Amerika Serikat berusaha membawa isu di luar nuklir Iran dalam putaran perundingan kali ini. Hal itu bisa bisa memicu kebuntuan sehingga AS mempunyai alasan terus mempertahankan sanksi terhadap Iran.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
VIENNA, SENIN — Perundingan nuklir Iran dijadwalkan kembali berlangsung pada Senin (29/11/2021) pagi-siang di Vienna, Austria, atau sekitar sore hingga malam waktu Indonesia bagian barat. Namun, kebuntuan masih membayangi perundingan yang sempat tertunda selama enam bulan itu.
Para perunding dari semua pihak dilaporkan sudah berada di Vienna sejak Sabtu. Delegasi Iran bahkan sejak Sabtu malam telah bertemu dengan perwakilan China, Rusia, dan Uni Eropa. ”Sepertinya, mulai sekarang, waktu akan berperan penting. Tidak mungkin berunding selamanya. Ada kebutuhan mempercepat proses,” kata Wakil Tetap Rusia untuk Organisasi Internasional di Vienna, Mikhail Ulyanov.
Perundingan untuk menghidupkan kembali Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau lebih dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran 2015 terhenti hampir enam bulan lalu. Faktor utamanya adalah pergantian pemerintahan di Teheran. Kini, pemerintahan baru Iran di bawah Presiden Ibrahim Raisi setuju melanjutkan perundingan untuk menghidupkan kembali JCPOA.
Sejak Mei 2018, JCPOA mati suri setelah Amerika Serikat (AS) di bawah Donald Trump memutuskan keluar dari kesepakatan itu. Selanjutnya Washington kembali menerapkan serangkaian sanksi terhadap Teheran. AS juga mengancam menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang menjalin hubungan ekonomi dengan Iran. Akibat ancaman itu, para pihak dalam JCPOA tidak kunjung memenuhi kewajiban mencabut sanksi terhadap Iran. Teheran membalasnya dengan kembali mengaktifkan sebagian reaktornya.
Di masa pemerintahan Joe Biden, AS mengindikasikan siap kembali bergabung dengan JCPOA. Namun, Washington menuntut Iran terlebih dahulu mengurangi aktivitas nuklirnya sebelum sanksi internasional dicabut. Iran menuntut sebaliknya karena ragu komunitas internasional akan memenuhi janji jika Teheran telanjur mengurangi aktivitas nuklirnya. ”Secara teknis, mereka (Iran) sudah melakukan hal cukup untuk memperbaiki hubungan dengan Barat,” kata seorang diplomat negara barat yang menolak identitasnya diungkap.
Utusan Khusus Presiden AS untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Brett McGurk, mengatakan, harus ada terobosan untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran. ”Sanksi efektif di aras tertentu, sekalipun tidak cocok untuk menyelesaikan masalah. Hal yang efektif adalah memperkuat sekutu, meningkatkan kemampuan pertahanan,” katanya.
Sejauh ini, tim perunding AS di Vienna bersikeras mempertahankan seluruh sanksi terhadap Iran. Bagi perunding dari pihak lain, salah satu tantangan adalah undang-undang AS yang dikenal sebagai Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Dengan aturan itu, Washington bisa terus-menerus menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang berhubungan dengan Iran.
Kebuntuan
Sejumlah diplomat khawatir, AS berusaha membawa isu di luar nuklir Iran dalam putaran perundingan kali ini. Hal itu bisa memicu kebuntuan sehingga AS mempunyai alasan terus mempertahankan sanksi terhadap Iran. Ini antara lain tecermin dari ketiadaan langkah pemerintahan Biden untuk mencabut sanksi terhadap Iran. Padahal, pemerintahan Biden tahu sanksi AS adalah faktor utama JCPOA mati suri.
Sejumlah diplomat khawatir putaran perundingan kali ini buntu karena AS dan Iran sama-sama bersikeras pada posisi masing-masing. Para diplomat mencoba mencari solusi, antara lain, berupa kesepakatan sementara alih-alih perjanjian permanen. Mereka mengakui, Iran mungkin tidak puas dengan opsi itu.
”Iran mungkin menganggap kemajuan program nuklirnya dan aktivitas reaktor yang tidak dipantau (komunitas internasional) bisa meningkatkan tekanan kepada Barat agar mau menyelesaikan perundingan. Di sisi lain, pilihan itu bisa mengindikasikan pemerintahan Iran sekarang tidak berminat menyelesaikan masalah nuklir Iran. Hal itu bisa memicu kebijakan lebih keras di masa mendatang,” kata analis pada Eurasia Group, Henry Rome.
AS dan Inggris, serta tentu saja Israel, secara terbuka menyatakan akan melakukan semua cara guna memastikan Iran tidak mampu membuat senjata nuklir.
Serangan Israel
Mantan Direktur Mossad, Tamir Pardo, mengatakan bahwa Israel butuh strategi lebih baik dibanding sekadar merencanakan serangan terhadap reaktor Iran. Mantan pimpinan lembaga intelijen Israel itu mengingatkan, Israel tidak bisa menyerang reaktor Iran seperti dilakukan terhadap Irak pada 1981 dan Suriah pada 2007. Sebab, kondisi Iran jauh lebih maju dibandingkan Irak dan Suriah.
Lewat Operasi Opera 1981 dan Operasi Anggrek 2007, Israel melancarkan serangan udara ke reaktor Irak dan Suriah. Serangan itu menggagalkan rencana Baghdad dan Damaskus membangun senjata nuklir.
Terhadap Iran, Israel bersama sejumlah negara lain hanya bisa melancarkan serangan lewat dunia maya. Israel dan AS pernah menyebarkan virus Stuxnet untuk melumpuhkan reaktor-reaktor Iran. Beberapa tahun terakhir, Israel juga melancarkan serangan sibernatika untuk tujuan serupa.
Serangan Israel ke Iran tidak hanya dilancarkan ke reaktor. Dalam laporan pada 27 November 2021, The New York Times mengutip dua pejabat pertahanan AS yang mengungkap serangan Israel terhadap jaringan distribusi minyak Iran. Serangan pada 29 Oktober 2021 itu melumpuhkan hampir 5.000 stasiun pengisian bensin untuk umum Iran. Kementerian Minyak dan Energi Iran harus mengirim teknisi ke setiap stasiun untuk mengatasi masalah itu.
Dalam pernyataan resmi Kementerian Minyak Iran, sistem komputer pengatur distribusi minyak tidak terhubung dengan jaringan internet terbuka. Oleh karena itu, diduga ada orang dalam yang membantu serangan tersebut.
Secara terpisah, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menegaskan, negaranya tidak terikat dengan JCPOA. Oleh karena itu, sikap Israel tidak akan berubah sekalipun AS kembali bergabung dengan JCPOA. Israel akan tetap melakukan semua cara untuk menghentikan Iran memiliki senjata nuklir.
Adapun Jerusalem Post melaporkan, militer Israel berencana menambah latihan perang pada 2022 hingga 30 persen lebih banyak dibandingkan pada 2021. Latihan akan melibatkan pula pasukan cadangan dan direncanakan menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir.
Sementara salah seorang perwira Israel, Kolonel Aviran Lerer, mengatakan bahwa Israel perlu mempertimbangkan opsi bergabung dengan aliansi militer di kawasan. Israel dinilai sudah semakin siap pada opsi itu setelah ikut serangkaian latihan gabungan dengan negara lain di kawasan. Beberapa pekan lalu, Israel untuk pertama kali berlatih bersama Bahrain dan Uni Emirat Arab. (AFP/REUTERS/RAZ)