Meski terus mengampanyekan kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, Amerika Serikat ternyata terus menerus memata-matai jurnalis. Pemerintahan Obama hingga Biden melakukan itu.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WASHINGTON, MINGGU — Pemerintah Amerika Serikat kembali terungkap memata-matai puluhan jurnalis. Padahal, Washington bolak-balik mengecam tindakan sejenis bila dilakukan negara lain. Bahkan, AS tengah berselisih dengan Israel karena dua aplikasi mata-mata buatan Israel malah dipakai untuk menyadap para jurnalis di sejumlah negara.
Dalam laporan pada Sabtu (11/12/2021) malam waktu Washington atau Minggu dini hari WIB, Associated Press dan Yahoo News mengungkap pemantauan terhadap sedikitnya 20 jurnalis. Kali ini, pelakunya adalah Divisi Penangkal Jaringan, salah satu unit di Badan Perlindungan Perbatasan dan Cukai (CBP) AS.
AP dan Yahoo News mendapatkan salinan laporan 500 halaman dari Inspektorat Jenderal Kementerian Keamanan Dalam Negeri yang membawahkan CBP. Sebagian isi halaman masih ditutupi. Meski demikian, isi laporan mengungkap sejumlah nama jurnalis yang diselidiki unit tersebut. Unit itu diketahui dibentuk untuk menyelidiki jaringan teroris.
Dalam pernyataan resminya, CBP mengaku setiap penyelidikan ada dasar hukumnya dan sesuai dengan prosedur. Walakin, tidak diungkap alasan penyelidikan terhadap 20 jurnalis itu. Karena itu, AP mendesak CBP segera memberi penjelasan lengkap. Salah satu dari 20 jurnalis itu bekerja di AP.
AP mendesak CBP segera menjelaskan penyelidikan yang menyasar salah satu jurnalisnya itu. ”Kami sangat prihatin atas penyalahgunaan kewenangan ini. Ini contoh jurnalis disasar karena melakukan tugasnya. Tindakan (memata-matai jurnalis) itu melanggar Amandemen Pertama,” kata Direktur Hubungan Media AP, Lauren Easton.
Jurnalis AP, Martha Mendoza, diselidiki unit CBP yang dibentuk untuk memeriksa jaringan teror itu. Padahal, rekam jejak Mendoza berpusat pada kerja paksa. Bahkan, ia pernah mendapat penghargaan atas laporan tentang kerja paksa dalam industri penangkapan ikan di Asia Tenggara.
Secara terpisah, juru bicara The New York Times, Danielle Rhoades-Ha, juga meminta penjelasan CBP dan DHS. Sebab, jurnalis koran yang berpusat di Manhattan itu ikut dipantau CBP. Alasan pemantauan adalah karena NYT membuat laporan berdasarkan materi yang dibocorkan sumber anonim di pemerintahan.
Berulang
Pengungkapan itu terjadi hampir enam bulan sejak Jaksa Agung AS Merrick Garland melarang penyitaan dan penyadapan terhadap jurnalis yang menggarap laporan berdasar bahan dari sumber anonim. Perintah yang dikeluarkan pada Juli 2021 itu menindaklanjuti pengungkapan penyadapan terhadap jurnalis CNN, Washington Post, dan NYT di masa pemerintahan Donald Trump.
Pada masa Trump, setidaknya dua kali terungkap penyadapan ilegal oleh aparat Pemerintah AS terhadap jurnalis. Selain dalam kasus dugaan campur tangan Rusia pada pemilu AS 2016, ada pula penyadapan terhadap jurnalis NYT atas pembocoran informasi.
Seorang agen CBP, Jeffrey Rambo, diketahui memantau pergerakan Ali Watkins yang bekerja untuk Politico lalu NYT. Berdasarkan pemantauan diam-diam itu, Rambo menyimpulkan, Watkins menjalin hubungan pribadi dengan James Wolfe yang kala itu menjadi staf ahli Komite Intelijen Senat AS.
Berbekal informasi itu, Rambo mendekati Watkins untuk mencari tahu nama narasumber yang ditutupi identitas. Rambo mengancam akan mengungkap hubungan Watkins dengan Wolfe jika tidak memberi tahu identitas narasumbernya. Rambo mengaku bekerja sama dengan Kantor Penyelidikan Federal (FBI) AS dalam penyelidikan itu.
Meski diancam Rambo, Watkins menolak mengungkap identitas narasumbernya. NYT, kala itu, mengambil tindakan yang berujung pada pemeriksaan internal DHS terhadap Rambo. Dalam pernyataan kepada AP, Rambo mengaku tidak dihukum dalam kasus Watkins.
Pengungkapan kasus Rambo rupanya tidak menghentikan DHS dari kebiasaan memata-matai jurnalis. Pengungkapan pemantauan terhadap Mendoza dan 19 jurnalis dari berbagai media AS menunjukkan AS tetap menjadikan pengawasan terhadap jurnalis sebagai salah satu kebijakan resmi.
Padahal, AS bolak-balik memprotes negara lain karena memata-matai jurnalis. Bahkan, AS bersitegang dengan Israel yang merupakan sekutu terdekatnya. Sebab, sejumlah perusahaan Israel membuat perangkat mata-mata yang malah dipakai sebagian negara untuk memata-matai jurnalis.
Pengungkapan kasus Mendoza dan Watkins juga menunjukkan AS konsisten memerangi kebocoran informasi. Bahkan, upaya itu sampai membelakangi nilai-nilai yang kerap disampaikan AS kepada negara lain atas nama promosi demokrasi.
Pada masa Barack Obama, AS pernah menyadap para jurnalis dan editor AP pada April-Mei 2012. Penyadapan itu terungkap setelah Kejaksaan Agung AS menyurati AP yang tengah menyelidiki penangkapan teroris. Dalam surat itu, Kejaksaan Agung AS mengaku punya rekaman telepon pada jurnalis dan editor yang terlibat dalam penyusunan laporan soal penangkapan teroris itu.
Persatuan Kebebasan Warga AS (ACLU) menyebut kasus itu sebagai penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah. Tindakan itu disebut mengancam demokrasi. (AP)