Solusi Baru untuk Palestina
Pendekatan militer dan dialog damai hingga saat ini belum mampu mengantar Palestina pada kemerdekaan. Perlu terobosan baru yang kreatif dan inovatif untuk mewujudkan cita-cita Palestina.
Mulai menggeliat suara di kalangan cendekiawan Arab tentang solusi out of the box atau solusi kreatif dan inovatif bagi Palestina, terkait aneksasi Israel atas wilayah Lembah Jordan dan area permukiman Yahudi di Tepi Barat.
Israel hanya menunda pelaksanaan aneksasi itu pada 1 Juli lalu, tetapi tidak membatalkannya. Artinya, pelaksanaan aneksasi itu hanya soal waktu, cepat atau lambat.
Proyek aneksasi wilayah di Tepi Barat itu adalah bagian dari proposal damai yang disodorkan Amerika Serikat dan diumumkan Presiden Donald Trump Januari lalu dengan sebutan ”Transaksi Abad Ini”.
Dalam salah satu klausul pada proposal AS itu ditegaskan, Israel dipersilakan menganeksasi Lembah Jordan dan area permukiman Yahudi di Tepi Barat dengan imbalan Palestina akan mendapatkan wilayah pengganti di Gurun Negev yang berdekatan dengan Jalur Gaza dan perbatasan Israel-Mesir.
Lembah Jordania dan area permukiman Yahudi yang akan dianeksasi Israel memiliki luas sekitar 30 persen dari luas keseluruhan wilayah Tepi Barat yang mencapai 5.655 kilometer persegi.
Baca juga: Israel Menunda Aneksasi Tepi Barat
Terkait itu, Palestina dan dunia Arab diimbau mempersiapkan reaksi inovatif dan kreatif atas pelaksanaan aneksasi. Mengapa? Publik dan elite cendekiawan Arab kini makin meyakini bahwa dua pendekatan yang telah dipilih sekian dekade, yakni militer dan perundingan damai untuk Palestina, gagal mewujudkan negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Bangsa Arab telah melancarkan perang besar melawan Israel pada 1948, 1967 dan 1973, tetapi tidak berhasil memukul mundur Israel dari wilayah Arab.
Lebih ironis lagi, opsi intifada militer yang dilancarkam almarhum Pemimpin Palestina Yasser Arafat terhadap Israel, sebagai reaksi atas gagalnya perundingan damai di Camp David tahun 2000, membawa petaka atas rakyat Palestina.
Israel, sebagai reaksi atas intifada militer Palestina itu, membangun tembok keamanan di sepanjang wilayah Tepi Barat yang semakin mempersempit gerak sehari-hari rakyat Palestina. Wafatnya Yasser Arafat pada 2004 diduga akibat diracun Israel lewat makanan.
Kini mulai muncul pula opini yang membandingkan hasil intifada Palestina pertama tahun 1987-1993 yang hanya mengandalkan lemparan batu atas tentara Israel dengan intifada kedua 2001-2005 yang lebih memakai serangan bunuh diri serta bentrokan bersenjata antara aparat keamanan Palestina dan tentara Israel di Tepi Barat.
Hasil intifada pertama yang damai dianggap jauh lebih baik daripada intifada kedua yang lebih meliteristik. Intifada pertama berhasil mengangkat citra Palestina dan menarik simpati masyarakat internasional terhadap perjuangan rakyat Palestina, khususnya dari Eropa dan bahkan masyarakat Amerika Serikat (AS).
Baca juga: AS-Israel Belum Bulat soal Aneksasi
Gaya perjuangan model intifada pertama itu kini mulai menginspirasi kembali banyak cendekiawan Arab agar digunakan lagi melawan Israel dengan modifikasi sesuai tantangan zaman sekarang.
Di sisi lain, ada pula upaya dialog. Namun, ironisnya, pendekatan perundingan damai yang dilakukan bangsa Arab terhadap Israel, mulai dari konferensi damai di Madrid tahun 1991, kesepakatan Oslo tahun 1993, perundingan damai Israel-Palestina di Camp David, AS tahun 2000, juga gagal melahirkan negara Palestina.
Tawaran perdamaian dari bangsa Arab dengan mengusung inisiatif damai Arab tahun 2002 yang digagas oleh almarhum Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdelaziz tidak digubris Israel. Inisiatif damai Arab tersebut menawarkan konsep damai dalam bentuk berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 beribu kota Jerusalem Timur dengan imbalan 54 negara Arab dan Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pendekatan baru
Cendekiawan Palestina, Nabil Amr, dalam artikelnya di harian Asharq al-Awsat edisi hari Jumat 3 Juli 2020 menyerukan, agar reaksi Palestina atas aneksasi nanti harus rasional dan terukur.
