Ratusan Anak Balita di Tigray Meninggal akibat Kelaparan
Kelaparan merenggut nyawa hampir 200 anak balita di rumah sakit di Tigray, Etiopia utara. Jumlah yang tidak terdata di daerah terpencil diperkirakan jauh lebih besar.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
ADIS ABABA, SELASA — Hampir 200 balita meninggal di rumah sakit karena kelaparan di Tigray, wilayah konflik di Etiopia utara. Kelaparan parah yang menyebabkan gizi buruk pada anak terus meningkat dalam setahun terakhir sejak pecah konflik bersenjata di Tigray, 4 November 2020.
Jumlah kasus kematian itu merujuk hasil survei terbaru, seperti dilaporkan kantor berita Agence-France Presse (AFP), Selasa (16/11/2021). Data yang dikumpulkan dari 14 rumah sakit di Tigray itu memberikan gambaran yang langka tentang skala penderitaan warga setempat akibat konflik.
Pertikaian bersenjata di Etiopia utara itu terjadi antara pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) yang berkuasa dan Pasukan Pertahanan Nasional Etiopia. Pertempuran yang telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan lebih dari 1,7 juta orang mengungsi menyebabkan stabilitas di Etiopia dan kawasan Tanduk Afrika terganggu.
Saat ini wilayah Tigray telah terisolasi dari dunia luar. Seluruh jaringan komunikasi ke dalam ataupun ke luar terputus. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan telah terjadi blokade bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Tigray oleh pasukan pemerintah. Namun informasi itu dibantah Pemerintah Etiopia.
Pasokan medis yang paling penting juga sudah dihentikan sehingga semua fasilitas kesehatan publik mengalami kekosongan persediaan. Situasi yang dihadapi di lapangan sangat berat karena masyarakat menghadapi kelaparan hebat akibat blokade suplai barang kebutuhan pokok.
Hagos Godefay, Kepala Biro Kesehatan Pemerintahan Etiopia sebelum Perang Tigray, mengatakan, sebagian besar fasilitas kesehatan di Tigray tidak berfungsi. Petugas kesehatan juga hanya mampu melayani setengah dari jumlah distrik di Tigray.
Oleh karena itu, jumlah anak balita yang meninggal karena kelaparan atau gizi buruk kemungkinan jauh lebih besar dari angka yang dilaporkan oleh 14 rumah sakit tadi. Banyak wilayah terpencil sulit terjangkau, dan bencana kelaparan pasti lebih nyata di daerah itu.
Menurut Hagos, temuan tentang hampir 200 anak kecil atau anak balita yang meninggal karena kelaparan itu belum dipublikasikan sebelumnya. Sebagian dari data tersebut dikumpulkan dalam kerja sama dengan Universitas Mekele di Mekele, ibu kota Tigray, sekitar 780 kilometer dari Addis Ababa.
”Kami telah mencatat lebih dari 186 kasus kematian (anak balita),” kata Hagos, merujuk pada kematian yang disebabkan kekurangan gizi akut parah pada anak-anak di bawah lima tahun di Tigray. ”Kami mengumpulkan informasi ini dari rumah sakit saja,” ujarnya.
Hagos mengatakan, sekitar 29 persen anak-anak kekurangan gizi akut. Jumlah itu naik dari 9 persen jika dibandingkan dengan sebelum perang. Penderita gizi buruk akut ada 7,1 persen atau naik dari 1,3 persen dari keadaan sebelum perang.
Hanya 14 persen rumah tangga yang disurvei memiliki akses yang cukup untuk mendapatkan makanan. Jumlah itu turun 46 persen dari tahun lalu di mana ada 60 persen yang memiliki akses untuk mendapatkan makanan.
Dia mengkhawatirkan keadaan di daerah-daerah terpencil. ”Bisa dibayangkan, berapa banyak anak yang mati karena kelaparan di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Mereka tinggal di daerah terpencil, tidak ada air dan makanan, tidak ada komunikasi dan fasilitas kesehatan,” katanya.
