Tangis Palestina pada Peringatan Deklarasi Balfour
Rakyat Palestina dan bangsa Arab selalu mengibarkan bendera berkabung dan sekaligus menangisi setiap tiba peringatan Deklarasi Balfour. Sebaliknya, Israel selalu merayakan Deklarasi Balfour sebagai kemenangan besar.
Pada 2 November 2021, genap 104 tahun Deklarasi Balfour yang mengubah peta dan sejarah rakyat Palestina dan bangsa Arab.
Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, mengirim surat kepada ketua komunitas Yahudi Inggris, Lord Rothschild. Isi surat tersebut, memberi izin kepada kaum zionis Yahudi berimigrasi ke tanah Palestina yang saat itu di bawah kontrol Inggris dan sekaligus memberi lampu hijau bagi berdirinya negara Yahudi.
Setahun setelah itu, pada tahun 1918 Perancis dan Italia menyampaikan dukungan atas Deklarasi Balfour. Kemudian pada tahun 1919, Amerika Serikat dan Jepang juga menyatakan mendukung deklarasi tersebut.
Sejak itu, kaum zionis Yahudi dari mancanegara, khususnya Eropa, melakukan imigrasi secara besar-besaran ke tanah Palestina yang berujung dengan dideklarasikannya negara Israel pada 14 Mei 1948.
Imigrasi kaum Yahudi secara besar-besaran ke tanah Palestina saat itu mengubah perimbangan demografi. Lambat laun jumlah warga Yahudi bertambah cukup signifikan. Padahal, jumlah kaum Yahudi di tanah Palestina pada saat diumumkan Deklarasi Balfour tahun 1917 hanya kurang dari 5 persen atau sekitar 50.000 dari 650.000 warga Palestina.
Baca juga: Chomsky, Biden, dan Palestina
Israel selalu merayakan deklarasi Balfour sebagai sebuah kemenangan dan kejayaan kaum Yahudi yang mengantarkan lahirnya negara Israel yang kuat dan maju saat ini. Sebaliknya, rakyat Palestina dan bangsa Arab selalu mengibarkan bendera berkabung dan sekaligus menangisi setiap tiba peringatan Deklarasi Balfour yang jatuh pada setiap tanggal 2 November.
Sejumlah kolomnis Arab sampai hari ini masih menulis di berbagai media tentang perasaan pedih mereka atas Deklarasi Balfour. Rakyat Palestina menyebut Deklarasi Balfour sebagai tindakan kriminal yang dilakukan Inggris terhadap rakyat Palestina.
Baca juga: Solusi Baru untuk Palestina
Harian Inggris, The Guardian, edisi 7 Mei 2021 menyebut, Deklarasi Balfour merupakan kesalahan terburuk Inggris dalam sepanjang sejarahnya. Deklarasi Balfour tersebut melahirkan konflik Arab-Israel dan terus berlanjut sampai saat ini.
Sejak 1917 hingga berdirinya negara Israel tahun 1948, bentrok antarawarga Palestina dan kaum imigran baru Yahudi, baik skala kecil maupun besar, tidak pernah berhenti. Inggris saat itu coba membujuk para pemimpin Arab agar bisa mengendalikan rakyat Palestina yang terus mengobarkan protes atas arus imigran zionis Yahudi ke tanah Palestina.
Sebaliknya, Inggris berjanji akan menekan kaum imigran zionis Yahudi menghentikan serangan atas warga Palestina. Namun, upaya Inggris tersebut ternyata gagal menghentikan aksi kekerasan antara warga Arab Palestina dan zionis Yahudi.
Puncaknya meletusnya perang Arab-Israel tahun 1948 menyusul dideklarasikannya negara Israel pada tahun itu. Kekalahan bangsa Arab dalam perang dengan Israel saat itu mengantarkan sekitar 700.000 rakyat Palestina mengungsi ke negara-negara Arab tetangga, seperti Jordania, Lebanon, dan Suriah.
Sebanyak 530 desa Palestina dihancurkan atau dibakar oleh milisi bersenjata zionis Yahudi saat itu. Ekspansi Israel atas tanah Palestina dan Arab semakin meluas pada perang Arab-Israel tahun 1967. Pada tahun ini bangsa Arab juga mengalami kekalahan dalam perang tersebut.