Baca juga: Aneksasi dan ”Sandyakalaning” Palestina
Ia meminta rakyat Palestina jangan mengulang kesalahan intifada kedua (2001-2005). Menurut dia, cara kekerasan hanya akan membawa bencana bagi rakyat Palestina dan dampak pahitnya masih dirasakan sampai sekarang.
Menurut Amr, sudah tiba saatnya pimpinan Palestina menempuh model perjuangan yang tersisa saat ini, tetapi cukup rasional untuk kondisi sekarang, yaitu membangun kesadaran, memperkuat psikologis, dan menanam keyakinan pada rakyat Palestina untuk terus bertahan di tanah-tanah mereka di sejumlah wilayah di Tepi Barat, apa pun risikonya.
Amr menyebut, rakyat Palestina sebenarnya telah melakukan kesalahan sejarah, ketika melakukan eksodus besar-besaran ke negara-negara tetangga pascaperang tahun 1948 dan eksodus kedua pascaperang tahun 1967.
Mantan Menlu Jordania Marwan Muasher dalam artikelnya di harian Asharq al-Awsat edisi hari Minggu 7 Juni 2020 mengatakan, Palestina kini memasuki era perjuangan final yang sangat menentukan, setelah semua model perjuangan dalam sekian dekade, baik militer maupun perundingan damai, gagal mewujudkan cita-cita rakyat Palestina,
Menurut Muasher, kartu truf terakhir dari model perjuangan Palestina saat ini adalah memainkan isu demografi serta tuntutan persamaan hak antara warga Arab dan Yahudi di wilayah negara Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Untuk itu, kata Muasher, rakyat Palestina harus menempuh cara damai, seperti kala menggerakkan intifada pertama (1987-1993), untuk melawan aneksasi Israel atas wilayah di Tepi Barat nanti.
Baca juga: Rencana Aneksasi Israel Mengancam Akses Warga Palestina ke Laut Mati
Ia menyerukan, rakyat Palestina terus bertahan di lembah Jordan yang akan dianeksasi Israel kelak, sampai titik darah penghabisan. Bahkan, menurut Muasher, rakyat dan pimpinan Palestina sudah mulai berpikir menempuh solusi baru yang kreatif dan inovatif, yaitu opsi satu negara yang menghimpun dua rakyat, yakni Yahudi dan Arab. Opsi itu diambil apabila opsi dua negara Israel dan Palestina tidak mungkin lagi diwujudkan setelah Israel menganeksasi wilayah di Tepi Barat.
Jumlah warga Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan di wilayah Israel sekarang mencapai 7.066.856, dengan rincian jumlah penduduk Tepi Barat 3.340.143, Jalur Gaza 1.836.713 dan di wilayah Israel 1.890.000 jiwa. Sementara penduduk Yahudi di Israel saat ini hanya 6.820.000 jiwa.
Jumlah warga Arab Palestina kini sudah unggul dari warga Yahudi. Diperkirakan, jumlah warga Arab Palestina makin banyak karena angka kelahiran warga Palestina jauh lebih tinggi dari warga Yahudi.
Baca juga: Aneksasi Tepi Barat, Kesalahan Sejarah
Di kalangan publik dan cendekiawan Israel saat ini juga menguat kesadaran bahwa pertarungan sesungguhnya adalah pertarungan demografi.
Kesadaran publik Israel tersebut kini semakin kuat tumbuh, menyusul perolehan suara Joint List pada pemilu parlemen awal Maret 2020 yang mencapai 15 kursi dari 120 kursi Knesset (parlemen).
Joint List pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari empat partai Arab di Israel, yaitu partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United Arab List. Warga Arab di Israel, menurut biro statistik pusat Israel, mencapai 1.890.000 atau 20,95 persen dari keseluruhan penduduk Israel yang mencapai 8.710.000 jiwa.
Publik Israel kini cukup gemetar melihat fenomena Joint List yang tentunya akan mengantarkan peran politik warga Arab di Israel bisa semakin kuat.
Menurut Marwan Muasher, jika Palestina cerdik dan intensif memainkan isu demografi itu, bisa jadi Israel berpikir ulang melakukan aneksasi atau kalau melakukan aneksasi hanya simbolis agar opsi solusi dua negara tidak punah.