Tanpa Pemerintahan Inklusif, Taliban Sulit Raih Pengakuan Internasional
Selama belum mendapatkan pengakuan dari dunia internasional atas pemerintahannya, Taliban dipastikan kesulitan membangun kembali Afghanistan yang porak-poranda akibat perang.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Tiga bulan setelah berkuasa, Taliban hingga kini belum juga bisa membawa Afghanistan keluar dari krisis ekonomi dan kemanusiaan. Akar masalahnya ada pada Taliban sendiri, yakni belum membentuk pemerintahan inklusif seperti yang dijanjikan. Padahal, itu syarat kunci meraih pengakuan internasional.
Pertengahan Oktober lalu, Taliban memang telah memenangi dukungan dari 10 negara kawasan dalam pembicaraan di Moskwa, Rusia, untuk membahas bantuan PBB. Seruan memobilisasi bantuan internasional untuk Afghanistan datang antara lain dari Rusia, China, India, dan Pakistan.
Namun, negara-negara belum juga memberikan pengakuan resmi kepada pemerintahan Taliban karena pemerintahan inklusif yang dijanjikannya tak kunjung dibentuk. Dengan kata lain, tanpa terbentuknya pemerintahan inklusif, Taliban sulit mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional.
Pengakuan internasional bisa menjadi modal Taliban untuk mencegah keruntuhan ekonomi dan bencana kemanusiaan. Pengakuan memungkinkan investasi asing, bantuan keuangan, dan bantuan kemanusiaan internasional mengalir ke Afghanistan melalui Taliban.
Cadangan devisa dan aset Afghanistan yang dibekukan AS pun bisa dibuka dan kembali ke Afghanistan. Semuanya itu dapat digunakan Taliban untuk memulihkan kembali Afghanistan dari keterpurukan akibat perang 20 tahun.
Taliban hingga kini terus berupaya mendapatkan pengakuan internasional, termasuk bergerilya ke Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). UE dalam pernyataan, Senin (29/11/2021), menyebutkan, Taliban dalam pertemuan dengan UE di Doha, Qatar, Sabtu lalu, meminta bantuan agar Bandara Internasional Kabul tetap beroperasi.
Delegasi Taliban dipimpin Menteri Luar Negeri Interim Amir Khan Mutaqqi dan delegasi UE dipimpin Utusan Khusus UE untuk Afghanistan Tomas Niklasson. Taliban ingin hubungan positif dengan seluruh dunia dan percaya hubungan berimbang bisa menyelamatkan Afghanistan dari ketidakstabilan.
Pertemuan digelar dua hari menjelang babak baru negosiasi AS-Taliban di Doha pada Senin ini. UE, seperti halnya AS, tetap menekan Taliban agar segera membentuk pemerintahan inklusif, mendorong demokrasi, kesetaraan jender, dan akses bantuan kemanusiaan.
Dalam dialog delegasi UE-Taliban itu terungkap, situasi kemanusiaan di Afghanistan amat memprihantinkan dan mengkhawatirkan, terutama karena musim dingin kian dekat. Kelaparan yang melanda di sebagian besar wilayah Afghanistan belum teratasi.
”Kedua belah pihak menyatakan keprihatinan mendalam tentang situasi kemanusiaan yang memburuk di Afghanistan saat musim dingin tiba,” kata pernyataan itu. UE akan terus memasok bantuan kemanusiaan. Namun, bantuan itu tidak melalui Taliban tetapi langsung ke kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Taliban dalam pertemuan bersumpah untuk menepati janjinya tentang ”pengampunan” bagi warga yang menentangnya selama dua dekade pemerintahan dukungan Barat. Taliban juga berjanji mengizinkan warga Afghanistan dan orang asing yang ingin pergi dari negara itu. Untuk itu Taliban meminta bantuan untuk mempertahankan operasi bandara.
UE juga mengatakan dapat membuka pembiayaan tambahan untuk penguasa Afghanistan yang kekurangan uang, tetapi hanya untuk kepentingan langsung rakyat Afghanistan. Syaratnya Taliban memenuhi kriteria yang diinginkan UE.
Afghanistan adalah salah satu negara termiskin di dunia yang dilanda perang dan sangat bergantung pada bantuan AS dalam 20 tahun terakhir. Setelah menarik pasukan dari Afghanistan, AS berjanji tetap memberikan bantuan kepada rakyat Afghanistan tetapi tidak lewat Taliban. Situasi bisa berubah jika Taliban membentuk pemerintahan inklusif seperti yang dijanjikan.
Menurut UE, Taliban menegaskan kembali untuk menegakkan HAM ”sesuai prinsip-prinsip Islam” dan akan menyambut kembali misi diplomatik yang telah ditutup. UE menekan Taliban agar menciptakan pemerintahan inklusif, mendorong demokrasi, memastikan anak perempuan memiliki akses yang sama ke sekolah, dan mencegah Afghanistan menjadi basis bagi kelompok yang mengancam keamanan orang lain.
Pelayanan Aksi Eksternal Eropa (EEAS) di UE mengatakan dalam pernyataannya bahwa ”dialog itu tidak menyiratkan pengakuan UE atas pemerintah sementara (Taliban) tetapi merupakan bagian dari keterlibatan operasional UE demi kepentingan UE dan rakyat Afghanistan”.
Perdana Menteri Taliban Mohammed Hassan Akhund mengatakan, pemerintahan mereka tidak dapat disalahkan atas krisis ekonomi yang memburuk. Dia mengklaim Taliban sedang bekerja untuk memperbaiki kerusakan akibat korupsi oleh pemerintah terguling. Dia menepis tekanan internasional yang menuntut pembentukan pemerintahan inklusif.
Akhund mengatakan, masalah pengangguran yang memburuk dan krisis keuangan telah dimulai di bawah pemerintah sebelumnya. Kata dia, warga Afghanistan seharusnya tidak percaya tudingan bahwa Taliban harus disalahkan sebagai pihak yang tidak mampu memulihkan keadaan.
Menurut Akund, pemerintah dukungan Barat yang digulingkan telah menjalankan sistem terlemah di dunia. Ia merujuk pada praktik korupsi yang merajalela. Sebaliknya, Taliban tidak melakukan praktik korupsi dan telah membawa keamanan di seluruh negeri.
”Kami berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan masalah masyarakat. Setiap departemen kami bekerja lembur setiap hari,” kata Akhund. Dia menambahkan, Taliban telah membentuk komite untuk mencoba menyelesaikan krisis ekonomi dan membayar gaji kepada pegawai pemerintah yang sebagian besar tidak dibayar selama berbulan-bulan.
Pejabat PBB telah memperingatkan krisis kemanusiaan yang memburuk. Jutaan warga Afghanistan jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan dan menghadapi kelaparan. Afghanistan pernah dilanda kelaparan terburuk dalam beberapa dekade. Keruntuhan ekonomi berarti banyak orang tidak mampu membeli makanan.
Akhund mendesak orang-orang untuk berdoa untuk mengakhiri kelaparan, yang disebutnya ”ujian dari Allah setelah orang-orang memberontak melawan-Nya”. (AP/AFP/REUTERS)