Ketika sejumlah negara mulai kompromi dengan Covid-19, China konsisten disiplin menjaga kebijakan nihil penularan Covid-19. Ini ditempuh dengan sadar dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi menjadi tidak maksimal.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BEIJING, RABU — Pada saat negara-negara di dunia menerapkan prinsip ”berdamai dengan Covid-19” dan membuka kembali perbatasan, China tetap bertahan dengan kebijakan nihil kasus. Wilayah-wilayah tetap mengalami karantina meskipun ditemukan hanya satu kasus positif. Secara statistik, lebih dari separuh penduduk China sudah divaksin lengkap. Namun, secara jumlah faktual, bagi negara sebesar China jumlah ini masih berisiko.
Berdasarkan data Pemerintah China per 9 November 2021, China telah memvaksinasi lengkap 75,8 persen penduduknya. Angka ini setara dengan 1,07 miliar jiwa. Di atas kertas, ini tampak sebagai prestasi. Namun, China memiliki penduduk 1,4 miliar jiwa. Jumlah mereka yang belum divaksin ada lebih dari 300 juta jiwa, lebih kurang setara dengan jumlah penduduk Amerika Serikat.
Negara-negara Barat dengan tingkat vaksinasi berkisar 60-70 persen saja sudah memberanikan diri melakukan pelonggaran. Mereka juga mengembalikan kegiatan masyarakat hampir seperti sebelum pandemi terjadi.
”Perlu diingat bahwa jumlah penduduk yang belum divaksin masih sangat besar. Artinya, risiko penularan juga besar. Baru ketika kita telah memvaksinasi lengkap 83,3 persen penduduk, strategi pelonggaran bisa dibahas,” kata pakar penyakit menular, Zhong Nanshan, seperti dikutip oleh media Asia Times, Selasa (16/11/2021). Zhong juga mengatakan bahwa apabila penduduk telah divaksin, setiap enam bulan sekali perlu diberi suntikan dosis penguat (booster).
China terus memantau perkembangan pandemi di negara-negara lain. Salah satu negara yang mereka jadikan acuan adalah Singapura yang berpenduduk 5,6 juta jiwa dan telah memvaksinasi 80 persen warganya. Per Minggu (14/11/2021), Singapura memiliki 1.723 kasus aktif dan 10 kematian. Vaksin sejatinya menurunkan angka kematian, bukan mencegah penularan.
Demikian pula dengan negara-negara Barat. Data dari Universitas John Hopkins menyebutkan, rata-rata kematian global adalah 2 persen. Di awal 2021, angkanya 2,2 persen. Ada penurunan dengan semakin banyaknya warga dunia yang divaksin. Amerika Serikat, misalnya, telah memvaksin 60 persen warganya. Pekan ini, AS mencatat adanya 25.411 kasus baru dan 162 kematian. Angka kematian rata-rata di AS adalah 0,6 persen.
”Jumlah ini tetap tinggi dari segi banyaknya penduduk di negara kita. Oleh karena itu, pembatasan wilayah di China belum bisa dilonggarkan,” kata Zhong.
China saat ini memiliki 1.000 kasus Covid-19 aktif. Hampir semuanya akibat perjalanan wisata domestik ataupun perjalanan bisnis. Pemerintah bersikap tegas. Setiap kali ditemukan satu kasus positif saja, satu wilayah permukiman bisa dikunci. Saat ini, ada 40 kota yang menjalani karantina.
Kota Dalian di Provinsi Liaoning adalah salah satu yang tengah menjalani karantina. Dalian adalah kota pelabuhan tempat keluar masuknya barang. Saat ini, ada 235 kasus aktif. Dilansir dari kantor berita nasional, Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Sun Chunlan datang ke Dalian untuk bertemu dengan pemerintah daerah.
”Prioritas pemerintah saat ini ialah mencegah terjadinya kasus positif. Jadi, pencegahan penularan ini sama pentingnya dengan kebijakan politik mana pun,” tuturnya.
Sementara masyarakat lelah dan stres dengan kebijakan nihil Covid-19. Pemerintah sewaktu-waktu bisa kembali mengarantina wilayah yang sudah dilonggarkan. Akibatnya, perekonomian tersendat-sendat. Salah satu contohnya kota Ruili, Provinsi Yunnan. Pertokoan tengah ”meregang nyawa” dan banyak yang di ambang kebangkrutan akibat pemerintah sering mendadak menutup wilayah. ”Wisatawan jadi tidak mau datang. Bagaimana mau mencari laba? Kami saja tidak tahu kapan pertokoan bisa kembali buka,” kata seorang pedagang perhiasan yang bermarga Lin.
Penerbangan China hanya beroperasi 2 persen dari jumlah biasa. Karantina mendadak berarti penerbangan bisa dihentikan sewaktu-waktu. Artinya, penumpang, termasuk wisatawan menghadapi risiko telantar di bandara apabila tiba-tiba pemerintah mengumumkan larangan terbang.
Selain itu, ada permasalahan dengan aplikasi buatan pemerintah untuk memantau pergerakan warga. Seorang laki-laki yang sudah divaksin lengkap dan mengikuti tes reaksi berantai polimerase (PCR) dengan hasil negatif tidak bisa pulang ke rumah karena ada kesalahan teknis di aplikasinya. Ia sempat telantar beberapa hari sebelum masalah tersebut diselesaikan.
Mark Carney, pakar ekonomi Inggris sekaligus mantan Gubernur Bank of England, seperti dikutip oleh surat kabar The Telegraph, mengatakan bahwa apabila China terus menutup diri, ekonomi global akan terhantam dan terjadi inflasi. Produksi massal akan terhenti.
”Rantai pasok akan terganggu dan ini mengakibatkan disrupsi berkepanjangan,” ujarnya. Bank of England memperkirakan bahwa pada 2022 inflasi akan mencapai puncak 5 persen. Titik tertinggi sejak 2011. (AFP)