Apa hubungan Presidensi G-20 Indonesia dengan VOC alias Vereenigde Oost-Indische Compagnie? Secara harfiah, tak ada. Tetapi kalau diendapkan dalam, katakanlah, sejarah ekonomi politik Nusantara, barangkali ada. Lho kok?
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
Per 1 Desember 2021 hingga 31 Oktober 2022, Indonesia menyandang presidensi G-20. Tema ”Recover Together, Recover Stronger” akan dijabarkan ke dalam tiga agenda besar, yakni memperkuat arsitektur kesehatan global, memajukan transformasi digital yang inklusif, dan transisi energi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, G-20 yang mewakili lebih dari 60 persen populasi dunia dan 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia adalah platform untuk mengusung agenda global, yakni pembangunan berkelanjutan dan inklusif.
Konsep ini sejalan dengan kepentingan nasional, tetapi tak mudah dijalankan sepanjang ekonomi ekstraktif masih bercokol di Tanah Air. Dengan cirinya yang tidak berkelanjutan dan tidak inklusif, ekonomi ekstraktif menjadi musuh terdepan dan terbesar bagi pembangunan berkelanjutan dan inklusif.
Sampai hari ini, porsi ekonomi ekstraktif di Indonesia masih besar. Pada 2019, ekspor komoditas primer Indonesia mencapai 39 persen alias jauh lebih besar ketimbang Vietnam yang hanya 2,7 persen.
Adalah VOC The Godfather ekstraktivisme di Nusantara. VOC adalah badan usaha milik Kerajaan Belanda yang disebut-sebut sebagai pionir korporasi transnasional. Bercokol di Nusantara selama 196 tahun, 1602-1798, VOC adalah cetak biru ekonomi ekstraktif; mengeruk sumber daya alam (SDA) sebesar-besarnya dari Tanah Air untuk kemudian mengekspornya. Karakter eksploitatif ini ditopang jejaring kuasa politik dan sistem koruptif.
Ketika VOC resmi bubar pada 1799, lantas Indonesia merdeka per 17 Agustus 1945, ekonomi ekstraktif tidak serta-merta lenyap dari bumi pertiwi. Cetak biru ekstraktivisme itu terus hidup dan berevolusi sampai hari ini!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA pada 2018, menyebutkan, segelintir kelompok aktor (pribadi atau organisasi) melalui institusi alternatif memiliki gurita penguasaan sistem dan struktur kuasa (sosial, ekonomi, dan politik) yang kuat. Mereka mampu meraup ragam keuntungan ekonomi dan politik dengan cara-cara yang sistemik.
Peta masalah korupsi SDA dari hulu hinga hilir, masih mengutip evaluasi KPK, bukan hanya terbatas pada sistem regulasi, administrasi dan birokrasi, atau masalah institusional lainnya yang buruk dan rusak. Lebih daripada itu, korupsi di sektor SDA ditentukan oleh berbagai faktor yang bersifat struktural seperti kekuatan di luar negara.
Kekuatan ini mampu memaksa negara untuk melayani kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu. Sementara di saat yang sama, itu mengabaikan kepentingan publik dan rakyat yang lebih berhak secara konstitusional.
KPK dalam evaluasi menyoroti empat sektor, yakni hutan, perkebunan sawit, tambang, dan perikanan. Pada 2017, kontribusinya mencapai Rp 1.480,04 triliun atau 10,89 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Komposisinya berturut-turut adalah kehutanan sebesar 6,19 persen, pertambangan mineral dan batubara sebesar 43,13 persen, perkebunan/sawit sebesar 23,62 persen, dan perikanan sebesar 27,07 persen. Sumbangannya pada penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 99,91 triliun dengan rasio pajak yang amat rendah, yakni 3,87 persen.
Ekonomi ekstraktif juga menimbulkan berbagai dampak negatif lainnya. Di antaranya adalah penurunan daya dukung lingkungan hidup, terjadinya banjir dan longsor, pencemaran sungai, serta kekeringan pada sejumlah lokasi lahan-lahan pertanian. Ada pula berbagai konflik lahan dan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Berbagai kerugian ini acapkali tidak dihitung sebagai penurunan nilai tambah ekonomi SDA.
Masih dari evaluasi KPK, pengelolaan SDA juga tidak berkeadilan karena tingginya ketimpangan pemanfaatan SDA. Untuk usaha kehutanan, penguasaan perusahaan mencapai 40,46 juta hektar (ha). Sementara masyarakat hanya mengusahakan seluas 1,75 juta ha. Artinya perbandingannya 96 : 4. Untuk usaha perkebunan sawit, 10 perusahaan besar menguasai 2,54 juta ha. Sementara 2,1 juta pekebun rakyat hanya menguasai lahan seluas 4,76 juta ha.
Fenomena serupa juga terjadi pada penguasaan tambang mineral dan batubara. Sebanyak 171 Izin Pertambangan Rakyat diterbitkan dengan luas rata-rata 3,2 ha per izin dan 5.589 IUP diterbitkan dengan luas rata-rata 3.245 ha per izin.
Sementara 32 Kontrak Karya (KK) diterbitkan dengan luas rata-rata 40.753 ha per KK dan 26 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan luas rata-rata 28.575 ha per PKP2B. Usaha skala besar terus menyebabkan tekanan konversi lahan-lahan produksi bagi masyarakat desa, tercatat setidaknya 353 hektar per hari lahan pertanian hilang.
Wahana Lingkungn Hidup (Walhi) dalam Tinjauan Lingkungan Hidup 2020, menyimpulkan, ekonomi Indonesia didominasi oleh segelintir kelompok sangat kaya alias konglomerat. Kecenderungnya, para konglomerat menguasai atau memegang izin lahan dalam skala luas.
WALHI mencatat, 61,46 persen daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan migas. Ketimpangan yang sangat tinggi tersebut ditegaskan pada data rasio gini penguasaan lahan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 yang mencapai angka 0,68. Artinya 1 persen penduduk Indonesia menguasai 68 persen lahan.
Inilah sebersit wajah ekonomi ekstraktif Indonesia. Inilah tantangan presidensi G-20 Indonesia. Hanya ada dua pilihan, banting setir atau presidensi G-20 Indonesia cuma jadi platform seremonial yang melanggengkan sihir 400 tahun ekstraktivisme VOC di Nusantara. (FX LAKSANA AS)