Frustrasi Tuntutan Diabaikan OPEC, AS Galang Gerakan Turunkan Harga Minyak
Frustrasi tuntutannya tak dipenuhi negara-negara produsen minyak, Amerika Serikat menggalang negara-negara konsumen minyak untuk melepas cadangan minyak agar harga minyak dunia turun.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Pemerintah Amerika Serikat menggalang sejumlah negara konsumen minyak terbesar di dunia, termasuk China, India, Jepang, dan Korea Selatan, untuk mempertimbangkan pelepasan stok minyak mentah secara terkoordinasi dalam upaya menurunkan harga minyak dunia. Washington merasa frustrasi pada Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitranya, seperti Rusia, yang tidak mau menambah produksi minyak sehingga harga minyak dunia tinggi.
Meski langkah tersebut pernah dilakukan AS sebelumnya, sejumlah pihak menilai tindakan pemerintahan Presiden Joe Biden itu bukan hal biasa. Di dalam negeri, Biden tengah menghadapi tekanan politik, khususnya menjelang pemilihan paruh waktu tahun depan.
Biden juga berupaya meredakan tekanan politik atas kenaikan harga minyak dan beban konsumen lain yang terdorong naik karena pemulihan ekonomi dari kondisi terpuruk di awal-awal pandemi Covid-19. Sejumlah pembantu dekat Biden menilai, merosotnya rating dukungan publik terhadap pemerintahan Biden dalam beberapa bulan terakhir antara lain akibat memburuknya inflasi karena kenaikan harga minyak hingga makanan.
Indeks harga konsumen naik 6,2 persen dalam 12 bulan terakhir dengan komponen energi naik hingga 30 persen terhadap indeks itu.
”Kami berbicara tentang langkah simbolik para konsumen terbesar di dunia yang akan mengirim pesan pada OPEC bahwa ’Anda harus mengubah perilaku’,” kata salah satu sumber yang mengetahui langkah Washington.
Gedung Putih menolak mengomentari isi percakapan Washington dengan negara lain.
Tanggapan beragam disampaikan negara-negara konsumen minyak terbesar atas ajakan Washington, Kamis (18/11/2021). Di Beijing, pejabat biro cadangan minyak negara China mengatakan sedang merencanakan untuk melepas cadangan minyak mentahnya. Namun, ia menolak untuk mengomentari permintaan AS.
Di Tokyo, seorang pejabat Kementerian Industri Jepang mengungkapkan, AS meminta kerja sama Tokyo dalam menangani harga minyak yang lebih tinggi. Namun, dia tak dapat mengonfirmasi apakah permintaan itu termasuk pelepasan stok yang terkoordinasi.
Menurut aturan di negara itu, negara atau otoritas Jepang tidak dapat melepaskan cadangan minyak untuk menurunkan harga komoditas itu.
Di Seoul, seorang pejabat Korea Selatan mengonfirmasi AS telah meminta Seoul untuk melepaskan beberapa cadangan minyaknya. ”Kami meninjau permintaan AS secara menyeluruh. Namun, kami tidak melepaskan cadangan minyak karena kenaikan harga minyak,” kata pejabat di Seoul itu.
”Kami dapat melepaskan cadangan minyak jika terjadi ketidakseimbangan pasokan, tetapi tidak untuk menanggapi kenaikan harga minyak.”
Harga minyak turun sekitar 4 persen sejak Rabu (17/11/2021) karena penggalangan kekuatan AS itu tampaknya mulai berefek di pasar. Kamis petang WIB, harga minyak jenis Brent berada di level harga 79 dollar AS per barel, turun 0,37 persen dari sebelumnya. Harga minyak pernah menyentuh 85 dollar AS per barel akhir Oktober lalu.
”Brent sekarang di bawah 80 dollar AS,” kata John Driscoll, direktur pelaksana di lembaga konsultan JTD Energy yang berbasis di Singapura. ”Ini efek jangka pendek di pasar. Mungkin bagus untuk setidaknya koreksi harga 5 persen.”
Melepas SPR
Sumber dari kalangan pemerintahan AS menyebutkan, AS perlu melepas cadangan minyaknya 20 juta-30 juta barel untuk memengaruhi harga minyak di pasaran. Pelepasan semacam itu bisa dalam bentuk penjualan atau pinjaman dari cadangan minyak strategis AS (SPR) atau gabungan dua langkah itu.
SPR didirikan pada 1975 setelah masa embargo minyak Arab untuk memastikan AS memiliki pasokan cukup guna menghadapi kondisi darurat. Selain AS, 29 negara anggota Badan Energi Internasional (IEA)—termasuk Inggris, Jerman, Jepang, dan Australia—diminta memiliki cadangan minyak setara dengan jumlah impor minyak 90 hari. Jepang adalah salah satu pemilik cadangan minyak terbesar setelah China dan AS.
IEA yang berbasis di Paris dan memantau SPR nasional untuk anggota yang mencakup AS, Jepang, dan sebagian besar negara Barat menolak berkomentar tentang gerakan yang digalang AS. IEA pada masa lalu pernah mengoordinasikan pelepasan cadangan minyak yang melibatkan beberapa negara.
AS dan sekutunya sebelumnya juga pernah mengoordinasikan pelepasan cadangan minyak strategis. Salah satunya, langkah yang dilakukan Washington pada 2011 saat kekacauan berkecamuk di Libya, negara anggota OPEC.
Namun, langkah yang tengah digalang Washington kali ini belum pernah ada presedennya bagi OPEC, kartel utama yang memengaruhi harga minyak selama lebih dari lima dekade. Menarik dicermati, langkah Washington ini ingin melibatkan China, importir minyak mentah terbesar di dunia.
OPEC dan produsen minyak lain, termasuk Rusia—yang dikenal secara kolektif sebagai OPEC+—telah menambahkan pasokan minyak sekitar 400.000 barel per hari ke pasar setiap bulan. Namun, OPEC+ menolak seruan Biden untuk menambah pasokan secara lebih cepat atau lebih sering dengan alasan pemulihan permintaan bisa rapuh.
Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo, Selasa (16/11/2021), mengatakan, dirinya memperkirakan surplus pasokan minyak secara global akan terjadi segera setelah Desember mendatang. ”Ini sinyal bahwa kita harus sangat berhati-hati,” katanya kepada wartawan.
Kenaikan harga minyak telah mengganggu Biden menjelang pemilihan paruh waktu 2022. Pemilihan paruh waktu itu akan menentukan apakah Partai Demokrat mempertahankan mayoritas tipis di Kongres AS. Harga bensin di AS baru-baru ini telah naik hingga 60 persen dari harga tahun lalu seiring langkah pemulihan ekonomi negara itu dari kondisi pandemi Covid-19. (AP/REUTERS)