Pesawat Pengebom Supersonik AS Gertak Iran, Unjuk Kekuatan di Teluk Persia
Pada akhir pekan lalu, situasi di kawasan Timur Tengah semakin panas setelah beberapa pejabat Israel secara eksplisit mengancam untuk menyerang program nuklir Iran.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD DAN MH SAMSUL HADI
·5 menit baca
DUBAI, MINGGU — Pesawat pengebom supersonik Amerika Serikat, B-1B Lancer, unjuk kekuatan dengan kawalan jet-jet tempur negara-negara mitra AS, terbang di atas wilayah perairan utama di Timur Tengah. Unjuk kekuatan itu dimaksudkan semacam gertakan bagi Iran yang tengah tarik-ulur dengan negara-negara Barat, terutama AS, untuk negosiasi kembali mengenai kesepakatan nuklir.
Pernyataan Komando Tengah AS (US Central Command atau Centcom) pada Sabtu (30/10/2021), menyebutkan, B-1B Lancer terbang di atas Teluk Persia, Selat Hormuz, Selat Bab al-Mandeb, Terusan Suez, dan Teluk Oman. ”Misi gugus tugas pesawat pengebom ini dimaksudkan untuk menyampaikan pesan yang jelas tentang penjaminan kembali (keamanan),” demikian pernyataan Centcom.
Jet-jet tempur dari Israel, Arab Saudi, dan Bahrain—negara-negara mitra AS dan seteru Iran—mengawal B1-B saat pesawat pengebom AS ini melewati wilayah udara tiap-tiap negara itu. ”Kesiapan militer untuk misi kedaruratan atau misi lainnya—dari respons terhadap krisis, latihan multilateral, hingga patroli satu hari bentuk kehadiran seperti ini—tergantung pada kemitraan yang dapat diandalkan,” ujar Jenderal Frank McKenzie, Komandan Centcom.
Tak ketinggalan pula, jet-jet tempur Mesir juga mengawal B-1B, pesawat pengebom supersonik yang mampu membawa muatan konvensional terberat dibandingkan dengan pesawat-pesawat militer AS lainnya. Pada Januari lalu, pesawat pengebom AS, B-52, juga terbang di atas Timur Tengah. B-52 mampu membawa senjata nuklir.
Pada akhir pekan lalu, situasi di kawasan semakin panas setelah beberapa pejabat Israel secara eksplisit mengancam untuk menyerang program nuklir Iran. Pengawalan pesawat pengebom AS, B-1B, terjadi di tengah memanasnya situasi terkait perundingan program nuklir Iran yang tak kunjung memperlihatkan hasil.
Sejumlah pejabat militer Israel dan politisi negara itu juga secara terang-terangan menyatakan keinginannya untuk menyerang fasilitas nuklir Iran, negara yang dianggap menjadi ancaman bagi Israel.
Pada awal tahun ini, Kepala Staf IDF (Israel Defense Force) Aviv Kohavi, seperti dikutip dari laman Times of Israel, mengumumkan bahwa dia telah menginstruksikan militer untuk mulai menyusun rencana serangan baru untuk operasi seperti itu. Dan, pekan lalu, pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennett juga telah mengalokasikan dana untuk merealisasikannya.
Saat berpidato di depan sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bennet mengatakan, program nuklir Iran telah mencapai titik penting. Begitu juga dengan toleransi Israel. ”Kata-kata tidak akan menghentikan mesin sentrifugal berputar. Kami tidak akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir,” kata Bennett.
Menurut media Israel, Angkatan Udara Israel berencana untuk mulai menyimulasikan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran dalam beberapa bulan mendatang. Israel pernah melakukan dua kali serangan terhadap program nuklir negara lain yang dianggap menjadi musuh, yaitu Irak pada 1981 dan Suriah tahun 2007.
Seorang anggota parlemen Israel dari Partai Likud, Tzachi Hanegbi, mengatakan, mereka mendapat dukungan dari partainya untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. ”Iran adalah ancaman eksistensial. Kami memberikan dukungan penuh kepada pemerintah ini jika mereka memutuskan untuk melakukan serangan. Jika tidak ada kesepakatan antara Iran dan kekuatan dunia, kita harus menyerang Iran pada akhir 2021,” katanya.
Negosiasi nuklir
Secara terpisah, AS, Jerman, Perancis, dan Inggris mendesak Pemerintah Iran mematuhi kesepakatan nuklir yang telah dibuat tahun 2015 serta untuk menghindari eskalasi yang berbahaya. Tindakan Iran yang terus melakukan pengayaan cadangan uranium miliknya dikhawatirkan akan memicu ketegangan baru di kawasan.
Seruan agar Pemerintah Iran mematuhi kembali Rencana Aksi Bersama (JCPOA) tahun 2015 disampaikan pemimpin empat negara, Sabtu (30/10/2021), di sela-sela pertemuan puncak G-20 di Roma, Italia. Pemimpin keempat negara berharap dapat membujuk Teheran untuk menghentikan pengayaan uranium ke tingkat yang berbahaya, yang bisa digunakan untuk senjata pemusnah massal.
”Kami menyerukan kepada Presiden (Ebrahim) Raisi, memanfaatkan kesempatan ini dan kembali ke usaha yang dilandasi itikad baik untuk menyelesaikan negosiasi yang tengah berjalan sebagai hal yang mendesak. Itulah satu-satunya cara untuk menghindari eskalasi yang berbahaya, yang tidak diinginkan oleh satu negara pun,” demikian pernyataan bersama itu.
Dan, situasi itu, tambah mereka, hanya mungkin terjadi jika Iran mengubah arah. Secara terpisah, Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan keprihatinannya dengan terus berjalannya proses pengayaan uranium oleh Iran. ”Kami mengandalkan kembalinya Iran ke meja perundingan. Namun, waktu terus berjalan. Pengayaan uranium terjadi di Iran dan ini sangat mengkhawatirkan kami,” katanya.
Pelaksanaan JCPOA mandek setelah mantan Presiden AS Donald Trump secara unilateral memutuskan keluar dari kesepakatan pada 2018. Negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran telah berlangsung sebanyak enam putaran. Negosiasi yang difasilitasi Uni Eropa itu terhenti sejak Juni lalu karena Iran melaksanakan pemilihan umum. Baru beberapa hari lalu, Pemerintah Iran mengirim sinyalemen tentang kemungkinan berlanjutnya negosiasi.
Namun, laporan terbaru Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 25 Oktober kemarin menyebutkan, Iran terus memperluas proses pengayaan uraniumnya melampaui batas yang disepakati di fasilitas nuklir utama mereka di Natanz. Proses pengayaan uranium ini mencapai persentase 20 persen dari cadangan yang sudah ada dan menambah kuantitas uranium kategori bisa digunakan sebagai senjata hingga mendekati 90 persen.
Langkah tersebut, disebut dalam laporan itu, akan membantu menyempurnakan kemampuan proses pengayaan Iran, sebuah langkah yang pada umumnya dikecam oleh negara-negara Barat.
Pemerintah AS telah menyatakan, mereka tidak bisa bersikap moderat selamanya bila Iran mengabaikan imbauan dunia internasional untuk menghentikan program pengayaan nuklirnya. Sikap AS bisa berubah sewaktu-waktu.
Keempat pemimpin negara, yaitu Presiden AS Joe Biden, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, satu pandangan bahwa sikap bandel Iran menghambat kerja IAEA di Iran untuk mengawasi program nuklir, membahayakan kemungkinan berlakunya kembali JCPOA. Mereka juga bertekad memastikan Iran tidak akan pernah bisa mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir. (AP/AFP/REUTERS)