada jalur yang tepat. Dalam pandangannya, saat ini yang dibutuhkan adalah kembali normalnya situasi pasar pascapandemi.
Dikutip dari laman Flightglobal, sejumlah perusahaan penyewaan pesawat sebelumnya sempat khawatir merugi jika armada yang disewa pakai oleh MAS dikembalikan pada mereka. Tapi, melihat rencana restrukturisasi yang tetap mempertahankan sistem sewa-pakai serta suntikan dana yang memadai untuk program restrukturisasi perusahaan oleh Khazanah, membuat mereka sepakat dengan rencana tersebut.
Berbeda dengan Malaysia, Pemerintah Thailand memilih tidak memberikan dana talangan atau suntikan dana bagi Thai Airways yang mengalami kesulitan likuiditas. Dikutip dari laman Center for Aviaton, Pemerintah Thailand memilih mengirim persoalan maskapai ini ke pengadilan sebagai jalan merestrukturisasi utangnya.
Chansin Treenuchagron, pelaksana tugas CEO Thai Airways, dikutip dari laman Bangkok Post, mengatakan, Pemerintah Thailand tidak memiliki kewajiban untuk menyuntikkan dana segar, menalangi pembayaran utang maskapai kepada para kreditornya, senilai lebih dari 400 miliar baht.
Manajemen maskapai beruntung, lebih dari 50 persen kreditor menyepakati program restrukturisasi. Pada saat yang sama, Tim Pengawas Program Restrukturisasi memperlihatkan tren kerja positif selama sembilan bulan pada 2021, setelah perusahaan ini mampu membukukan laba bersih sekitar 51,1 miliar baht.
Anggota Tim Pengawas, Piyasvasti Amranand, dikutip dari laman Bangkok Post mengatakan, kinerja beberapa bulan terakhir ini tertolong dengan program penjualan aset serta pengurangan jumlah karyawan, yang dimandatkan dalam rancangan program restrukturisasi perusahaan.
Namun, menurut Amranand, keputusan pemerintah tidak menalangi utang bisa berdampak pada berkurangnya kepemilikan saham pemerintah di Thai Airways, dari semula sebagai pemilik mayoritas yang menguasai 48 persen saham menjadi hanya 8 persen saja. Sejauh ini belum ada keputusan dari Pemerintah Thailand apakah mereka akan membiarkan kepemilikan sahamnya tergerus atau sebaliknya.
Jepang
Maskapai penerbangan Jepang, JAL, satu dekade lalu, pernah mengalami hal serupa dengan Malaysia Airlines dan Thai Airways. Maskapai pembawa bendera Jepang ini tidak hanya sekali membutuhkan suntikan dana dari pemerintah. Namun, situasi yang terjadi pada 2010 adalah yang terburuk.
JAL dan dua unit usaha lain yang ada di bawah payung mereka mengajukan perlindungan kebangkrutan di pengadilan Jepang karena nilai utangnya lebih dari 25 miliar dolar AS. Bahkan, jika digabungkan, nilai utang ke tiga perusahaan mencapai 2,3 triliun yen.
Situasi itu berdampak pada harga saham JAL di bursa. Harga saham JAL menukik tajam, jatuh lebih dari 90 persen dan hanya dihargai tiga yen per lembar saham. Dengan nilai pasar hanya sekitar 150 juta dolar AS, JAL, yang pernah menjadi salah satu maskapai dengan laba terbesar di dunia, saat itu menjadi lebih kecil dari maskapai Kroasia Airlines atau Jazeera Airways. Nilai perusahaan kurang dari harga satu unit Boeing 747.
Kazuo Inamori, pendiri perusahaan elektronik Kyocera Corp, sebelum didapuk memimpin restrukturisasi JAL, mengaku dirinya sangat membenci maskapai tersebut. ”Saya sangat membenci JAL. Dia sangat arogan dan sama sekali tidak memperhatikan pelanggannya,” kata Inamori.
Pemerintah Jepang kemudian mendapuk Inamori memimpin restrukturisasi dan menempatkannya sebagai CEO JAL di masa transisi ini.
Kazuhiko Toyama, anggota Gugus Tugas Reorganisasi JAL, mengatakan, maskapai ini menghadapi masalah kronis dan manajemen yang buruk.
