Korea Selatan, Mantan Teman Sekelas Yang Memilih Satu Mimpi
Pandemi Covid-19 mendistorsi Indonesia dalam ikthiarnya mencapai negara maju pada 2045. Namun itu tak berarti mimpi bangsa harus padam. Apalagi kalau Indonesia mau belajar dari "mantan teman sekelas”.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·5 menit baca
Setelah hampir dua tahun melalui masa pandemi, saatnya bangsa Indonesia menetapkan kembali langkah menuju cita-cita menjadi negara maju. Pengendalian Covid-19 masih menjadi prioritas wajib setidaknya sampai dua tahun ke depan. Namun agenda reformasi struktural yang terpaksa terbengkalai karena pandemi juga mesti mulai disiapkan lagi. Mumpung kasus Covid-19 domestik sudah lebih terkendali.
Sehubungan dengan itu, tak ada salahnya belajar dari ”mantan teman sekelas” yang terbukti sukses ; Korea Selatan (Korsel). Pada 1950-an, Indonesia dan Korsel berada dalam satu kelas yang sama, yakni negara miskin yang baru saja lepas dari penjajahan bangsa asing. Bahkan pada 1950-1953, Korsel masih mengalami perang saudara dengan Korea Utara (Korut).
Konteks di kedua negara memang berbeda. Variabel pendorong dan pengganggu pembangunannya pun banyak yang berbeda. Namun ada hal-hal yang bersilangan. Maka sikap mau belajar dari yang lebih maju tidak saja wujud kebijaksanaan tetapi sudah menjadi kebutuhan. Kerja sama jadi bagian di dalamnya.
Kebetulan pekan lalu, persis dua tahun sejak Presiden Jokowi dan Presiden Moon Jae-in menggelar pertemuan bilateral di Busan, Korsel. Masing-masing didampingi sepuluh menteri dan pejabat setingkat menteri. Pertemuan pada 26 November 2019 yang berlangsung hangat dan produktif itu digelar di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 30 Tahun ASEAN - Korsel.
Di ruang pertemuan, dua delegasi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Hanya meja panjang selebar 2 meter berlapis kain hitam yang memisahkan keduanya. Korsel di satu sisi adalah investor. Indonesia di sisi lain adalah lokasi investasi. Di situlah jarak obyektif antara Jokowi dan Moon. Di situ pula jarak obyektif mutakhir antara Indonesia dan Korsel, dua teman yang pernah duduk sekelas pada 1950-an.
Pasca perang Korea 1950-1953, Korsel adalah salah satu negara termiskin di dunia. Bahkan negara itu lebih miskin dari kebanyakan negara-negara di benua Afrika sekali pun. Situasi menjadi kian sulit karena Korsel tak punya kekayaan sumber daya alam. Pada masa-masa itu, perekonomian negeri ginseng hanya bergantung pada bantuan luar negeri.
Namun empat dekade kemudian, Korsel telah menjelma menjadi salah satu negara terkaya dan termodern di dunia. Korsel menjadi raksasa dunia di bidang semikonduktor, telepon selular, peralatan elektronik, dan mobil.
Meski total wilayah daratannya lebih kecil dari Pulau Jawa, Korsel sejak November 2010 telah masuk G20 alias kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Peringkatnya terus merangsek ke atas. Pada 2020, Korsel di urutan ke-10.
Merujuk salah satu kajian yang diterbitkan Universitas Hagen, pembangunan ekonomi Korsel pasca perang bisa dibagi ke dalam empat tahapan besar. Pertama adalah ekonomi pasar modern (1948-1959). Kedua, ekonomi tinggal landas (1960-1979). Ketiga, stabilisasi dan transisi menuju negara berpendapatan tinggi (1980-1997). Keempat, restrukturisasi, penemuan kembali, dan pendewasaan (1988-sampai sekarang).
Korsel mencapai level negara berpendapatan tinggi untuk pertama kalinya pada 1995. ”Keajaiban Sungai Han”. Demikian terminologi yang disematkan untuk Korsel yang melesat dari negara miskin ke negara maju hanya dalam kurun waktu sekitar 40 tahun.
Pada sebuah wawancara di Bali, 2016, Presiden Institut Strategi Pembangunan Korea Seung-Hun Chun, bercerita tentang kunci sukses dan perjuangan Korsel. ”Kunci pertamanya adalah memilih mimpi yang tepat. Ada banyak mimpi, tapi harus dipilih satu yang tepat. Dan Korsel memilih mimpi menjadi negara industri baru,” kata Chun.
Selanjutnya adalah perencanaan atau desain kebijakan jitu. Memasuki wilayah implementasi, konsistensi kebijakan dalam jangka menengah-panjang di bawah kepemimpinan nasional yang berani-inspiratif menjadi kunci berikutnya.
Stabilitas politik yang produktif, Chun menekankan, jadi basis semuanya itu. Sementara peran masyarakat jadi bagian integral sepanjang prosesnya. Ini mencakup kerja keras, kesabaran, keteguhan, pengorbanan, bahkan air mata dan darah.
Seni memahami
Dalam perspektif lain, wartawan Amerika Serikat berdarah Korea, Euny Hong, melalui buku berjudul, ”The Power of Nunchi : the Korean Secret to Happiness and Success,” mengangkat kearifan lokal sebagai resep sukses Korsel.
Nunchi adalah seni memahami pikiran, perasaan, dan kebutuhan orang lain untuk mengembangkan hubungan personal melalui kepercayaan yang lebih mendalam, harmoni, dan kerja sama. Memiliki nunchi yang besar berarti terus-menerus mengalibrasi ulang asumsi-asumsi berdasar pada kosakata-kosakata baru, sirkumstansi, dan gestur atau mimik. Dengan demikian, seseorang atau bangsa menjadi selalu hadir di waktu kini dan dalam kesadaran penuh.
Kearifan lokal ini amat relevan untuk Korsel yang secara geografis berada di antara dua raksasa, China dan Jepang. Dan jangan lupa, ada Korut di depan mata. Kesadaran konteks itu tidak saja ikut menyelamatkan Korsel dari kemiskinan dan ancaman, tetapi lebih jauh lagi, telah menerbangkannya di antara para raksasa dunia.
Ada juga hal lain yang tak boleh dianggap sepele, yakni karakter masyarakat. Saat melakukan tugas liputan di Busan, akhir November 2019, Rizki Ikra Negara, reporter TVRI, tanpa sengaja meninggalkan tas berisi kamera dan pakaian di kereta bawah tanah di Kota Busan.
Tak sampai 24 jam kemudian, ia sudah mendapatkan kabar bahwa tasnya dapat diambil di bagian Lost and Found salah satu stasiun kereta bawah tanah Busan. Singkat cerita, tas itu kembali ke pemiliknya tanpa biaya sepeser pun. Utuh!
Pengalaman Korsel menunjukkan bahwa menjadi negara maju itu menuntut mimpi yang tepat disertai konsistensi ikhtiar dalam rencana-eksekusi pembangunan jangka menengah-panjang. Stabilitas politik yang produktif menjadi prasyaratnya.
Dan menjadi negara maju itu bukan semata-mata urusan materialistik saja. Itu juga soal memantapkan jati diri bangsa, meneguhkan kearifan lokal, mengasah tiada henti kesadaran terhadap konteks besar dan tantangan zaman, serta membangun karakter bangsa. Indonesia, mimpi mana yang ingin kau pilih?