”Saya memberi tahu Anda, jika kita pergi ke daerah terpencil jumlah kematian pasti akan berlipat ganda.”
Beberapa waktu lalu, Kepala Bidang Kemanusiaan PBB Mark Lowcock mengatakan, bencana kelaparan sedang melanda Tigray dan kondisi itu bakal bertambah parah. Ia mengatakan itu setelah analisis mengenai situasi di Tigray dipublikasikan. Analisis itu menemukan, 350.000 orang di Tigray hidup dalam ”krisis parah” atau kelaparan akut. Dua wilayah tetangganya, yakni Amhara dan Afar, juga mengalami situasi yang sama.
Menurut analisis itu, situasi pangan di wilayah Tigray telah mencapai taraf ”bencana” lantaran kelaparan dan kematian melanda sekelompok orang yang tersebar di kawasan luas. Program Pangan Dunia PBB (WFP), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serta lembaga anak-anak PBB (UNICEF) telah menyerukan aksi darurat untuk mengatasi krisis tersebut.
Beberapa bulan setelah pecah konflik, tepatnya pada Februari 2021, Palang Merah Etiopia mengungkapkan, 80 dari wilayah konflik Tigray terputus dari bantuan kemanusiaan dan puluhan ribu penduduk terancam mati kelaparan.
TPLF mengatakan sekitar 150 orang meninggal karena kelaparan di Tigray sejak awal konflik. Kematian tercatat di zona tengah, selatan, dan timur Tigray.
Konflik
Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed mengirim pasukan ke Tigray pada November 2020 untuk menggulingkan TPLF yang berkuasa di wilayah itu. Operasi militer digelar karena Ahmed mengklaim telah terjadi penyerangan oleh TPLF ke kamp-kamp tentara pemerintah.
Ahmed, peraih Nobel Perdamaian 2019, menjanjikan bahwa pasukan pemerintah dapat dengan cepat melumpuhkan pasukan TPLF. Faktanya, mulai akhir Juni lalu TPLF telah merebut kembali sebagian besar wilayah Tigray, termasuk ibu kota Mekele, dan sejak itu bergerak ke Addis Ababa.
Sejak pertengahan Juli 2021, kata PBB, kurang dari 15 persen bantuan yang dibutuhkan masyarakat korban konflik dapat masuk ke Tigray. Hal itu meningkatkan momok kelaparan massal yang mengingatkan bencana kelaparan di Etiopia pada era 1980-an. Temuan survei yang dijelaskan Hagos mencakup empat bulan sejak Juni, ketika TPLF lagi merebut Mekele, hingga akhir Oktober.
Sebanyak 14 rumah sakit yang masih beroperasi baik di Tigray melaporkan bahwa masing-masing mereka mencatat antara tiga dan empat kasus kematian setiap minggu akibat pneumonia dan diare.
Pemerintahan Ahmed telah menolak klaim bahwa mereka memblokir bantuan ke Tigray. Dikatakan, akses telah dibatasi karena kemajuan TPLF ke wilayah tetangga Amhara dan Afar.
Dalam sebuah wawancara dengan CNN pekan lalu, juru bicara Ahmed, yakni Billene Seyoum, mengatakan ”tanggung jawab atas akses kemanusiaan ada di tangan TPLF”. Amerika Serikat mengatakan, akses ke pasokan dan layanan penting ”ditolak oleh Pemerintah Etiopia”.
Pada Juni 2021, Unicef mengatakan, sekitar 33.000 anak-anak malanutrisi di Tigray terancam mati kelaparan. Jauh sebelumnya, pada 1984, wilayah Tigray dan provinsi tetangga, Wollo, menjadi pusat bencana kelaparan akibat kekeringan dan perang yang mengakibatkan antara 600.000 dan 1 juta orang meninggal. (AFP/REUTERS/AP)