Gugus Tugas Reorganisasi menemukan bahwa perusahaan memiliki terlalu banyak pesawat yang boros bahan bakar, terlalu banyak personel, dan terlalu banyak rute yang sama sekali tidak mendatangkan keuntungan.
Dalam pandangan Gugus Tugas, kata Toyama, fokus JAL yang mengoperasikan pesawat berbadan lebar dinilai tidak efektif dan tidak kompetitif karena industri penerbangan pada masa itu cenderung memiliki pesawat kecil yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar.
Gugus Tugas juga menemukan organisasi JAL terlalu gemuk. Dalam penilaian Gugus Tugas, setelah merger dengan Japan Air Systems, memiliki 50.000 karyawan adalah salah satu kelemahan perusahaan ini. Menurut Gugus Tugas, JAL kelebihan beban sekitar 30 persen di sektor sumber daya manusia.
”Solusi yang pertama dan terpenting adalah penghapusan aset negatif dan praktik yang telah membawa perusahaan jatuh ke dalam jurang yang dalam. Menyelesaikan masalah harus menimbulkan rasa sakit pada semua yang terlibat, mulai dari manajemen, karyawan yang masih aktif, pensiunan, bahkan sampai politisi. Proses yang telah dimulai di pengadilan dan melibatkan uang negara harus dimanfaatkan untuk menghilangkan praktik negatif di masa lalu,” kata Toyama.
Pemerintah Jepang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan maskapai ini. Dikutip dari laman The New York Times, Pemerintah Jepang memerintahkan para diplomatnya untuk meyakinkan entitas bisnis di luar negeri bahwa situasi tersebut tidak akan mengganggu aktivitas bisnis mereka yang memilih terbang menggunakan JAL. Entitas bisnis dan warga biasa yang telah memesan penerbangan akan tetap dilayani dengan maksimal.
Restrukturisasi yang dijalankan oleh ETIC dimulai dengan merombak manajemen, yang kini diisi oleh orang-orang muda dan memangkas sekitar 16.000 karyawan menjadi tinggal sekitar 31.000 orang serta menggantikan pesawat boros bahan bakar dengan pesawat kecil yang lebih efisien, termasuk untuk penerbangan internasional. Pesawat berbadan lebar digantikan dengan 45 pesawat berbadan kecil, hemat bahan bakar, sekaligus bisa meningkatkan 25 persen kapasitas untuk rute penerbangan internasional.
Selain itu, ETIC menyuntikkan dana hampir 600 miliar yen atau sekitar 9 miliar dollar AS pada tahun 2010 serta menjembatani negosiasi ulang utang maskapai dengan para kreditor. Hasilnya, para kreditor sepakat menghapus beban utang JAL sebesar 520 miliar yen. Perusahaan juga mendapatkan keringanan pajak 4,5 miliar dollar AS selama sembilan tahun.
Restrukturisasi yang dijalankan ETIC selama dua tahun menimbulkan kepercayaan pasar terhadap perusahaan. Setelah hilang dari bursa pada akhir 2010, JAL kembali masuk bursa dua tahun berselang. Penjualan saham pemerintah, yang menguasai sekitar 96,5 persen saham JAL pada penawaran saham perdana (IPO) telah menghasilkan keuntungan sekitar 4 miliar dolar, yang seluruhnya masuk ke kas negara.
Dalam perjalanan restrukturisasinya, JAL juga mendapatkan tawaran dari dua maskapai AS, yaitu Delta dan American Airlines, senilai 1,4 miliar dollar, untuk bekerja sama dengan mereka.
Seorang analis saham mengatakan, situasi yang dihadapi JAL sering kali membuat investor sulit memercayai industri penerbangan untuk masuk dalam portofolio saham mereka. Kompetisi baru, maskapai berbiaya rendah, dan prospek yang cukup sulit membuat para calon investor menahan diri. ”Tapi, benda ini (JAL) sepertinya berharga mahal,” katanya.
Paul Sheridan, konsultan perusahaan penasihat penerbangan Ascend, mengatakan, restrukturisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang melalui ETIC telah membuat perusahaan ini terbang kembali, menjadikan JAL bersaing sebagai perusahaan penerbangan kelas atas. Hal inilah yang membuat investor, kata Sheridan, bersedia bertaruh pada prospeknya di masa depan. (Reuters)