Israel menduduki Jerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, semenanjung gurun Sinai, Mesir, dan Dataran Tinggi Golan, Suriah, pada perang tahun 1967 itu. Sejak tahun 1967, Israel gencar melakukan pembangunan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan.
Menurut Peace Now, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Israel, jumlah pemukim Yahudi di Tepi Barat kini mencapai lebih dari 400.000 di tengah sekitar 2 juta warga Palestina di wilayah tersebut. Di Jerusalem Timur terdapat sekitar 210.000 pemukim Yahudi. Dan ada sekitar 140 kompleks permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Terdapat pula lebih dari 20.000 pemukim Yahudi di Dataran Tinggi Golan.
Adapun Israel menarik pemukim Yahudi dari Gurun Sinai, menyusul tercapainya kesepakatan damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1979. Israel juga menarik secara sepihak pemukim Yahudi dari Jalur Gaza pada tahun 2005.
Israel sampai saat ini terus gencar membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Israel tidak pernah mengindahkan seruan masyarakat internasional agar menghentikan membangun permukiman Yahudi.
Baca juga: Tanah Palestina Terus Menciut
Analis politik Palestina, Mustafa Ibrahim, mengatakan, Deklarasi Balfour selalui dirayakan setiap tahunnya di atas penderitaan rakyat Palestina. Menurut dia, ketimpangan kekuatan antara Israel dan bangsa Arab saat ini mengantarkan Israel semakin bersikeras menolak berdirinya negara Palestina.
Kekalahan demi kekalahan bangsa Arab dalam perang dengan Israel itu diperburuk lagi oleh konflik internal bangsa Arab dan perang saudara di sejumlah negara Arab saat ini, seperti yang terjadi di Suriah dan Yaman. Ibrahim juga menyebut, tindakan sejumlah negara Arab membuka hubungan resmi dengan Israel pada tahun 2020, yang dikenal dengan Kesepakatan Abraham, semakin melemahkan pula posisi Palestina.
Seperti diketahui, sejumlah negara Arab, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, mengumumkan pembukaan hubungan resmi dengan Israel pada Agustus 2020. Kemudian, Sudan menyusul membuka hubungan resmi dengan Israel pada Oktober 2020 dan Maroko pada Desember 2020.
Baca: Palestina Merasa Dikhianati UEA
Pembukaan hubungan resmi sejumlah negara Arab dengan Israel tersebut yang dikenal dengan Kesepakatan Abraham dimediasi oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.
Ibrahim tidak menampik bahwa perpecahan di internal Palestina antara Hamas dan Fatah sejak tahun 2007 turut berandil melemahkan posisi Palestina. Keterpurukan bangsa Arab dan rakyat Palestina saat ini membuat impian rakyat Palestina memiliki negara sendiri semakin jauh dari kenyataan.
Baca juga: Bersatulah Pejuang Palestina
Pembangunan permukiman Yahudi secara masif di Tepi Barat dan Jerusalem Timur saat ini dianggap sebagai kendala utama solusi dua negara yang digaung-gaungkan masyarakat internasional. Gencarnya pembangunan permukiman Yahudi tersebut menunjukkan Pemerintah Israel tidak menunjukkan niat baik ke arah menyetujui berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Sikap keras Israel tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah AS pada era Presiden Donald Trump. AS di masa pemerintahan Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. AS kemudian memindah kantor kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem pada Mei 2018, lalu disusul pengakuan AS atas kedaulatan Israel terhadap Dataran Tinggi Golan pada Maret 2019.
Adapun pemerintahan Presiden AS Joe Biden saat ini tampak tidak menempatkan isu Palestina sebagai prioritas. Biden sampai saat ini tidak berupaya menghidupkan lagi perundingan damai Palestina-Israel yang macet total sejak 2014.
Meletusnya perang Gaza antara Israel dan Hamas pada Mei lalu ternyata tidak cukup sebagai penekan AS untuk menggerakkan lagi perundingan damai Israel-Palestina. Maka, isu konflik Israel-Palestina terus mengalami jalan buntu di tengah gencarnya Israel membangun permukiman Yahudi. Inilah kisah panjang konflik Palestina-Israel sejak Deklarasi Balfour sampai hari ini.